Selasa, 07 Februari 2012

** Amal Ibadah Kita Belum Tentu Diterima Allah **


Beramal shalih memang penting karena merupakan konsekuensi dari keimanan seseorang. Namun yang tak kalah penting adalah mengetahui persyaratan agar amal tersebut diterima di sisi Allah. Jangan sampai ibadah yang kita lakukan menjadi sia-sia karena tidak diterima Allah SWT, bahkan bisa jadi justru membuat Allah murka karena cara beramal kita tidak memenuhi syarat yang Allah dan Rasul-Nya telah bimbing melalui Al Qur’an dan As-Sunnah.

Syarat Diterimanya Amal oleh Allah SWT

Pertama, amal harus dilaksanakan dengan keikhlasan semata-mata mencari ridha Allah SWT.

Allah SWT berfirman;

Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar menyembah Allah dengan mengikhlaskan baginya agama yang lurus”. (Al Bayyinah: 5)

Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda:

“Sesungguhnya amal-amal tergantung pada niat dan setiap orang akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya.” (Shahih, HR Bukhari-Muslim)

Kedua dalil ini sangat jelas menunjukkan bahwa dasar dan syarat pertama diterimanya amal adalah ikhlas, yaitu semata-mata mencari wajah Allah Subhanahuwata’ala. Amal tanpa disertai dengan keikhlasan maka amal tersebut tidak akan diterima oleh Allah SWT.

Kedua, amal tersebut sesuai dengan sunnah (petunjuk) Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam.

Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda:

“Dan barang siapa yang melakukan satu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut tertolak.” (Shahih, HR Muslim dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha)

Dari dalil-dalil di atas para ulama sepakat bahwa syarat amal yang akan diterima oleh Allah Subhanahuwata’ala adalah ikhlas dan sesuai dengan bimbingan Rasulullah Shalallahu alaihiwasallam. Jika salah satu dari kedua syarat tersebut tidak ada, maka amalan itu tidak akan diterima oleh Allah SWT.

Dari sini sangat jelas kesalahan orang-orang yang mengatakan “ Yang penting kan niatnya.” Yang benar, harus ada kesesuaian amal tersebut dengan ajaran Rasulullah Shalallahualaihiwasallam. Jika istilah “yang penting niat” itu benar niscaya kita akan membenarkan segala perbuatan maksiat (ingkar, red) kepada Allah SWT dengan alasan ‘yang penting niatnya’.

Orang seperti mereka akan mengatakan para pencuri, penzina, pemabuk, pemakan riba’, pemakan harta anak yatim, perampok, penjudi, penipu, pelaku bid’ah (yaitu cara-cara baru dalam beribadah mengada-ada, yang tidak ada contohnya dari Rasululah Shalallahu alaihi wasallam) dan bahkan perbuatan syirik tidak bisa kita salahkan, karena beralasan kita tidak mengetahui bagaimana niatnya (karena bisa jadi niatnya baik menurut pandangan mereka). Demikian juga dengan seseorang yang mencuri dengan niat memberikan nafkah kepada anak dan isterinya.

Apakah seseorang melakukan bid’ah (cara beribadah yang sesat) dengan niat beribadah kepada Allah Subhanahuwata’ala adalah perbuatan yang dibenarkan? Apakah orang yang meminta petunjuk kepada kuburan-kuburan / makam wali dengan niat memuliakan wali itu adalah perbuatan yang dibenarkan? Tentu jawabannya adalah tidak.

Dari pembahasan di atas sangat jelas kedudukan dua syarat tersebut dalam sebuah amalan dan sebagai penentu diterimanya. Oleh karena itu, sebelum melangkah untuk beramal hendaklah bertanya pada diri kita: Untuk siapa saya beramal? Dan bagaimana caranya? Maka jawabannya adalah dengan kedua syarat di atas.

Masalah berikutnya, juga bukan sekedar memperbanyak amal, akan tetapi benar atau tidaknya amalan tersebut.

Allah SWT berfirman:

“Dia Allah yang telah menciptakan mati dan hidup untuk menguji kalian siapakah yang paling bagus amalannya.” (Al Mulk: 2)

Jadi dari ayat ini Allah SWT mengatakan yang paling baik amalnya dan bukan yang paling banyak amalnya, yaitu amal yang dilaksanakan dengan ikhlas dan sesuai dengan ajaran Rasulullah Shalallahualaihi wasallam.

Wallahu a’lam.

*&**&&**&*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar