Selasa, 28 Februari 2012

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh



Penjelasan Hadits Arbain Nawawi Pertama: Amal Perbuatan itu Tergantung Niatnya

Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .

[رواه إماما المحدثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة البخاري وابو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة]

Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafsh ‘Umar bin Al Khaththab, dia berkata: Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrahnya karena dunia yang ingin ia dapatkan atau mendapatkan wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia inginkan itu.

Hadits ini diriwayatkan oleh dua orang Imam ahli hadits; yaitu Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari dan Abul Husein Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairy An Naisaburi dalam kitab shahih keduanya, yang kedua kitab itu merupakan kitab susunan yang paling shahih.

Penjelasan:

Hadits ini merupakan prinsip dasar yang begitu agung dalam permasalahan amalan-amalan hati. Karena niat termasuk amalan hati. Para ulama mengatakan hadits ini adalah separuh ibadah, karena ia merupakan timbangan amalan-amalan yang batin. Sedangkan hadits Aisyah yang berbunyi,

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa mengada-adakan dalam urusan kami perkara yang tidak ada asalnya, maka hal itu akan tertolak.” (Shahih: dikeluarkan oleh Al Bukhari di dalam [Ash Shulh/2697/Fath], Muslim di dalam [Al Aqdhiyah/1718/Abdul Baqi]).

Dalam lafazh lain,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang tidak sesuai dengan perintah kami, maka amalan itu tertolak.” (Shahih: dikeluarkan oleh Muslim di dalam [Al Aqdhiyah/1718/Abdul Baqi]. Al Bukhari secara ta’liq [13/hal 329/fath] cetakan As Salafiyyah)

Hadits ini adalah separuh agama, karena hadits ini merupakan timbangan amalan yang dhahir (nampak). Jadi dapat dipetik faedah dari hadits, “Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung dari niatnya.” Bahwa amalan apapun harus didasari niat, karena setiap orang yang berakal tidak mungkin melakukan suatu amalan tanpa niat, hingga sebagian ulama mengatakan, “Sekiranya Allah membebani suatu amalan kepada kita tanpa didasari oleh niat, tentunya hal itu merupakan suatu pembebanan yang tidak mampu untuk dilakukan. ”

Bercabang dari faedah ini adalah: Bantahan terhadap orang-orang yang terhinggapi penyakit was-was yang mengulang-ulang suatu amalan beberapa kali, hingga setan membisikkan kepada mereka, “Sesungguhnya kalian belum memasang niat.” Kami katakan kepada mereka (orang-orang was-was itu), “Tidak, tidak mungkin engkau melakukan suatu perbuatan tanpa didasari oleh niat. Janganlah kalian membebani diri-diri kalian dan tinggalkan perasaan was-was itu. ”

Di antara faedah dari hadits ini adalah: Bahwa seseorang diberi pahala, berdosa, atau terhalang (mendapatkan sesuatu) dengan sebab niatnya. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ”Barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya. ”

Di antara faedah dari hadits ini adalah: “Sesungguhnya amalan itu tergantung dari tujuannya.” Bisa jadi, suatu perkara –yang pada asalnya- mubah bisa menjadi amalan ketaatan jika seseorang meniatkannya sebagai amalan kebaikan. Misalnya, ia meniatkan makan dan minumnya untuk menambah kekuatan dalam menjalankan ketaatan kepada Allah. Oleh karena itu, Nabi bersabda,

“Makan sahurlah, sesungguhnya pada makanan sahur itu terdapat berkah.” (Shahih: dikeluarkan oleh Al Bukhari di dalam [Ash Shaum/1923/Fath], Muslim di dalam [Ash Shiyam/1095/Abdul Baqi])

Faedah laim dari hadits ini adalah: Seorang pengajar sepatutnya memberikan perumpamaan yang dapat memperjelas suatu hukum. Nabi telah memberikan perumpamaan dalam hal ini dengan hijrah. Hijrah ialah berpindah dari negeri kesyirikan ke negeri Islam. Dan beliau pun menjelaskan bahwa hijrah adalah amalan yang bisa menjadi pahala ataupun keterhalangan (memperoleh pahala) bagi orang yang melakukannya. Seorang yang berhijrah kepada Allah dan rasul-Nya diberi pahala dan akan sampai pada apa yang diinginkannya. Sedangkan orang yang berhijrah karena dunia yang ingin ia dapatkan atau wanita yang ingin ia nikahi, maka ia terhalang mendapatkan pahala ini.

Hadits ini selain masuk dalam pembahasan ibadah, masuk pula dalam pembahasan muamalah, pernikahan, dan dalam pembahasan fiqih lainnya.

Minggu, 26 Februari 2012

KONSEP IBADAH DALAM ISLAM



Hidup manusia dibumi ini bukanlah suatu kehidupan yang tidak mempunyai tujuan dan matlamat dan bukanlah mereka boleh melakukan sesuatu mengikut kehendak perasaan dan keinginan tanpa ada batas dan tanggungjawab.

Tetapi penciptaan makhluk manusia di bumi ini adalah mempunyai suatu tujuan dan tugas risalah yang telah ditentu dan ditetapkan oleh Allah Tuhan yang menciptanya....

Tugas dan tanggungjawab manusia sebenarnya telah nyata dan begitu jelas sebagaimana terkandung di dalam al-Quran iaitu tugas melaksanakan ibadah mengabdikan diri kepada Allah dan tugas sebagai khalifah-Nya dalam makna mentadbir dan mengurus bumi ini mengikut undang-undang Allah dan peraturan- Nya. Firman Allah swt. maksudnya:

“Dan Aku Tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah (menyembah) kepada Ku”. (Az-Zaariyaat: 56)

Firman Allah swt. bermaksud:

“Dan Dialah yang menjadikan kamu khalifah (penguasa-penguasa) di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebaha-gian (yang lain) beberapa darjat untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu”. (al-An’aam: 165)

Tugas sebagai khalifah Allah ialah memakmurkan bumi ini dengan mentadbir serta mengurusnya dengan peraturan dan undang-undang Allah. Tugas beribadah dan mengabdi diri kepada Allah dalam rangka melaksanakan segala aktiviti pengurusan bumi ini yang tidak terkeluar dari garis panduan yang datang dari Allah swt. dan dikerjakan segala kegiatan pengurusan itu dengan perasaan ikhlas kerana mencari kebahagian dunia dan akhirat serta keredaan Allah.

Allah swt. telah menyediakan garis panduan yang lurus dan tepat kepada manusia dalam rangka pengurusan ini. Allah dengan rasa kasih sayang yang bersangatan kepada manusia diturunkannya para rasul dan bersamanya garis panduan yang diwahyukan dengan tujuan supaya manusia itu boleh mengurus diri mereka dengan pengurusan yang lebih sempurna dan bertujuan supaya manusia itu dapat hidup sejahtera dunia dan akhirat.

Pengertian Ibadah

Kalimat ibadah berasal daripada kalimat `abdun’. Ibadah dari segi bahasa bererti patuh, taat, setia, tunduk, menyembah dan memperhambakan diri kepada sesuatu.

Dari segi istilah agama Islam pula ialah tindakan, menurut, mengikut dan mengikat diri dengan sepenuhnya kepada segala perkara yang disyariatkan oleh Allah dan diserukan oleh para Rasul-Nya, sama ada ia berbentuk suruhan atau larangan.

Ibnu Taimiah pula memberi takrif Ibadah, iaitu nama bagi sesuatu yang disukai dan kasihi oleh Allah swt.

Perintah Allah dan Rasul-Nya ini hendaklah ditunaikan dengan perasaan penuh sedar, kasih dan cinta kepada Allah, bukan kerana terpaksa atau kerana yang lain dari cintakan kepada-Nya.

Para Nabi dan Rasul merupakan hamba Allah yang terbaik dan sentiasa melaksanakan ibadah dengan penuh kesempurnaan di mana setiap arahan Tuhannya, mereka patuhi dengan penuh perasaan cinta dan kasih serta mengharap keredaan dari Tuhannya. Mereka menjadi contoh teladan yang paling baik kepada kita semua dalam setiap pekerjaan dan amalan sebagaimana yang dianjurkan oleh al-Quran itu sendiri.

Firman Allah swt. maksudnya:

“Sesungghnya bagi mu, apa yang ada pada diri Rasulullah itu contoh yang paling baik”. (al-Ahzab: 21)

Sesetengah ulama mengatakan bahawa perhambaan (ibadah) kepada Allah hendaklah disertai dengan perasaan cinta serta takut kepada Allah swt. dan hati yang sihat dan sejahtera tidak merasa sesuatu yang lebih manis, lebih lazat, lebih seronok dari kemanisan iman yang lahir dari pengabdian (ibadah) kepada Allah swt. Dengan ini maka akan bertautlah hatinya kepada Allah dalam keadaan gemar dan reda terhadap setiap perintah serta mengharapkan supaya Allah menerima amalan yang dikerjakan dan merasa bimbang serta takut kalau-kalau amalan tidak sempurna dan tidak diterima oleh Allah seperti yang ditegaskan dalam firman-Nya yang bermaksud:

“(Ia itu) Oran yang takut kepada Tuhan yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat”. (Qaf: 33)

Orang yang memperhambakan dirinya (beribadah) kepada Allah mereka akan sentiasa patuh dan tunduk kepada kehendak dan arahan Tuhannya, sama ada dalam perkara yang ia suka atau yang ia tidak suka dan mereka mencintai dan mengasihi Allah dan Rasul-Nya lebih dari yang lain-lainnya. Mereka mengasihi makhluk yang lain hanyalah kerana Allah semata-mata, tidak kerana yang lain Kasihkan kepada Rasulullah saw. pula kerana ia membawa Risalah Islam, cintakan kepada Rasulullah saw. hendaklah mengikuti sunahnya sebagaimana firman Allah swt. maksudnya:

“Katakanlah (wahai Muhammad) sekiranya kamu kasihkan Allah maka ikutilah aku (pengajaranku) nescaya Allah akan mengasihi kamu dan mengampunkan dosa- dosa kamu”. (Al-Imran: 31)

Dan andainya kecintaan kamu kepada selain Allah dan Rasul-Nya itu mengatasi dan melebihi dari kencintaan dan kasih kepada yang lain; Allah akan turunkan keseksaan-Nya kepada manusia yang telah meyimpang dari ketentuan-Nya. Firman Allah swt. maksudnya:

“Katakanlah (Muhammad) jika ibu bapa kamu, anak-anak kamu, saudara mara kamu, suami isteri kamu, kaum keluarga kamu, harta benda yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu bimbangkan kerugiannya, dan rumahtangga yang kamu sukai itu lebih kamu kasihi daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad untuk agama Allah, maka tunggulah (kesiksaan yang akan didatangkan) oleh Allah. Dan Allah tidak memberi hidayah kepada orang-orang fasik”. (At-Taubah: 24)

Ruang lingkup Ibadah dan Hubunganya dengan kehidupan

Sebgaimana yang dijelaskan di atas nyatalah ibadah itu itu bukanlah sesempit apa yang difahami oleh sebahagian dari kalangan manusia yang tidak dapat memahami kesempurnaan Islam itu sendiri di mana pada anggapan mereka Islam itu hanya suatu perbicaraan pasal akhirat (mati) dan melakukan beberapa jenis ibadah persendirian tidak lebih dari itu. Begitu juga bila disebut ibadah apa yang tergambar hanyalah masjid, tikar sembahyang, puasa, surau, tahlil, membaca al-Quran, doa, zikir dan sebagainya iaitu kefahaman sempit disekitar ibadah-ibadah khusus dan ritual sahaja tidak lebih dari itu. Kefahaman seperti ini adalah akibat dari serangan fahaman Sekular yang telah berakar umbi ke dalam jiwa sebahagian dari kalangan orang-orang Islam.

Islam adalah suatu cara hidup yang lengkap dan sempurna, yang merangkumi semua bidang kehidupan dunia dan akhirat, di mana dunia merupakan tanaman atau ladang yang hasil serta keuntungannya akan dituai dan dinikmati pada hari akhirat kelak.

Ibadah dalam Islam meliputi semua urusan kehidupan yang mempunyai paduan yang erat dalam semua lapangan hidup dunia dan akhirat, tidak ada pemisahan antara kerja-kerja mencari kehidupan di muka bumi ini dan hubungannya dengan balasan akhirat. Islam mengajarkan kepada kita setiap apa juga amalan yang dilakukan oleh manusia ada nilai dan balasan sama ada pahala atau siksa. Inilah keindahan Islam yang disebut sebagai ad-Deen yang lengkap sebagai suatu sistem hidup yang boleh memberi kesejahteraan hidup penganutnya di dunia dan di akhirat.

Dengan kata lain setiap amalan atau pekerjaan yang membawa manfaat kepada individu dan masyarakat selama ia tidak bercanggah dengan syarak jika sekiranya ia memenuhi syarat-syaratnya, seperti dikerjakan dengan ikhlas kerana Allah semata-mata bukan kerana mencari kepentingan dan mencari nama serta ada niat mengharapkan balasan dari manusia atau ingin mendapat pujian dan sanjungan dari manusia; maka amalan-amalan yang demikian akan mejadi ibadah yang diberi pahala di sisi Allah swt di akhirat kelak, insya’-Allah.

Berdasarkan kepada konsep ibadah tersebut maka setiap perbuatan pertolongan baik kepada orang lain seperti membantu orang sakit, tolong merengankan beban dan kesukaran hidup orang lain, memenuhi keperluannya, menolong orang yang teraniaya, mengajar dan membimbing orang yang jahil adalah ibadah.

Termasuk juga dalam makna ibadah ialah setiap perbuatan, perkataan manusia zahir dan batin yang disukai dan diredai oleh Allah swt. Bercakap benar, taat kepada ibu bapa, amanah, menepati janji, berakata benar, memenuhi hajat keperluan orang lain adalah iabadah.

Menuntut ilmu, menyuruh perkara kebaikan dan mencegah segala kejahatan, berjihad, memberi pertolongan kepada sesama manusia, dan kepada binatang, berdoa, puasa, sembahyang, membaca al-Quran semuanya itu juga adalah sebahagian dari ibadah.

Begitu juga termasuk dalam pengertian ibadah cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, melaksanakan hukum-hukum Allah, sabar menerima ujian, bersyukur menerima nikmat, reda terhadap qadha’ dan qadar-Nya dan banyak lagi kegiatan dan tindakan manusia yang termasuk dalam bidang ibadah.

Kesimpulannya ruanglingkup ibadah dalam Islam adalah terlalu terlalu luas yang merangkumi semua jenis amalan dan syiar Islam dari perkara yang sekecil-kecilnya seperti cara makan, minum dan masuk ketandas hinggalah kerja-kerja menguruskan kewangan dan pentadbiran negara semuanya adalah dalam makna dan pengertian ibadah dalam ertikata yang luas apabila semuanya itu dikerjakan dengan sebaik-baiknya dengan menurut adab dan peraturan serta memenuhi syarat-syaratnya.

Hubungan Iman dan Amal

Iman bukanlah sekadar suatu keyakinan dan pembenaran dalam hati terhadap apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. tetapi iman yang hakiki dan sebenar ialah merangkumi pembenaran dan keyakinan di dalam hati, pengucapan di lidah serta melaksanakan amalan dengan anggota badan iaitu melakukan amalan soleh, maka dengan ini dapatlah difahami iman itu bukanlah sekadar ucapan lidah dan keyakinan dalam hati sahaja tetapi amalan merupakan sebagai bukti kesempurnaan, keteguhan dan kemantapan iman seseorang.

Imam al-Ghazali menjelaskan dalam hubungan ini dengan katanya:

“Iman itu ialah akidah, perkataan dan perbuatan”.

Dengan makna akidah itu sebagai membenarkan dan mepercayai dengan hati kepada segala yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. (perkara yang mudah (dharuri) dari agama). Perkataan adalah sebagai ikrar dan pengakuan dengan lisan dan perbuatan adalah sebagai beramal melaksanakan segala perintah Allah dengan anggota (badan yang lahir).

Hadis Rasulullah saw. menguatkan adanya hubungan yang sangat erat di antara iman dan amal. dengan sabdanya sebagai berikut: Sabda Rasulullah saw. maksudnya:

“Iman itu lebih dari enam puluh cabang; yang paling tingginya La-Ilaaha-Illallaah dan dan yang paling rendahnya membuang sampah dari tengah jalan”. (H.R.Bukhari)

Hadis ini menyatakan dengan jelas perbuatan membuang sampah sebagai sebahagian dari iman. Ini bermkna iman itu jelas bukan sekadar keyakinan dan kepercayaan dalam hati tetapi ia juga merangkumi amal atau perbuatan manusia.

Pembahagian Ibadah

Untuk memudahkan bahasan dan perbincangan kita berhubung dengan ibadah ini, ulamak-ulamak Islam membahagikan ibadah kepada dua bahagian sebagai berikut:

1. Ibadah khusus

2. Ibadah Umum

Ibadah khusus ialah semua amalan yang tercantum dalam bab al-Ibadaat yang utamanya ialah sembahyang, puasa, zakat dan haji.

Ibadah Umum pula ialah segala amalan dan segala perbuatan manusia serta gerak-geri dalam kegiatan hidup mereka yang memenuhi syarat-syarat berikut:

1) Amalan yang dikerjakan itu di akui oleh syarak dan sesuai dengan Islam.

2) Amalan tersebut tidak bercanggah dengan syariat, tidak zalim, khianat dan sebagainya

3) Amalan tersebut dikerjakan dengan niat ikhlas semata-mata keranaAllah swt. tidak riak, ujub dan um’ah.

4) Amalan itu hendaklah dikerjakan dengan sebaik-baiknya

5) Ketika mengerjakan amalan tersebut tidak lalai atau mengabaikan kewajipan ibadah khusus seperti sembahyang dan sebagainya.

Firman Allah swt. maksudnya:

“Lelaki yang tidak dilalaikan mereka oleh perniagaan atau jual beli dari mengingati Allah, mendirikan sembahyang dan mengeluarkan zakat mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang”. (An-Nur: 37)

Amalan-Amalan yang Tidak Menjadi Ibadah

Dilihat dari syarat-syarat di atas, nampaklah kepada kita bahawa sesuatu amalan yang dikerjakan oleh seseorang begitu sukar sekali untuk mencapai kesempurnaan dalam makna ibadah dengan ertikata yang sebenar-benarnya mengikut syarat-syarat dan ketentuan tersebut di atas, oleh itu kita hendaklah bersungguh-sungguh dalam mengusahakan amalan kita supaya dapat mencapai matlamat ibadah yang sempurna dengan menyempurnakan segala syarat-syaratnya.

Dan kita hendaklah sentiasa meneliti dan memperhatikan dengan sungguh-sungguh agar kita tidak tertipu dengan amalan kita sendiri; dengan menyangka kita telah banyak melaksanakan amal ibadah dengan sempurna tetapi pada hakikatnya tidak demikian, kita takut akan tergolong ke dalam golongan manusia yang tertipu dan sia-sia amalan kita dan apa yang kita dapat hanyalah penat dan lelah. Ini kerana kita melakukan amalan dan kerja-kerja kebajikan itu tidak menepati dan tidak selari dengan ketentuan dan syarat-syarat ibadah dan amal soleh yang dikehandkki itu.

Dari itu disamping kita melaksanakan segala amalan zahir dengan sempurna mengikut petunjuk dari Rasulullah saw. apa yang lebih penting lagi ialah kita membetulkan amalan batin iaitu amalan hati supaya betul iaitu niat dengan ikhlas, amalan itu semata-mata kerana Allah tidak kerana yang lain dari-Nya. Dan kita juga hendaklah sentiasa menjaga keikhlasan hati kita ini dari penyakit-penyakit yang boleh merusakannya seperti riak, ujub, sum’ah, takabur dan sebagainya.

Kesimpulan secara mudah ialah seorang lelaki yang memakai pakaian untuk menutup aurat dari kain sutra, dan perempuan yang berpakaian meliputi badannya tetapi masih menampakan susuk badannya masih lagi tidak dinamakan ibadah, atau seorang menderma dengan tujuan supaya dipuji dan digelar sebagai dermawan atau seorang yang rajin bersembahyang dengan niat tujuan supaya digelar sebagai ahli ibadah oleh manusia; itu semua tidak termasuk dalam makna ibadah yang diterima oleh Allah swt.

Dengan demikian jelaslah kepada kita segala amalan yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas itu tidak dikira sebagai ibadah. Niat dan tujuan serta matlamat adalah sangat penting dalam sesuatu amalan di samping amalan tersebut tidak bercanggah serta diakui sah oleh syariat Islam.

Matalamat dan Tujuan Ibadah

Sebagaimana kita ketahui dan maklum bahawa pengutusan manusia ke dunia ini tidak lain melainkan untuk beribadah (memperhambakan diri) kepada al-Khaliq, Allah Yang Maha Pencipta dan juga kita telah mengetahui bahawa pengertian ibadah dalam Islam merangkumi semua bidang amalan dalam kehidupan manusia.

Dan di sini timbul pertanyaan kenapa kita mengabdi menyembah Allah dan apakah matlamat ibadah itu ? Apakah ada faedah untuk-Nya atau apa faedah yang boleh didapati oleh seseorang hamba yang menyembah-Nya ?

Jawapannya ialah bahawa Allah swt. Yang Maha Suci dan Maha Tinggi tidak mendapat sebarang faedah dari ketaatan orang yang menyembah-Nya dan tidak memberi mudarat sedikitpun dari keengganan orang yang menentang dan engkar kepada perintah-Nya.

Begitu juga tidak menambahkan kuasa keagungan pemerintahan-Nya oleh puji-pujian orang yang memuji-Nya dan tidak mengurangi keagungan kekuasaan-Nya oleh keengkaran orang-orang yang mengengkari perintah-Nya.

Ini kerana Allah Maha Kaya dan mempunyai segala-galanya kerana semua yang ada di alam ini menjadi milik-Nya belaka sedangkan kita manusia adalah satu dari makhluk Allah yang banyak itu, makhluk manusia ini terlalu kecil, hina dan miskin, serba kekurangan dan sentiasa berhajat dan memerlukan kepada-Nya.

Allah, Dialah Tuhan Maha Pemurah, Maha Mulia, Maha Penyayang serta bersifat Maha Memberi kepada semua makhuk-Nya dan Dia tidak menyuruh kita mengerjakan sesuatu melainkan perkara itu mendatangkan kebaikan bagi makhluk itu sendiri.

Firman Allah swt. maksudnya:

“Sesungguhnya Kami telah kurniakan hikmat (ilmu pengetahuan) kepada Luqman supaya dia bersyukur kepada Allah dan sesiapa yang bersyukur, sebenarnya dia bersyukur dagi faedah dirinya sendiri dan sesiapa yang ingkar, sesungghnya Allah Maha Kaya lagi Terpuji”. (Luqman: 12)

Dari itu kita wajiblah mensyukuri segala nikmat dan kurniaan Allah swt. kepada kita semua yang mana sekiranya kita hendak menghitugnya sudah tentu kita tidak mampu untuk berbuat demikian, begitulah besar dan banyaknya pemberian Allah kepada kita semua sebagai makhluk-Nya.

Kelazatan Bermunajat dan Mentaati Allah

Kelazatan beribadah ini dapat digambarkan dari beberapa peristiwa yang berlaku kepada baginda Rasulullah saw. para sahabat, tabi’in dan para solihin, kelazatan ini akan timbul apabila adanya hubungan hamba dengan Tuhannya yang begitu erat dan di mana seorang hamba begitu gembira dan begitu senang memuji-muji kebesaran Allah swt. ini semua berlaku dari sebab makrifat-nya (kenalnya) seseorang hamba itu kepada

Tuhannya sehingga hamba itu merasa rindu apabila ia tidak dapat menghadap Tuhannya, dan merasa gelisah kerana tidak dapat bertemu dengan yang dicintai dan dikasihinya. B begitu juga apabila seorang hamba mengalami sedikit kesusahan tentulah ia akan mengadu ketempat yang dapat menerima pengaduan dan boleh menyelesaikan masalah dan kesusahannya. Tiada tempat yang layak untuk berbuat demikian melainkan kepada Yang Maha Agung dan Maha Berkuasa.

Firman Allah swt. maksudnya:

“Demi sesungguhnya Kami mengetahui bahawa engkau (Muhammad) bersusah hati dengan apa yang mereka katakan maka hendaklah engkau bertasbih memuji Tuhanmu serta jadilah dari golongan orang-orang yang sujud beribadah dan sembahlah Tuhanmu sehingga tiba kepadmu perkara yang tetap (iaitu mati)”. (al-Hijr: 97-99)

Begitu juga di waktu orang-orang mukmin mendapat kurnia ia bersyukur seterusnya memuji kepada Allah swt. Firman Allah swt. maksudnya:

“Bila datang pertolongan Allah dan kemenangan (pembukaan Makkah) dan engkau lihat manusia berduyun-duyun masuk agama Allah swt. maka ucapkanlah tasbih dengan memuji Tuhanmu dan mintalah ampun kepada-Nya, sesungguhnya Dia suka menerima taubat”. (an-Nasr: 1-4)

Ibadah Hanya Untuk Allah

Pada hakikatnya pengabdian terhadap Allah swt. merupakan suatu kebebasan yang hakiki, jalan bagi mencapai kepada ketuannan yang sejati, kerana Allahlah yang boleh membebaskan hati nurani manusia dari perhambaan kepada sebarang makhluk dan memerdekakannya dari perhambaan dan kehinaan serta tunduk kepada yang lain dari Allah seperti tunduk kepada Tuhan-Tuhan palsu, berhala, manusia yang selalunya memperhamba dan mengongkong keyakinan manusia dengan sekuat-kuatnya miskipun pada lahirnya mereka bertindak seperti tuan yang bebas dan merdeka.

Perhambaan diri kepada Allah itu membebaskan manusia daripada perhambaan sesama makhluk kerana dalam hati manusia ada keperluan sejati kepada Allah, kepada Tuhan yang disembah yang mana dia bergantung kepadanya dan berusaha serta bekerja untuk mencapai keredaan-Nya. Jika yang disembah itu bukan Allah Yang Maha Esa tentulah manusia akan meraba-raba meyembah bermacam-macam Tuhan dari setiap objek benda dan khayalan yang ada dalam pemikiran dan yang berada di sekeliling mereka.

Tidak ada sesuatu pekerjaan yang paling mulia bagi manusia yang berakal selain dari beribadah menyembah Allah yang menciptanya dan menjadikan dirinya dengan sebaik-baiknya dan perkerjaan yang seburuk-buruknya kepada seorang manusia itu pula ialah menafi dan mendustakan Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka menyembah dan mengabdikan diri mereka kepada Tuhan yang lain dari Allah swt.

Seorang hamba abdi yang taat kepada tuannya tentulah akan merasa senang dan gembira kerana ia tahu apa yang disukai oleh tuannya lalu disempurnakannya suruhan itu dengan segala senang hati dan disempurnakan dengan sebaik-baiknya. Manakala seorang hamba yang dimiliki oleh beberapa orang tuan selalu bertelingkah antara sesama mereka; yang satu menyuruh hamba itu melakukan sesuatu yang ditegah oleh yang lain, maka alangkah susah dan deritanya hamba tersebu itu untuk melakukan perintah-perintah Tuhan yang saling bertentangan perintahnya antara satu Tuhan dengan Tuhan yang lain.

Kalau orang yang menyembah selain dari Allah menjadi musyrik (kafir di- sebabkan ia melakukan perbuatan syirik), maka begitulah juga orang yang takabur menjadi musyrik (orang syirik), sebagaimana Firaun kerana kesombongan dan takaburnya, sebagaimana firman Allah swt. bermaksudnya:

“Nabi Musa as. berkata: “Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhanku dan Tuhan kamu daripada perbuatan orang yang takabur yang tidak percaya hari Perhitungan”, demikianlah Allah meterikan setiap hati orang yang takabur lagi bermaharajalela”. (al-A’raf: 27)

Kajian menunjukan bahawa semakin besar keangkuhan seseorang yang enggan tunduk dan patuh beribadah (mengabdi diri) kepada Allah, semakin besar kesyirikannya dengan Allah, Kerana menurut kebiasaannya semakin banyak takabur tidak mahu menyembah Allah semakin bertambahlah pergantungan manusia itu terhadap makhluk yang dicintainya yang menjadi pujaan utama bagi hatinya; yang demikian mereka akan menjadi musyrik dengan sebab menjadikan dirinya hamba (menyembah) kepada selain dari Allah swt.

Hati atau keyakinan manusia tidak akan terlepas dari perhambaan kepada makhluk kecuali mereka menjadikan Allah sebagai Tuhannya yang sebenar dan sejati, tiada Tuhan yang disembah melainkan Allah, tiada tempat bergantung dan meminta pertolongan melainkan dari-Nya, Tidak merasa gembira melainkan dengan apa yang disukai dan diredai-Nya, Tidak ia benci melainkan apa yang dibenci oleh Allah, tidak ia memusuhi kecuali orang yang Allah memusuhinya, tidak ia kasih melainkan kepada orang yang di kasihi oleh Allah, tidak ia memberi kecuali kerana Allah dan tidak ia melarang kecuali kerana Allah.

Semakin tulus keikhlasan seseorang itu kepada Allah maka semakin sempurnalah ubudiyahnya (perhambaanya) kepada Allah dan terlepas dari pergantungannya kepada sesama makhluk, dengan sempurna ubudiyahnya kepada Allah maka sempurnalah kesuciannya dari sifat syirik.

Tidak Harus Kepentingan Dunia Dijadikan Tujuan Ibadah

Samasekali tidak sesuai dengan tujuan Islam yang suci di mana tujuan atau kepentingan dunia menjadi matlamat dalam amalan atau ibadah seseorang, ataupun kepentingan dunia atau faedah-faedah dunia menjadi pendorong seseorang untuk melakukan printah ibadah kepada Allah swt.

Begitu juga kalau tujuan beramal dan beribadah kepada Allah swt. untuk mendapatkan kesucian jiwa dan dengan itu dapat mengembara ke alam arwah dan dapat melihat malaikat serta dapat melakukan sesuatu yang luar biasa, mendapat keramat (kemuliaan) dan ilmu ladunni.

Semuanya ini disangkal oleh para ulamak dengan katanya: “Yang demikian adalah terkeluar daripada jalan ibadah, Ia merupakan ramalan kepada ilmu atau perkara ghaib, malah akan menjadi ibadah kepada Allah itu sebagai jalan menuju ke arah demikian yang mana pada akhirnya lebih hampir kepada meninggal ibadah.”Orang-orang yang beribadah dengan maksud yang demikian termasuk di bawah pengertian ayat al-Quran yang maksudnya:

“Sebahagian daripada manusia yang menyembah Allah secara tidak tetap, bila mendapat kebaikan dia teruskan dan bila terkena kesusahan dia berpaling tadah. Rugilah dia di dunia dan di akhirat. Itulah kerugian yang amat nyata”. (al-Hajj: 11)

Begitulah keadaan orang yang beribadah dengan tujuan mendapatkan faedah-faedah dunyawi jika sampai dan berhasil tujuan dan kehendaknya bergembiralah dia dan kuatlah tujuannya tetapi lemahlah ibadahnya jika tujuannya tidak berhasil dia meninggalkan ibadah itu.

Kesimpulan

Sebagaimana yang telah kita faham sebelum ini runglingkup ibadah itu adalah terlalu luas sebagaimana yang telah dijelaskan iaitu ibadah merupakan semua kegiatan hidup manusia itu sendiri yang sesuai dengan syariat Islam yang suci dan murni itu, oleh itu bolehlah difaham ibadah dalam Islam bermula sejak dari adab-adab masuk ketandas mengerjakan qadha’ hajat hinggalah sampai kepada bagaimana cara mengurus kewangan dan mentadbir negara.

Kegiatan hidup manusia ini akan termasuk ke dalam makna ibadah yang diberi ganjaran dan pembalasan pahala baik di akhirat apabila ia menepati dengan kehendak syarak, tidak menyeleweng dari kehendak dan ketentuan Allah swt. dikerjakan mengikut peraturan dan syarat-syaratnya, disertai pula dengan niat yang betul dan ikhlas semata-mata dilakukan kerana mencari keredaan Allah swt. tidak kerana yang lain dari-Nya, menghindarkan diri dari perasaan riak, (menunjuk-nunjuk), ingin dipuji dan terkenal sebagai orang yang rajin, tekun, orang baik dan ingin disebut-sebut sebagai ahli ibadah oleh orang ramai dan juga suka berbangga dengan memberi tahu kepada orang lain akan amal kebajikannya. Ia juga hendaklah menghindarkan diri dari merasa bangga kerana ia telah banyak berbuat kebajikan dan berbuat amal ibadah.

Oleh itu ibadah dalam Islam bukanlah terhad kepada amalan-amalan ibadah yang ritual semata-mata seperti sembahyang, zikir, puasa, haji dan sebagainya yang disebut sebagai ibadah khusus, tetapi ibadah merangkumi, kerja-kerja kemasyarakatan dan sosial, mencari rezki, sahinggalah kepada mengurus dan mentadbir negara; semuanya itu akan menjadi ibadah sekiranya ia dilakukan menurut cara dan kehendak Islam serta niat dari hati yang ikhlas semata-mata kerana Allah swt.

Wallahu a’lam.

***&&***


kamasutra dalam islam



Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Sebagai bagian dari fitrah kemanusiaan, Islam tidak pernah memberangus hasrat seksual. Islam memberikan panduan lengkap agar seks bisa tetap dinikmati seorang muslim tanpa harus kehilangan ritme ibadahnya.
...
Bulan Syawal, bagi umat Islam Indonesia, bisa dibilang sebagai musim kawin. Anggapan ini tentu bukan tanpa alasan. Kalangan santri dan muhibbin biasanya memang memilih bulan tersebut sebagai waktu untuk melangsungkan aqad nikah.
Kebiasaan tersebut tidak lepas dari anjuran para ulama yang bersumber dari ungkapan Sayyidatina Aisyah binti Abu Bakar Shiddiq yang dinikahi Baginda Nabi pada bulan Syawwal. Ia berkomentar,
“Sesungguhnya pernikahan di bulan Syawwal itu penuh keberkahan dan mengandung banyak kebaikan.”

Namun, untuk menggapai kebahagiaan sejati dalam rumah tangga tentu saja tidak cukup dengan menikah di bulan Syawwal. Ada banyak hal yang perlu dipelajari dan diamalkan secara seksama oleh pasangan suami istri agar meraih ketentraman (sakinah), cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah), baik lahir maupun batin. Salah satunya dan yang paling penting adalah persoalan hubungan intim atau dalam bahasa fiqih disebut jima’.

Sebagai salah tujuan dilaksanakannya nikah, hubungan intim –menurut Islam– termasuk salah satu ibadah yang sangat dianjurkan agama dan mengandung nilai pahala yang sangat besar. Karena jima’ dalam ikatan nikah adalah jalan halal yang disediakan Allah untuk melampiaskan hasrat biologis insani dan menyambung keturunan bani Adam.

Selain itu jima’ yang halal juga merupakan ibadah yang berpahala besar. Rasulullah SAW bersabda, “Dalam kemaluanmu itu ada sedekah.” Sahabat lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita mendapat pahala dengan menggauli istri kita?.” Rasulullah menjawab, “Bukankah jika kalian menyalurkan nafsu di jalan yang haram akan berdosa? Maka begitu juga sebaliknya, bila disalurkan di jalan yang halal, kalian akan berpahala.” (HR. Bukhari, Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah)

Karena bertujuan mulia dan bernilai ibadah itu lah setiap hubungan seks dalam rumah tangga harus bertujuan dan dilakukan secara Islami, yakni sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan sunah Rasulullah SAW.

Hubungan intim, menurut Ibnu Qayyim Al-Jauzi dalam Ath-Thibbun Nabawi (Pengobatan ala Nabi), sesuai dengan petunjuk Rasulullah memiliki tiga tujuan: memelihara keturunan dan keberlangsungan umat manusia, mengeluarkan cairan yang bila mendekam di dalam tubuh akan berbahaya, dan meraih kenikmatan yang dianugerahkan Allah.

Ulama salaf mengajarkan, “Seseorang hendaknya menjaga tiga hal pada dirinya: Jangan sampai tidak berjalan kaki, agar jika suatu saat harus melakukannya tidak akan mengalami kesulitan; Jangan sampai tidak makan, agar usus tidak menyempit; dan jangan sampai meninggalkan hubungan seks, karena air sumur saja bila tidak digunakan akan kering sendiri.

Wajahnya Muram

Muhammad bin Zakariya menambahkan, “Barangsiapa yang tidak bersetubuh dalam waktu lama, kekuatan organ tubuhnya akan melemah, syarafnya akan menegang dan pembuluh darahnya akan tersumbat. Saya juga melihat orang yang sengaja tidak melakukan jima’ dengan niat membujang, tubuhnya menjadi dingin dan wajahnya muram.”

Sedangkan di antara manfaat bersetubuh dalam pernikahan, menurut Ibnu Qayyim, adalah terjaganya pandangan mata dan kesucian diri serta hati dari perbuatan haram. Jima’ juga bermanfaat terhadap kesehatan psikis pelakunya, melalui kenikmatan tiada tara yang dihasilkannya.

Puncak kenikmatan bersetubuh tersebut dinamakan orgasme atau faragh. Meski tidak semua hubungan seks pasti berujung faragh, tetapi upaya optimal pencapaian faragh yang adil hukumnya wajib. Yang dimaksud faragh yang adil adalah orgasme yang bisa dirasakan oleh kedua belah pihak, yakni suami dan istri.

Mengapa wajib? Karena faragh bersama merupakan salah satu unsur penting dalam mencapai tujuan pernikahan yakni sakinah, mawaddah dan rahmah. Ketidakpuasan salah satu pihak dalam jima’, jika dibiarkan berlarut-larut, dikhawatirkan akan mendatangkan madharat yang lebih besar, yakni perselingkuhan. Maka, sesuai dengan prinsip dasar islam, la dharara wa la dhirar (tidak berbahaya dan membahayakan), segala upaya mencegah hal-hal yang membahayakan pernikahan yang sah hukumnya juga wajib.

Namun, kepuasan yang wajib diupayakan dalam jima’ adalah kepuasan yang berada dalam batas kewajaran manusia, adat dan agama. Tidak dibenarkan menggunakan dalih meraih kepuasan untuk melakukan praktik-praktik seks menyimpang, seperti anu (liwath) yang secara medis telah terbukti berbahaya. Atau penggunaan kekerasaan dalam aktivitas seks (mashokisme), baik secara fisik maupun mental, yang belakangan kerap terjadi.

Maka, sesuai dengan kaidah ushul fiqih “ma la yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajibun” (sesuatu yang menjadi syarat kesempurnaan perkara wajib, hukumnya juga wajib), mengenal dan mempelajari unsur-unsur yang bisa mengantarkan jima’ kepada faragh juga hukumnya wajib.

Bagi kaum laki-laki, tanda tercapainya faragh sangat jelas yakni ketika jima’ sudah mencapai fase ejakulasi atau keluar mani. Namun tidak demikian halnya dengan kaum hawa’ yang kebanyakan bertipe “terlambat panas”, atau –bahkan— tidak mudah panas. Untuk itulah diperlukan berbagai strategi mempercepatnya.
Dan, salah satu unsur terpenting dari strategi pencapaian faragh adalah pendahuluan atau pemanasan yang dalam bahasa asing disebut foreplay (isti’adah). Pemanasan yang cukup dan akurat, menurut para pakar seksologi, akan mempercepat wanita mencapai faragh.

Karena dianggap amat penting, pemanasan sebelum berjima’ juga diperintahkan Rasulullah SAW. Beliau bersabda,

“Janganlah salah seorang di antara kalian menggauli istrinya seperti binatang. Hendaklah ia terlebih dahulu memberikan pendahuluan, yakni ciuman dan cumbu rayu.” (HR. At-Tirmidzi).

Ciuman dalam hadits diatas tentu saja dalam makna yang sebenarnya. Bahkan, Rasulullah SAW, diceritakan dalam Sunan Abu Dawud, mencium bibir Aisyah dan mengulum lidahnya. Dua hadits tersebut sekaligus mendudukan ciuman antar suami istri sebagai sebuah kesunahan sebelum berjima’.

Ketika Jabir menikahi seorang janda, Rasulullah bertanya kepadanya, “Mengapa engkau tidak menikahi seorang gadis sehingga kalian bisa saling bercanda ria? …yang dapat saling mengigit bibir denganmu.” HR. Bukhari (nomor 5079) dan Muslim (II:1087).

Bau Mulut

Karena itu, pasangan suami istri hendaknya sangat memperhatikan segala unsur yang menyempurnakan fase ciuman. Baik dengan menguasai tehnik dan trik berciuman yang baik, maupun kebersihan dan kesehatan organ tubuh yang akan dipakai berciuman. Karena bisa jadi, bukannya menaikkan suhu jima’, bau mulut yang tidak segar justru akan menurunkan semangat dan hasrat pasangan.

Sedangkan rayuan yang dimaksud di atas adalah semua ucapan yang dapat memikat pasangan, menambah kemesraan dan merangsang gairah berjima’. Dalam istilah fiqih kalimat-kalimat rayuan yang merangsang disebut rafats, yang tentu saja haram diucapkan kepada selain istrinya.

Selain ciuman dan rayuan, unsur penting lain dalam pemanasan adalah sentuhan mesra. Bagi pasangan suami istri, seluruh bagian tubuh adalah obyek yang halal untuk disentuh, termasuk kemaluan. Terlebih jika dimaksudkan sebagai penyemangat jima’. Demikian Ibnu Taymiyyah berpendapat.

Syaikh Nashirudin Al-Albani, mengutip perkataan Ibnu Urwah Al-Hanbali dalam kitabnya yang masih berbentuk manuskrip, Al-Kawakbu Ad-Durari,

“Diperbolehkan bagi suami istri untuk melihat dan meraba seluruh lekuk tubuh pasangannya, termasuk kemaluan. Karena kemaluan merupakan bagian tubuh yang boleh dinikmati dalam bercumbu, tentu boleh pula dilihat dan diraba. Diambil dari pandangan Imam Malik dan ulama lainnya.”

Berkat kebesaran Allah, setiap bagian tubuh manusia memiliki kepekaan dan rasa yang berbeda saat disentuh atau dipandangi. Maka, untuk menambah kualitas jima’, suami istri diperbolehkan pula menanggalkan seluruh pakaiannya. Dari Aisyah RA, ia menceritakan, “Aku pernah mandi bersama Rasulullah dalm satu bejana…” (HR. Bukhari dan Muslim).

Untuk mendapatkan hasil sentuhan yang optimal, seyogyanya suami istri mengetahui dengan baik titik-titik yang mudah membangkitkan gairah pasangan masing-masing. Maka diperlukan sebuah komunikasi terbuka dan santai antara pasangan suami istri, untuk menemukan titik-titik tersebut, agar menghasilkan efek yang maksimal saat berjima’.

Diperbolehkan bagi pasangan suami istri yang tengah berjima’ untuk mendesah. Karena desahan adalah bagian dari meningkatkan gairah. Imam As-Suyuthi meriwayatkan, ada seorang qadhi yang menggauli istrinya. Tiba-tiba sang istri meliuk dan mendesah. Sang qadhi pun menegurnya. Namun tatkala keesokan harinya sang qadhi mendatangi istrinya ia justru berkata, “Lakukan seperti yang kemarin.”

Satu hal lagi yang menambah kenikmatan dalam hubungan intim suami istri, yaitu posisi bersetubuh. Kebetulan Islam sendiri memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada pemeluknya untuk mencoba berbagai variasi posisi dalam berhubungan seks. Satu-satunya ketentuan yang diatur syariat hanyalah, semua posisi seks itu tetap dilakukan pada satu jalan, yaitu farji. Bukan yang lainnya.

Allah SWT berfirman,

“Istri-istrimu adalah tempat bercocok tanammu, datangilah ia dari arah manapun yang kalian kehendaki.” QS. Al-Baqarah (2:223).

Posisi Ijba’

Menurut ahli tafsir, ayat ini turun sehubungan dengan kejadian di Madinah. Suatu ketika beberapa wanita Madinah yang menikah dengan kaum muhajirin mengadu kepada Rasulullah SAW, karena suami-suami mereka ingin melakukan hubungan seks dalam posisi ijba’ atau tajbiyah.

Ijba adalah posisi seks dimana lelaki mendatangi farji perempuan dari arah belakang. Yang menjadi persoalan, para wanita Madinah itu pernah mendengar perempuan-perempuan Yahudi mengatakan, barangsiapa yang berjima’ dengan cara ijba’ maka anaknya kelak akan bermata juling. Lalu turunlah ayat tersebut.

Terkait dengan ayat 233 Surah Al-Baqarah itu Imam Nawawi menjelaskan, “Ayat tersebut menunjukan diperbolehkannya menyetubuhi wanita dari depan atau belakang, dengan cara menindih atau bertelungkup. Adapun menyetubuhi melalui dubur tidak diperbolehkan, karena itu bukan lokasi bercocok tanam.” Bercocok tanam yang dimaksud adalah berketurunan.

Muhammad Syamsul Haqqil Azhim Abadi dalam ‘Aunul Ma’bud menambahkan, “Kata ladang (hartsun) yang disebut dalam Al-Quran menunjukkan, wanita boleh digauli dengan cara apapun : berbaring, berdiri atau duduk, dan menghadap atau membelakangi..”

Demikianlah, Islam, sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, lagi-lagi terbukti memiliki ajaran yang sangat lengkap dan seksama dalam membimbing umatnya mengarungi samudera kehidupan. Semua sisi dan potensi kehidupan dikupas tuntas serta diberi tuntunan yang detail, agar umatnya bisa tetap bersyariat seraya menjalani fitrah kemanusiannya.

***&&***
Lihat Selengkapnya

7 Resep Mujarab Bagi Yang Kebelet Nikah Tapi Tak Mampu



Ada beberapa tipe manusia khususnya pria, yang sebenarnya sudah kebelet nikah, tapi tak mampu mewujudkannya. Ada pria yang sudah mapan dan berpenghasilan cukup, bahkan lebih, tapi soal urusan cinta, ia kurang beruntung. Berkali-kali pinangannya ditolak dengan berbagai alasan. Mulai dari wajah yang mungkin terlalu ”berkarakter”, sampai soal te...kstur dan gestur tubuh yang terlalu ”ideal”. Ada juga pria cukup mapan dalam soal pekerjaan, cinta juga sudah ia dapatkan, tapi restu orang tua belum turun juga. Itu karena si perempuan tersebut belum cukup umur. Ulfa, zaujah Syech Puji misalnya. Lalu ada tipe pria yang sudah tak punya penghasilan alias pengangguran, juga tak beruntung soal jodoh. Yang ini jelas keterlaluan, terang saja tak ada mertua yang mau mempunyai menantu pengangguran.

Dan banyak tipe pria lainnya yang kurang beruntung soal jodoh. Tapi tak usah minder. Apalagi resah. Tapi jangan juga dianggap remeh. Karena jebakan-jebakan untuk berbuat maksiat akan semakin meraja rela. Meradang dan menyerang bagi pria-pria malang tersebut. Sssttt … saya juga termasuk salah satu pria-pria malang tersebut!

Nah! Agar para manusia kurang beruntung tersebut dapat terhindar dari hal-hal yang tidak benar, maka cobalah 7 resep mujarab berikut. Resep ini juga berlaku untuk kaum hawa yang tak beruntung soal jodoh, dan ingin menjaga kehormatannya hingga Allah mempertemukannya dengan ”sang arjuna” hidupnya.
Ust. Anif Sirsaeba, MBQ secara khusus memberikan 7 resep ajaib tersebut, sebagaimana terurai lengkap dalam bukunya, Terapi Virus Merah Jambu. Sebenarnya ketujuh resep tersebut adalah bagian dari Terapi Kedua untuk menangkal energi negatif dari Virus Merah Jambu yang kian meresahkan.

Sebagaimana yang beliau tuturkan dalam buku tersebut:

Saudaraku tercinta, inilah terapi kedua bagi engkau yang tidak mampu menikah. Yakni hendaklah engkau menjaga kesucianmu sampai Allah memampukanmu melangsungkan pernikahan. ”Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)-nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya,” demikian Allah berfirman dalam QS. An-Nur [24]: 33.

Nah! Berikut 7 resep mujarab untuk menjaga kehormatan dan kesucian diri sampai Allah memampukan untuk melangsungkan pernikahan:

1. Hendaklah engkau rajin berpuasa, karena sesungguhnya puasa adalah benteng bagimu dan bisa menjauhkanmu dari neraka.
2. Hendaklah engkau rajin membaca dan merenungkan kandungan isi Al-Qur’an. Karena seesungguhnya Al-Qur’an adalah obat bagi segala macam penyakitmu.
3. Hendaklah engkau jaga dan engkau tundukkan pandanganmu. Karena sesungguhnya pandangan adalah anak panah iblis yang berbahaya.
4. Hendaklah engkau menjauhi segala hal yang mudah merangsang libido-seksmu.
5. Hendaklah engkau menjauhi pergaulan bebas, buruknya pertemanan, dan bergaullah hanya dengan teman-teman yang saleh saja.
6. Hendaklah engkau memanfaatkan waktu-waktu luangmu untuk hal-hal yang positif dan jauhilah pengangguran.
7. Hendaklah engkau selalu memohon pertolongan Allah. Karena tanpa pertolongan Allah, semuanya akan sia-sia belaka.

So, jangan tunda lagi ! Segera dicoba ! Dan jangan menyerah!

***&&***
Lihat Selengkapnya


Mengukur Rasa Cinta Kepada Allah SWT



Cinta ditilik dari sudut mana pun selalu menarik untuk dibahas. Sejarah mencatat bahwa sejumlah seniman, teolog, sampai filosof membicarakan cinta dari berbagai perspektifnya, baik dalam bentuk roman, puisi, syair, bahkan sampai dalam bentuk tulisan ilmiah yang bernuansa teologis, fenomenologis, psikologis, ataupun sosiologis.

Filsuf sekaliber Plato bahkan pe...rnah mengatakan siapa yang tidak terharu oleh cinta, berarti berjalan dalam gelap gulita.” Pernyataan ini menggambarkan betapa besar perhatian Plato pada masalah cinta, sampai-sampai dia menyebut orang yang tidak tertarik untuk membicarakannya sebagai orang yang berjalan dalam kegelapan.

Ericf Fromm, murid kesayangannya Sigmund Freud, menyebutkan empat unsur yang harus ada dalam cinta, yaitu: care (perhatian), responsibility (tanggung jawab), respect (rasa hormat), dan knowledge (pengetahuan).

Nah, sekarang bagaimana cara mengukur rasa cinta seorang hamba kepada Khalik-Nya. Ada beberapa indikator yang bisa dijadikan pegangan, yaitu:

1. Rindu bertemu dengan Allah

“Barangsiapa yang merindukan bertemu dengan Allah, maka Allah pun merindukan bertemu dengannya.” (H.R. Ahmad, Tirmudzi, Nasa’i)

2. Merasa nikmat berkhalwat (munajat/komunikasi dengan Allah)

“Shalat itu menjadi penyejuk hati.” (H.R. Ahmad, Nasa’i, Hakim)
“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” Q.S. As-Sajdah 16-17

3. Selalu sabar dalam mengarungi kehidupan (tangisan-ujian-kefanaan)
“Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” Q.S. An-Nahl 16: 96

· Sabar menghadapi nafsu syahwat, seperti Nabi Yusuf a.s.
· Sabar menghadapi istri, seperti Nabi Nuh a.s.
· Sabar menghadapi suami seperti Asyiah istri Fir’aun
· Sabar menghadapi penyakit, seperti Nabi Ayyub a.s.
· Sabar menghadapi penguasa zalim, seperti Nabi Ibrahim a.s. menghadapi Namrudz
· Sabar menghadapi anak-anak yang tidak saleh, seperti Nabi Ya’qub a.s.
· Sabar menghadapi umat yang neko-neko, seperti seperti Nabi Musa a.s.
· Sabar menghadapi fitnah, seperti Maryam
· Sabar menghadapi tantangan dakwah, seperti Nabi Muhammad saw.

“Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Q.S. An-Nahl 16: 127-128)

4. Mengutamakan apa yang dicintai Allah dari segala sesuatu yang dicintainya

“Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (Q.S. At-Taubah 9: 24)

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat dzalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (Q.S. Al Baqarah 2: 165)

5. Selalu mengingatnya/selalu hadir dalam setiap aktivitas kita bahwa hanya Allah segala-galanya

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” (Q.S. Al Anfal 8: 45)

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (Q.S. Al Anfal 8: 2-3)

6. Mengikuti apa yang dicontohkan nabi/rasul

“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Q.S. Ali Imran 3: 31

7. Semangat untuk membaca ayat-ayat-Nya

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal.” Q.S. Al Anfal 8: 2

8. Gemar bertaubat/minta ampun karena takut ditinggalkan

“Dan didekatkanlah surga itu kepada orang-orang yang bertakwa pada tempat yang tiada jauh (dari mereka). Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya). (Yaitu) orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertobat, masukilah surga itu dengan aman, itulah hari kekekalan. Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi Kami ada tambahannya.” Q.S. Qaaf 50: 31-35

***&&***

cara memakai jilbab yang salah dan Tata Cara Memakai Jilbab Yang Benar


Berikut Kesalahan-kesalahan yang sering terjadi dalam berkerudung dan berbusana muslimah

- Kerudung tidak menutupi dada
...
Ini bertentangan dengan firman Allah SWT dalam Al-qur’an “.. dan hendaklah mereka menutup kain kerudung ke dadanya … ” (QS. An Nur : 31)

- Rok kurang panjang (agak ngatung)

Hal ini tidak sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tarmizi dan Nasa’i, dari Ummu Salamah r.a. “”Ya Rasulullah, bagaimana dengan perempuan dan kain-kain mereka yang sebelah bawah?” Sabda Rasulullah S.A.W : “Hendaklah mereka memanjangkan barang sejengkal dan janganlah menambahkan lagi keatasnya”

- Pakaian ketat dan menampakkan bentuk tubuh

Selain terlihat dan terasa sesak, ternyata pakaian yang ketat juga tidak baik untuk kesehatan. Sebuah penelitian membuktikan bahwa pakaian yang ketat menyebabkan kulit kekurangan ruang untuk bernafas. Akibat yang ditimbulkan dari mengenakan pakaian ketat – mulai dari yang teringan seperti biduran, adanya bercak ringan di bagian tubuh tertentu sampai dengan penyakit yang cukup berbahaya, seperti kemandulan dan kanker.

- Menggunakan riasan make up yang tebal.

Menggunakan riasan make up bagi seorang perempuan tidaklah dilarang, tapi anjurannya adalah ‘jangan berlebihan’ karena segala sesuatu ynag berlebihan itu tidak baik dan Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. Selain itu, jika make up anda terlalu tebal, maka kurang sehat untuk wajah anda karena kulit wajah tidak dapat bernafas dengan baik dan menyisakan residu yang berlebihan pada wajah sehingga jika tidak telaten dapat menyebabkan jerawat di wajah. Apalagi ada beberapa muslimah yang mungkin malas berwudhu atau hanya berwudhu sekedarnya saja dengan alasan menjaga riasan wajah agar tetap awet.

- Kesalahan lainnya dalam berkerudung, diantaranya adalah tidak memakai kaos kaki, mengenakan blus yang pendek, memakai rok dengan belahan tinggi serta mengenakan kerudung yang terbuat dari bahan yang tipis/jarang.
Cara Memakai Jilbab Yang Benar – Penutup

Demikian penjelasan singkat tentang cara memakai jilbab yang benar dan jilbab yang salah. Ikutilah yang benar dan jauhilah yang salah. Semoga bermanfaat.

***&&***
Lihat Selengkapnya


Hidup di Bawah Naungan al-Quran


Bicara tentang al-quran, tidak terlepas dari kejayaan umat islam yang telah tercatat dalam sejarah. Kejayaan islam adalah murni karena al-Quran, bukan karena kekuatan fisik, kejeniusan, atau nasionalisme. Tatkala al-Qur’an terlepas dari genggaman umat Islam, maka tercampaklah kekuatan itu bahkan sebagaian besar masuk dalam kubangan lumpur jahiliyah.  Hancurnya kekuatan ini, bukanlah karena al-Quran, karena al-Quran sudah lengkap dan terpelihara huruf demi huruf, melainkan karena sebagain umat belum mengenal al-Quran dengan baik.

Bagaimana mungkin bisa mencintai al-Quran kalau tidak mengenalnya. Maka untuk itu, mari sedikit mengenal tentang ilmu al-Quran.

Nama al-Quran

    * Al-Karim / bacaan mulia (al-Waqiah/56:77). Membaca al-Quran akan mendapatkan kebaikan.
    * Al-kitab (al-Baqarah 2). Berupa susunan yang terdiri dari surat dan juz. Ada awal dan akhir. al-Quran bukanlah sembarangan kitab, sehingga cara berinteraksinya berbeda dengan kitab / buku lain.
    * Kitab Aziz (Fushilat 41, 41), sangat mulia dan memuliakan, karena diturunkan langsung dari Allah SWT.
    * Ad-Dikr /Peringatan (al-Hijr 15: 9)
    * Nuron Mubin (An-Nisa 174), cahaya yang nyata
    * Ruh / spirit / nyawa (as-syura 42:52). Manusia yang tidak mengenal al-Quran maka ia tidak memiliki ruh atau seperti mayat.

Fungsi al-Quran

    * Hudan / Petunjuk hidup (al-Baqarah 2). Agar tidak sesat dan dzalim seperti yahudi dan nasroni hindari
    * Mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya (Ibrahim 14,1)
    * Menjelaskan petunjuk hidup dan perbedaan antara haq dan bathil (al-Baqarah 185)
    *  Obat (al-Isra 17: 820, baik obat fisik atau psikis
    *  Rahmat (al-Isra 82), Kasih sayang Alloh akan melimpah kepada kita dalam jalan hidup selamat dunia dan akhirat

Kandungan al-Quran

    * Menjelaskan hakikat pencipta manusia dan alam semesta, dunia (malaikat, jin, setan, hewan, Iman, syirik, kufur nifaq).
    * Sisten hidup,  hubungan manusia, hukum, pendidikan, sosial muamalah (ekonomi dan bisnis).
    * Akhlaq pribadi, rumah tangga dan sosial
    * Kisah dan fakta nabi dan umat sebelumnya
    * Isyarat cabang ilmu alam dan humaniora
    * Berita futuristik
    * Tipologi malaikat, manusia, ahli kitab, jin, setan
    * Hakikat pertarungan hak dan batil
    * Penjelasan rinci kiamat dan akhirat surga neraka

Focus al-Quran

    * Pembentukan berfikir ilmiah. Kekufuran menodai kecerdasan manusia untuk memilih mana baik buruk. Misalnya mengukir benda dan hasilnya di sembah sebagai Tuhan, menyembah matahari, menuhankan nabi Isa, dll
    * Larangan pada praduga dan kira-kira
    * Larangan mengikuti hawa nafsu dan perasaan
    * Larangan taklid buta pada senior dan peninggalan nenek moyang
    * Larangan taat buta pada para pemimpin dan para pembesar / tokoh
    * Perintah menggunakan akal sebagai alat memahami
    * Perintah meneliti, mempelajari, dan memanfaatkan potensi bumi, langit dan isi keluarganya.

Kunci hidup di bawah naungan al-Quran

    * Berintaraksi dengan al-Quran secara intensif dengan membaca, memahami, mengamalkan, menghafal dan mengajarkan.

6 Kunci Sukses

    * Meyakini kebenaran al-Quran
    * Menyadari sebagai firman Allah
    * Membaca setiap hari
    * Memahami isi al-Quran dengan baik dan benar
    * Mengamalkan petunjuk-petunjuk al-Quran dari yang bisa
    * Merasakan kebenaran isinya dalam kehidupan

Kata Hikmah

Kehidupan di bawah al-Quran merupakan kenikmatan yang tidak akan dipahami dan diketahui kecuali oleh orang yang merasakannya (Sayid Qutub)

***88***

Sabtu, 25 Februari 2012

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh



Bissmillahirrahmanirrahim

Allah swt berfirman :

"Berdoalah kepada Rabb-mu dngan berendah diri dan suara yang lmbut. Sesungguhnya Allah tidak mnyukai orang yg melampaui batas" (QS. Al-A'raaf : 55)

Allah swt berfirman :



"Dan demikianlah Kami jdkan tiap2 nabi itu musuh, yaitu syetan2 (dr jenis) manusia dan (dr jenis) jin, sebagian mrkan mmbisikkan kpda sbgian yg lain perkataan2 yg indah2 untuk mnipu (Manusia).Jikalau Rabbmu mnghendaki. Niscya mrka tdk mngrjakannya, mka tinggalkan mrka dan apa yg mrka ada2kan." (QS. Al-An'am (6):112)

Rasulullah saw bersabda :

"Perjlnan mnju) neraka dpnhi hmparan syahwat ksnangan (yg mmbius),sdgkan (prjlnanan mnju) syurga dipnhi liku2 kslitan (yg sring mnggentarkan)" (HR. Al- Bukhari dan Muslim)

***888***

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh



Hukum Mengejek dalam Bercanda

Tidak boleh. Meski dimaksudkan untuk humor (canda), mengejek (olok-olok, menghina) itu tidak boleh.

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengo...lok-olokkan) perempuan-perempuan lain, karena boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.” (QS. Al Hujurat: 11).

Batasan humor dalam Islam, selain tidak boleh dengan cara menghina, juga tidak boleh mempermainkan risalah Islam dan tidak boleh berdusta (mengarang cerita bohong).

“Dan jika kamu tanyakan mereka ( tentang apa yang mereka lakukan itu) tentulah mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan main-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat –Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”( QS.At-Taubah:65 ).

“Celakalah bagi orang yang berkata dengan berdusta untuk menjadikan orang lain tertawa. Celaka dia, celaka dia.” ( HR.Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Hakim ). Wallahu a’lam.*

***&&***

Hukum Ghibah (Membicarakan Kejelekan Orang Lain) dalam Islam



ghibah

Apakah ghibah itu? Jawabannya dapat kita temukan dalam hadist Rasulullah SAW berikut ini : --Rasulullah bersabda, “Tahukan kalian apa itu ghibah?”, mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau bersabda, “Yaitu engkau menceritakan tentang saudaramu yang membuatnya tidak suka.” Lalu ditanyakan kepada beliau, “Lalu bagaimana apabila pada diri saudara saya itu kenyataannya sebagaimana yang saya ungkapkan?” Maka beliau bersabda, “Apabila cerita yang engkau katakan itu sesuai dengan kenyataan maka engkau telah meng-ghibahi-nya. Dan apabila ternyata tidak sesuai dengan kenyataan dirinya maka engkau telah berdusta atas namanya.” (HR. Muslim) --

Dalil-dalil keharaman ghibah dan bahayanya.

Ghibah termasuk perbuatan dosa besar, hal ini bisa ditemukan keterangannya pada ayat dan hadist berikut ini :

1.   Allah ta’ala berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah sebagian kalian menggunjingkan (ghibah) sebagian yang lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertawakalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujuraat : 12)

2.   “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nur – 19)

3.   Di dalam Sunan Abu Dawud tercantum sebuah hadist yang diriwayatkan dari jalan ‘Aisyah. Beliau berkata : “Wahai Rasulullah, cukuplah menjadi bukti bagimu kalau ternyata Shafiyah itu memiliki sifat demikian dan demikian.” Salah seorang periwayat hadist menjelaskan maksud ucapan ‘Aisyah bahwa Shafiyah itu orangnya pendek. Maka Nabi SAW bersabda, “Sungguh engkau telah mengucapkan sebuah kalimat yang seandainya dicelupkan ke dalam lautan maka niscaya akan merubahnya.”

4.   Di dalam Sunan Tirmidzi terdapat riwayat yang menceritakan hadist dari jalan Ibnu ‘Umar, beliau berkata : Rasulullah SAW naik mimbar dan menyeru dengan suara lantang, “Wahai segenap manusia yang masih beriman dengan lisannya namun iman itu belum meresap ke dalam hatinya janganlah menyakiti kaum muslimin. Dan janganlah melecehkan mereka. Dan janganlah mencari-cari kesalahan-kesalahan mereka. Karena sesungguhnya barang siapa yang mencari-cari kejelekan saudaranya sesama muslim maka Allah akan mengorek-ngorek kesalahannya. Dan barang siapa yang dikorek-koorek kesalahannya oleh Allah maka pasti dihinakan, meskipun dia berada di dalam bilik rumahnya.”

5.   Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra. dia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Wahai orang yang telah menyatakan Islam dengan lisannya namun iman itu belum masuk ke dalam hatinya, janganlah kalain semua menyakiti sesama muslim, janganlah kalian membuka aib mereka, dan janganlah semua kalian semua mencari-cari (mengintai) kelemahan mereka. Karena siapa saja yang mencari kekurangan saudaranya sesama muslim maka Allah akan mengintai kekurangannya, dan siapa yang akan diintai Alah kekurangannya maka pasti Allah akan ungkapkan, meskipun dia berada dalam rumahnya.”

6.   Rasulullah SAW bersabda : “Ghibah itu lebih keras daripada zina.” Mereka bertanya,” Bagaimana ghibah lebih keras daripada zina, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Sesungguhnya seorang telah berzina, kemudian bertaubat dan Alah mengampuni dosanya, sedangkan orang yang melakukan ghibah tidak akan diampuni Allah, hingga orang yang di-ghibah-nya mengampuninya.”

7.   Dari Ibnu Umar ra. Rasulullah SAW bersabda : “Siapa yang berkata tentang seorang mukmin dengan sesuatu yang tidak terjadi (tidak dia perbuat), maka Allah SWT akan mengurungnya di dalam lumpur keringat ahli neraka, sehingga dia menarik diri dari ucapannya (malakukan sesuatu yang dapat membebaskannya).”  (HR. Ahmad)

8.  Rasulullah SAW bersabda : “Ketika aku di-mi’raj-kan aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga. Dengan kuku-kuku itu mereka mencakar-cakar wajah dan dada-dada mereka sendiri. Maka aku berkata, “Siapakah mereka itu wahai Jibril?” . Jibril menjawab, “Mereka itu adalah orang-orang yang berani memakan daging-daging menusia serta menjatuhkan kehormatan dan harga diri orang lain.” (HR. Abu Daud)

***88***

Senin, 20 Februari 2012

Siapakah Mahram Bagi Wanita



Setelah penulis menyentuh persoalan aurat dan ikhtilath, berikut penulis bawakan pula siapakah yang dimaksudkan sebagai mahram bagi seseorang wanita. Sekaligus ia juga akan menjelaskan setakat mana sebenarnya batas aurat seorang wanita di hadapan mahramnya.

Definisi mahram (bagi wanita)

Secara bahasa, seseorang disebut sebagai mahram bagi seorang wanita adalah apabila orang itu tidak halal untuk menikahi wanita tersebut buat selamanya.

Adapun secara istilah, mahram bagi seorang wanita adalah laki-laki yang boleh memandangnya, berdua dengannya, boleh melakukan safar (perjalanan) bersamanya, dan juga mereka yang diharamkan bernikah dengannya buat selamanya dengan sebab fitrah yang menjadikannya mahram.

Ketetapan ini berlaku sama ada disebabkan ikatan nasab (keturunan) seperti ayah dan anak lelakinya, sebab ikatan perkahwinan seperti suami dan suami dari anak perempuannya serta anak lelaki suaminya, atau pun dengan sebab penyusuan seperti anak yang disusukannya serta saudara lelaki sepersusuan.

Berikut Adalah Perinciannya

Melalui ayat 23-24 Surah an-Nisaa’ berikut ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan beberapa tambahan siapa dia mahram selamanya hasil ikatan perkahwinan, penyusuan, dan nasab.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاتُكُمْ وَبَنَاتُ الأخِ وَبَنَاتُ الأخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأخْتَيْنِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا (٢٣) وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

“Diharamkan atas kamu (mengahwini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban, dan tidak mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya setelah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Surah an-Nisaa’, 4: 23-24)

Kata al-Hafiz Ibnu Katsir rahimahullah:

Ayat yang mulia ini menjelaskan haramnya mahram disebabkan nasab (keturunan) dan sebab-sebab lain yang mengikutinya berupa penyusuan dan pernikahan. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan daripada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata. “Diharamkan ke atas kamu tujuh wanita kerana nasab dan tujuh wanita lagi kerana pernikahan.” Kemudian beliau membaca, “Diharamkan atas kamu (mengahwini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan...” sehingga akhir ayat.

Ath-Thabari meriwayatkan daripada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Yang diharamkan kerana nasab ada tujuh, dan yang ekrana pernikahan juga ada tujuh. Kemudian beliau membaca ayat, “Diharamkan atas kamu (mengahwini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan.” Mereka adalah mahram dengan sebab nasab.

Firman Allah, “ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan.” Sebagaimana diharamkan atas kamu ibu-ibu yang melahirkan kamu, maka demikian juga diharamkan ke atas kamu ibu-ibu yang menyusui kamu.” (Rujuk Tafsir Ibnu Katsir, 2/247-248)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan (menjaga) pandangannya dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan (melabuhkan) kain tudung (khimar) ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau anak-anak lelaki mereka, atau anak-anak lelaki suami mereka, atau saudara (adik-beradik) mereka yang lelaki, atau anak-anak saudara lelaki mereka, atau anak-anak lelaki saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau hamba-hamba yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan lelaki yang tidak memiliki keinginan (terhadap wanita) atau kanak-kanak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu semua kepada Allah wahai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung.” (Surah an-Nuur, 24: 31)

Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bolehnya mahram yang disebutkan melihat bahagian perhiasan (aurat tertentu) dari tubuh wanita. Iaitu sebagaimana yang ditegaskan oleh ayat:

“... dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan (melabuhkan) kain tudung (khimar) ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka...”

Di antara hikmah bolehnya wanita tidak menutup bahagian aurat tertentu di hadapan mahram adalah bagi memudahkan pelbagai urusan mereka. Di mana antaranya kerana mereka sentiasa berada bersama bercampur-baur dan keluar-masuk di dalam rumah yang sama. Serta juga dengan sebab hubungan kekerabatan yang rapat dan keadaan yang aman dari fitnah. Wallahu a’lam.

Terdapat sebahagian ulama menyatakan bahawa pak cik dari pihak bapa atau dari pihak ibu tidak termasuk mahram yang dibolehkan untuk tidak menutup aurat (membuka khimar) di hadapannya. Ini antaranya kerana pak cik dari sebelah ibu mahupun bapa tidak disebutkan dalam Surah an-Nuur di atas.

Ini adalah sebagaimana apa yang disebutkan oleh al-Hafiz Ibnu Katsir rahimahullah:

عن الشعبي وعِكْرمَة في هذه الآية: { وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ } -حتى فرغ منها قال: لم يذكر العم ولا الخال؛ لأنهما ينعَتان لأبنائهما، ولا تضع خمارها عند العم والخال فأما الزوج فإنما ذلك كله من أجله، فتتصنع له ما لا يكون بحضرة غيره.

Ibnul Mundzir meriwayatkan atsar daripada asy-Sya’bi dan ‘Ikrimah berkenaan ayat ini, (kata beliau) “Pada ayat ini Allah tidak menyebutkan pak cik dari pihak bapa atau pak cik dari pihak ibu. Kerana hukum pak cik dari pihak bapa atau pak cik dari pihak ibu mengikuti anak-anak pak cik mereka (sepupu). Dengan demikian, mereka tidak boleh melepaskan khimar (tudung) ketika berhadapan dengan pak cik dari pihak bapa atau pak cik dari pihak ibu.

Adapun suami tentu dibolehkan kerana setiap perilaku isteri dalam menjaga kehormatannya adalah termasuk dalam rangka berbakti untuk suaminya. Dengan itu, isteri boleh melakukan apa sahaja di hadapan suaminya, selama mana tanpa kehadiran lelaki lain bersamanya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 6/47)

Namun, (lebih tepat) kebanyakan ulama berpendapat bahawa mereka (pak cik dari pihak ayah atau dari pihak ibu) adalah sama hukumnya dengan mahram yang lainnya dengan berdalilkan hadis daripada ‘Urwah dan ‘Aisyah berkenaan hukum penyusuan. Begitu juga sebagaimana dijelaskan dalam Surah an-Nisaa’, ayat 23-24 di atas.

‘Urwah menyatakan bahawa ‘Aisyah telah mengkhabarkan kepadanya:

أَنَّ عَمَّهَا مِنْ الرَّضَاعَةِ يُسَمَّى أَفْلَحَ اسْتَأْذَنَ عَلَيْهَا فَحَجَبَتْهُ فَأَخْبَرَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهَا لَا تَحْتَجِبِي مِنْهُ فَإِنَّهُ يَحْرُمُ مِنْ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنْ النَّسَبِ

“Sesungguhnya pak cik sepersusuannya yang bernama Aflah meminta izin untuk menemuinya tetapi dia menutup diri darinya. Lalu beliau mengkhabarkan perkara tersebut kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Rasulullah pun bersabda, “Janganlah kamu menutup (menghijab) diri daripadanya kerana sesungguhnya apa yang diharamkan kerana hubungan penyusuan adalah sama seperti apa yang haram kerana hubungan nasab.” (Hadis Riwayat Muslim, 7/335, no. 2621)

Dalam riwayat yang lain, ‘Aisyah berkata kepada ‘Urwah:

اسْتَأْذَنَ عَلَيَّ أَفْلَحُ بْنُ قُعَيْسٍ فَأَبَيْتُ أَنْ آذَنَ لَهُ فَأَرْسَلَ إِنِّي عَمُّكِ أَرْضَعَتْكِ امْرَأَةُ أَخِي فَأَبَيْتُ أَنْ آذَنَ لَهُ فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لِيَدْخُلْ عَلَيْكِ فَإِنَّهُ عَمُّكِ

“Aflah B. Qu’ais meminta izin untuk masuk menemuiku tetapi aku enggan membenarkannya. Lalu ia mengirimkan pesanan, “Aku adalah pak cik kamu di mana isteri saudara lelakiku telah menyusukanmu.” Tetapi aku tetap tidak membenarkannya (untuk menemuiku).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam datang, lalu aku ceritakan perkara tersebut kepada beliau. Dan beliau pun bersabda, “Biarkanlah ia masuk menemuimu kerana dia adalah pak cik kamu (kerana hubungan penyusuan).” (Hadis Riwayat Muslim, 7/336, no. 2622)

Imam an-Nawawi rahimahullah (Wafat: 676H) berkata:

“Hadis-hadis ini sama dalam perkara menetapkan keharaman seseorang untuk dinikahi dengan sebab penyusuan. Semua ulama juga turut bersepakat adanya keharaman tersebut antara anak yang disusukan dan perempuan yang menyusukan. Anak yang disusukan menjadi anak bagi perempuan yang menyusukannya sehingga haram untuk dinikahi selamanya. Si anak boleh memandang perempuan tersebut, berduaan dengannya, dan juga melakukan perjalanan (safar) bersamanya. Tetapi tidaklah berlaku hukum status sebagai ibu dari setiap sisi di mana keduanya tidak saling mewarisi, masing-masing tidak wajib memberi nafkah kepada yang lain...

... Para ulama juga sepakat tentang keharaman untuk melakukan pernikahan di antara ibu yang menyusukan dengan anak-anak susuannya, begitu juga antara anak yang menyusu dengan anak-anak dari ibu yang menyusukannya. Dalam perkara ini mereka seperti anak-anak kandung berdasarkan hadis-hadis ini.

Begitu juga dengan lelaki yang disandarkan kepada si ibu kerana statusnya sebagai suami si ibu yang menyusukan si anak tadi....

Maka mazhab kami dan mazhab ulama seluruhnya menyatakan dengan sebab penyusuan tersebut, haram melaksanakan pernikahan di antara lelaki tersebut dengan anak-anak yang menyusu kepada isterinya. Si anak menjadi anak bagi lelaki (suami) tersebut. Anak-anak dari lelaki tersebut menjadi saudara bagi anak yang menyusu kepada isterinya. Saudara lelaki dari lelaki tersebut menjadi pak cik baginya. Saudara perempuan lelaki tersebut menjadi mak cik baginya. Anak-anak dari anak yang menyusu kepada isterinya menjadi cucu kepada si lelaki tersebut. (Syarah Shahih Muslim, 10/19)

Berikut diringkaskan senarai mahram yang disebutkan oleh kedua-dua ayat tersebut berserta hadis-hadis berkaitan penyusuan. Dari ayat 31 Surah an-Nuur, Allah Subhanahu wa Ta’ala memulakannya berdasarkan turutan berikut:

1 – Suami. Adapun setiap perilaku isterinya dalam menjaga kehormatannya adalah termasuk juga dalam rangka berbakti untuk suaminya. Dengan itu, isteri boleh melakukan apa sahaja (bukan sekadar melepaskan apa yang menutup auratnya) di hadapan suaminya selama mana tiada individu lain atau lelaki lain bersama mereka.

2 – Bapa, termasuk datuk. Sama ada datuk dari pihak ibu ataupun ayah.

3 – Bapa suami (bapa mertua).

4 – Anak-anak mereka dan anak-anak suami mereka. Termasuklah cucu dan seterusnya.

5 – Saudara (adik-beradik) secara mutlak, sama ada saudara kandung, saudara se-bapa, saudara se-ibu, dan seterusnya ke bawah seperti anak-anak mereka dan cucu mereka.

6 – Anak-anak saudara lelaki (anak saudara) dan anak-anak saudara perempuan. Iaitu anak-anak dari adik, kakak, atau abang mereka.

7 – Pak cik dari pihak bapa mahupun dari pihak ibu.

8 – Mahram kerana penyusuan. Para ulama bersepakat bahawa mereka sama seperti mahram yang lainnya.

9 – Termasuk mahram yang diharamkan nikah dengannya untuk selamanya adalah seperti bapa mertua, suami anak-anak perempuan mereka (menantu lelaki), dan suami ibu mereka (ayah tiri yang telah bergaul bersama-sama ibunya).

Selain dari mereka yang disebutkan, maka tidak termasuk mahram.

Batasan Aurat Yang Boleh dilihat Oleh Mahram

Ibnu Qudamah menyatakan, “Mahram boleh melihat sesuatu yang biasa nampak dari aurat seseorang wanita seperti anggota-anggota wudhu’nya.” (Ibnu Qudamah, al-Mughni, 6/554)

Daripada Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anha, berliau berkata:

كَانَ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ يَتَوَضَّئُونَ فِي زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَمِيعًا

“Dahulu kaum lelaki dan wanita pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam melaksanakan wudhu’ secara bersama-sama.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, 1/327, no. 186. Bab: Seorang lelaki berwudhu’ bersama-sama isterinya)

Kata Imam Ibnul Jauzi rahimahullah, “Dalam hadis tersebut terdapat suatu penjelasan yang menunjukkan seseorang lelaki boleh melihat anggota-anggota wudhu’ bagi mahramnya, demikian juga sebaliknya.” (Ibnul Jauzi, Jami’ Ahkam an-Nisaa’, 4/195)

Manakala sebahagian pandangan yang lain menyatakan bahawa mahram dibolehkan melihat wanita melainkan aurat di antara pusat dengan lutut. Dan sebahagian pandangan lagi menyebutkan mahram dibolehkan melihat pada wanita kecuali tubuh (aurat) di antara dada dengan lutut. Wallahu a’lam.

Dengan itu, seseorang mahram boleh melihat seorang wanita berdasarkan penjelasan di atas dengan syarat bukan dalam keadaan bersyahwat dan timbulnya fitnah. Sekiranya syahwat dan fitnah berlaku, maka perkara tersebut adalah terlarang dan perlu dihindari.

Atau dengan kata lain, seseorang wanita diwajibkan menutup seluruh tubuhnya ketika di hadapan mahram melainkan pada bahagian yang menjadi anggota wudhu’nya maka ia dibolehkan terbuka. Tetapi sekiranya membuka sebahagian aurat tersebut boleh menyebabkan datangnya fitnah dan syahwat, maka menutup seluruh tubuh adalah yang terbaik kerana mengelakkan fitnah dan syahwat itu sendiri termasuk sebahagian dari tujuan asal menutup aurat.

Penjelasan ini antaranya penulis ambil daripada Syaikh Abu Malik Kamal as-Sayyid Salim, pada kitabnya Fiqhus Sunnah lin Nisaa’. Buku ini telah diterjemahkan oleh beberapa penerbit antara Pustaka Ibnu Katsir dengan judul Ensiklopedi Fiqih Wanita dan Fiqih Sunnah Wanita oleh penerbit Griya Ilmu.

Penutup

Kesimpulannya, wanita dibenarkan tidak menutup di bahagian tertentu pada auratnya apabila berdepan dengan mahram. Dan wajib mengenakan penutupan aurat dengan sempurna kepada selain mahram iaitu kepada sebagaimana individu yang dijelaskan di atas. Ada pun penutupan aurat dengan sempurna, bolehlah merujuk semula kepada artikel sebelumnya.

Selain itu wanita juga dibolehkan bersalaman, berkenderaan, dan bermusafir bersama mahramnya.

Wallahu a’lam.

Sabtu, 18 Februari 2012

Malu dan cemburu dalam bingkai Islam


Assalamu'alaikum warahmatullahi wabaratuh

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين, وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وعلى آله وصحبه, وبعد

Di antara bukti kebaikan-kebaikan Dien kita ini adalah perhatiannya terhadap etika yang terpuji. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إنما بعثت لأتمم صالح الأخلاق / رواه الإمام أحمد

"Aku telah diutus semata untuk menyempurnakan akhlaq yang baik" (HR.Ahmad)

Ketika Nabi diutus, beliau pun menetapkan perangai-perangai yang indah yang ada pada masyarakat jahiliah dan menghilangkan yang buruk, serta meluruskan yang perlu untuk diluruskan.

Dan di antara akhlaq mulia yang disifati oleh masyarakat jahiliah adalah: 'kecemburuan' lelaki terhadap mahramnya. Bahkan sebahagian dari mereka ada yang berlebihan dan melampaui batas, hingga ada yang sampai pada batas mengubur bayi perempuan mereka hanya karena rasa khawatir anaknya akan terjerumus pada perbuatan keji jika ia besar nanti.

Maka syariat pun melarang hal tersebut, kemudian meluruskan sifat cemburu itu dan menjadikannya di antara cabang keimanan.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لا شيء أغير من الله / رواه الإمام أحمد والبخاري

"Tidak ada sesusatu pun yang lebih pecemburu dari Allah" (HR.Imam Ahmad dan al-Bukhari)

Beliu bersabda :

إن الله يغار, وإن المؤمن يغار, وغيرة الله أن يأتي المؤمن ما حرم الله عليه / رواه الإمام أحمد والبخاري ومسلم

"Sesungguhnya Allah cemburu, orang beriman cemburu, dan cemburuNya Allah jika seorang Mu'min melakukan apa yang Allah haramkan atasnya" (HR. Imam Ahmad, al-Bukhari dan Muslim)

Beliau bersabda dalam khutbahnya ketika terjadi gerhana matahari :

يا أمة محمد, ما أحد أغير من الله / رواه البخاري ومسلم

"Wahai ummat Muhammad, tak seorang pun yang lebih pecemburu dari Allah" (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Beliau juga bersabda:

إن من الغيرة ما يحب الله.../ رواه الإمام أحمد وأبو داود والنسائي

"Sesungguhnya ada di antara sifat cemburu yang Allah cintai…" (HR.Ahmad, Abu Daud dan an-Nasa'i)

Dan ketika Saad bin Ubadah berkata :"Andai aku mendapati seorang lelaki bersama istriku, pasti ia akan kutebas dengan mata pedangku," Nabi pun bersabda, "Apakah kalian kagum dengan kecemburuan Saad?, sesungguhnya Aku lebih pecemburu darinya, dan Allah lebih pecemburu dariku."(HR. al-Bukhari dan Muslim)

Para sahabat telah menghiasi diri-diri mereka dengan etika nubuwah ini dan berpegang teguh dengannya, sama halnya dengan kewajiban-kewajiban beriman beserta cabang-cabangnya. Maka bukanlah hal yang aneh jika seseorang di antara mereka membunuh atau dibunuh lantaran menjaga perkara ini.

Ibnu Hisyam meriwayatkan bahwa seorang wanita dari bangsa Arab datang ke pasar untuk menjual barang dagangannya, ia menjualnya di pasar Bani Qainuqa' (salah satu kabilah yahudi), ia pun duduk di dekat tukang emas. Maka orang-orang yahudi menginginkan agar wajahnya tersingkap, akan tetapi ia menolak. Tukang emas itu pun sengaja mengikat kedua ujung kainnya ke punggungnya tanpa ia sadari, sehingga ketika wanita itu berdiri nampaklah auratnya. Mereka pun menertawakannya, maka wanita itu berteriak. Seorang lelaki dari kaum muslimin melompat dan lanngsung membunuh tukang emas yahudi itu, kemudian orang-orang yahudi pun membunuhnya. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mendatangi mereka dan mengepungnya hingga mereka tunduk di bawah perintahnya, kemudian mengusir mereka ke negeri Syam.

Beginilah para salaf (pendahulu) ummat ini berlalu. Dan kaum muslimin tidak lemah dan atau berlebihan dalam mengaplikasikan akhlak ini meskipun pada masa-masa surut yang di lalui ummat Islam. Tatkala kaum Salibis menjajah sebagian kepingan wilayah kaum muslimin di negeri Syam -penjajahan yang berlangsung selama kurang lebih dua abad dan masa yang terkadang menumbuhkan kekhawatiran di hati bahwa mereka akan tatap menjajah hingga turunnya Nabi Isa putera Maryam 'alaihissalam- ahli sejarah mencatat bahwa kaum muslimin memandang orang-orang Salibis dengan tatapan hina dan rendah, dan bahwa mereka adalah 'Dayayits'; seseorang di antara mereka berjalan bersama istrinya, kemudian bertemu dengan kawan lelaki istrinya, maka sang suami berdehem agar memberi kesempatan kepada sang istri untuk bercakap dengan kawannya semau mereka.

BEBERAPA GAMBARAN KURANGNYA SIFAT CEMBURU

Dan kita di negeri ini semoga Allah memakmurkannya dengan ketaatan dalam perkara ini, masih lebih baik dari yang lainnya, meskipun ada sebahagian orang yang begitu jelas kelalaiannya.

Anda bisa melihat, di antara mereka ketika di atas mobil, istrinya turun dan bercakap panjang lebar padahal ia seharusnya menemaninya.

Ada yang istrinya bercampur baur dengan lelaki asing ; dengan sopir mobil, penjual di toko, dokter di klinik, atau selainnya tanpa merasa bersalah sedikit pun. Padahal Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersanda:

ألا لا يخلون رجل بامرأة إلا كان ثالثهما الشيطان / رواه الإمام أحمد والترمذي

"Ketahuilah, bahwa tidaklah berdua seorang lelaki dan perempuan kecuali pihak ketiganya adalah setan" (HR. Imam Ahmad dan at-Tirmidzi)

Demikian pula seorang lelaki yang membiarkan istrinya atau siapa yang saja yang merupakan tanggung jawabnya keluar rumah dengan memakai pakaian yang menampakkan sebahagian anggota badan, atau lekuk tubuhnya dengan pakaian ketat atau tipis.

Demikian halnya gambaran kurangnya rasa cemburu adalah keluarnya para lelaki bersama istri-istri mereka atau dengan mahramnya yang lain ketempat-tempat umum yang memungkinkan terjadinya ikhtilath (campur baur antara laki-laki dan perempuan non mahram) dan saling memandang di antara mereka.

Dan seorang lelaki membiarkan istrinya bepergian tanpa ditemani mahram. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لا يخلون رجل بامرأة إلا ومعها محرم, ولا تسافر المرأة إلا مع ذي محرم

"Tidaklah bercampur seorang lelaki dengan seorang wanita kecuali disertai mahram, dan tidak bepergian seorang wanita kecuali bersama mahram"
Seorang lelaki berdiri dan berkata : "Wahai Rasulullah, sesungguhnya istriku berangkat untuk berhaji, dan aku telah tercatat dalam peperangan ini dan ini," maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

انطلق فحج مع امرأتك...

"Kembali dan berhajilah bersama istrimu" (HR.al-Bukhari dan Muslim)

Sahabat ini adalah seorang mujahid (yang sedang berjihad) di jalan Allah Azza wa Jall, kemudian Nabi menyuruhnya meninggalkan medan jihad untuk kembali menemani istrinya yang tengah melaksanakan perjalanan mulia yaitu menunaikan ibadah haji. Meski dengan kelembutannya, mereka adalah orang-orang yang paling suci dan bertaqwa, padahal sang istri pun telah berangkat dan berlalu, namun demikian Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata "kembali dan berhajilah bersama istrimu."

PENYEBAB SEMUA ITU

Gambaran tersebut diatas adalah fakta yang telah terjadi dan disaksikan. Maka jelaslah bahwa hal yang sangat penting wa lillahilhamd adalah menjaga kehormatan dan cemburu atasnya. Dan apakah penyebab hilangnya pada sebagian orang sifat cemburu dan rasa malu?, sebelum membahas hal ini, kita akan berbicara tentang kedudukan dan posisi malu dalam ad-dien ini.

SIFAT MALU

Malu adalah salah satu cabang keimanan, sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka barang siapa yang kurang rasa malunya berarti bukti lemah imannya. Dalam as-Shahihain (kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim) dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:

الحياء لا يأتي إلا بخير

"Tidaklah muncul rasa malu kecuali dengan kebaikan"

Pada riwayat Muslim :

الحياء خير كله

"Malu itu baik semuanya"

Diriwayatkan dari Salman al-Farisi radiallahu 'anhu bahwa Beliau berkata:

إن الله إذا أراد بعبد هلاكا نزع منه الحياء, فإذا نزع منه الحياء, لم تلقه إلا مقيتا ممقتا

"Sesungguhnya jika Allah menginginkan kehancuran terhadap seorang hamba, Ia akan mencabut sifat malu darinya, maka jika sifat malu itu telah diangkat darinya, kamu 'tak 'kan menemuinya kecuali (ia dalam keadaan) dibenci dan memuakkan"

Seorang penyair berkata:

فلا والله ما في العيش خير ولا الدنيا إذا ذهب الحياء
يعيش المرء ما استحيا بخير ويبقى العود ما بقي اللحاء

Sekali-kali tidak demi Allah tak ada kebaikan dalam hidup dan tidak pula Dunia, jika malu telah hilang.

Selama ada rasa malu, orang akan hidup baik, namun tidak bagi yang bermuka tebal.

Penyair lain berkata :

إن كأني أرى من لا حياء له ولا أمانة وسط الناس عريانا

Sungguh aku melihat orang yang tak punya rasa malu dan tak amanah telanjang di tengah-tengah manusia

Dan kurangnya rasa malu -terlebih khusus bagi kaum wanita- memiliki sebab, di antaranya:

* Kelalaian dalam mendidik di masa kecil. Bisa karena biasa, siapa yang terbiasa pada masa kecilnya, ia akan membawanya hingga ia beruban.

* berinteraksi dan berbicara dengan laki-laki ajaanib (bukan mahram).

Bergaul dengan orang yang kurang rasa malunya, atau selalu menyaksikan mereka akibat seringnya bepergian, atau melihatnya di pasar-pasar, di tempat-tempat hiburan, atau karena menonton sinetron dan selain dari itu. Sebab, akhlaq baik buruknya- adalah hasil pergaulan.

* Dan mungkin penyebab utamanya adalah: terlalu seringnya seorang wanita keluar rumah, Allah 'Azza wa Jall berfirman :

وقرن في بيوتكن / الأحزاب : 33

"Tinggallah kalian di rumah-rumah kalian…!" (QS.al-Ahzab :33)

At-Thabrani meriwayatkan dengan sanad yang baik bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

المرأة عورة وإنها إذا خرجت من بيتها استشرفها الشيطان, وإنها لا تكون أقرب إلى الله منها في قعر بيتها

"Wanita adalah aurat, jika ia keluar rumah syaitan akan menghiasinya, dan ia tidak lebih dekat kepada Allah dari luar rumah nya dari pada di dalam rumahnya"
Dalam hadits lain, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لا تمنعوا نساءكم المساجد, وبيوتهن خير لهن / رواه الإمام أحمد وأبو داود

"Janganlah melarang wanita-wanita kalian untuk ke Masjid, namun rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka" (HR. al-Imam Ahmad dan Abu daud)

Berkata al-Hafidz ad-Dimyati rahimahullah: "Ibnu Khuzaimah dan sekelompok para 'ulama telah menerangkan dengan jelas bahwa shalat di rumahnya (bagi wanita) lebih afdhal dari shalat di masjid, walaupun di masjid Makkah, Madinah atau Bait al-Maqdis"

Maka hendaklah berhati-hati bagi yang berakal dan bijaksana, bahwa apa yang telah mewabah pada sebagian negeri kaum muslimin dari kerusakan dan hilangnya rasa malu tidaklah terjadi dalam satu ledakan, tetapi ia berawal dari sesuatu yang teramat sederhana kemudian terjadilah apa yang telah terjadi.

Selanjutnya – wahai muslim- aplikasikanlah persaksianmu bahwa Muhammad adalah Rasul Allah dengan membenarkan apa yang ia kabarkan, mentaati apa yang ia perintahkan dan menjauhi apa yang Ia larang dan Ia bentak. Janganlah menyelisihi perintahnya karena memperturutkan hawa nafsu atau karena kepentingan seseorang ataupun karena sebab-sebab lain. Sesungguhnya Allah telah berfirman:

فليحذر الذين يخالفون عن أمره أن تصيبهم فتنة أو يصيبهم عذاب أليم

(an-Nur : 63)

(Diterjemahkan dan diikhtisar dari sebuah tulisan di Qism 'Ilmi, Dar al-wathan Riyadh)
______________________________________________
[1] غير مصفح artinya menebas dengan mata pedang (membunuhnya) adapun memukul dengan punggung pedang artinya memberi pelajaran atau mendidik.
[2] Dayayits bentuk jamak dari dayyuts, adalah orang yang tidak memiliki rasa cemburu terhadap mahramnya. Dalam hadits disebutkan "
[3] Negeri yang dimaksud adalah Saudi Arabiah

صلاة إحداكن في مخدعها أفضل من صلاتها في حجرتها وصلاتها في حجرتها أفضل من صلاتها في دارها وصلاتها في دارها أفضل من صلاتها في مسجد قومها وصلاتها في مسجد قومها أفضل من صلاتها معي

***&&***