Selasa, 28 Februari 2012

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh



Penjelasan Hadits Arbain Nawawi Pertama: Amal Perbuatan itu Tergantung Niatnya

Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .

[رواه إماما المحدثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة البخاري وابو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة]

Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafsh ‘Umar bin Al Khaththab, dia berkata: Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrahnya karena dunia yang ingin ia dapatkan atau mendapatkan wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia inginkan itu.

Hadits ini diriwayatkan oleh dua orang Imam ahli hadits; yaitu Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari dan Abul Husein Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairy An Naisaburi dalam kitab shahih keduanya, yang kedua kitab itu merupakan kitab susunan yang paling shahih.

Penjelasan:

Hadits ini merupakan prinsip dasar yang begitu agung dalam permasalahan amalan-amalan hati. Karena niat termasuk amalan hati. Para ulama mengatakan hadits ini adalah separuh ibadah, karena ia merupakan timbangan amalan-amalan yang batin. Sedangkan hadits Aisyah yang berbunyi,

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa mengada-adakan dalam urusan kami perkara yang tidak ada asalnya, maka hal itu akan tertolak.” (Shahih: dikeluarkan oleh Al Bukhari di dalam [Ash Shulh/2697/Fath], Muslim di dalam [Al Aqdhiyah/1718/Abdul Baqi]).

Dalam lafazh lain,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang tidak sesuai dengan perintah kami, maka amalan itu tertolak.” (Shahih: dikeluarkan oleh Muslim di dalam [Al Aqdhiyah/1718/Abdul Baqi]. Al Bukhari secara ta’liq [13/hal 329/fath] cetakan As Salafiyyah)

Hadits ini adalah separuh agama, karena hadits ini merupakan timbangan amalan yang dhahir (nampak). Jadi dapat dipetik faedah dari hadits, “Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung dari niatnya.” Bahwa amalan apapun harus didasari niat, karena setiap orang yang berakal tidak mungkin melakukan suatu amalan tanpa niat, hingga sebagian ulama mengatakan, “Sekiranya Allah membebani suatu amalan kepada kita tanpa didasari oleh niat, tentunya hal itu merupakan suatu pembebanan yang tidak mampu untuk dilakukan. ”

Bercabang dari faedah ini adalah: Bantahan terhadap orang-orang yang terhinggapi penyakit was-was yang mengulang-ulang suatu amalan beberapa kali, hingga setan membisikkan kepada mereka, “Sesungguhnya kalian belum memasang niat.” Kami katakan kepada mereka (orang-orang was-was itu), “Tidak, tidak mungkin engkau melakukan suatu perbuatan tanpa didasari oleh niat. Janganlah kalian membebani diri-diri kalian dan tinggalkan perasaan was-was itu. ”

Di antara faedah dari hadits ini adalah: Bahwa seseorang diberi pahala, berdosa, atau terhalang (mendapatkan sesuatu) dengan sebab niatnya. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ”Barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya. ”

Di antara faedah dari hadits ini adalah: “Sesungguhnya amalan itu tergantung dari tujuannya.” Bisa jadi, suatu perkara –yang pada asalnya- mubah bisa menjadi amalan ketaatan jika seseorang meniatkannya sebagai amalan kebaikan. Misalnya, ia meniatkan makan dan minumnya untuk menambah kekuatan dalam menjalankan ketaatan kepada Allah. Oleh karena itu, Nabi bersabda,

“Makan sahurlah, sesungguhnya pada makanan sahur itu terdapat berkah.” (Shahih: dikeluarkan oleh Al Bukhari di dalam [Ash Shaum/1923/Fath], Muslim di dalam [Ash Shiyam/1095/Abdul Baqi])

Faedah laim dari hadits ini adalah: Seorang pengajar sepatutnya memberikan perumpamaan yang dapat memperjelas suatu hukum. Nabi telah memberikan perumpamaan dalam hal ini dengan hijrah. Hijrah ialah berpindah dari negeri kesyirikan ke negeri Islam. Dan beliau pun menjelaskan bahwa hijrah adalah amalan yang bisa menjadi pahala ataupun keterhalangan (memperoleh pahala) bagi orang yang melakukannya. Seorang yang berhijrah kepada Allah dan rasul-Nya diberi pahala dan akan sampai pada apa yang diinginkannya. Sedangkan orang yang berhijrah karena dunia yang ingin ia dapatkan atau wanita yang ingin ia nikahi, maka ia terhalang mendapatkan pahala ini.

Hadits ini selain masuk dalam pembahasan ibadah, masuk pula dalam pembahasan muamalah, pernikahan, dan dalam pembahasan fiqih lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar