Selasa, 07 Februari 2012

TENTANG AZAB KUBUR

Adanya siksa kubur banyak disebutkan di dalam sunnah. Akan tetapi, juga banyak ayat di dalam al-Quran yang menunjukkan tidak adanya siksa sebelum hari kiamat.

Misalnya firman Allah swt, artinya, 

“Dan janganlah sekali-kali kamu (Mohammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang dzalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata mereka terbelalak.” (Ibrahim:42). 

“Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa, “mereka tidak berdiam (dalam kubur) melainkan sesaat saja”. Seperti demikianlah mereka selalu dipalingkan (dari kebenaran).” (al-Ruum:55)

 “Dan ditiuplah sangkakala, maka tiba-tiba mereka keluar dengan segera dari kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka. Mereka berkata, “Aduhai celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)? Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul-RasulNya.” (Yasiin:51-52). 

Ayat-ayat ini menunjukkan dengan jelas tidak adanya siksa sebelum hari kiamat. Meskipun demikian, di dalam sunnah banyak dituturkan tentang adanya siksa kubur, bahkan sebagian ahli hadits menyatakan bahwa hadits-hadits tentang siksa kubur mencapai derajat mutawatir maknawiy. 

Kenyataan di atas menunjukkan bahwa, ada nash yang menyatakan adanya siksa kubur, sedangkan nash yang lain menafikan adanya siksa sebelum hari kiamat. Bila dipandang sekilas, kedua kelompok nash-nash ini saling bertentangan satu dengan yang lain. Lalu, bagaimana kita mengkompromikan nash-nash yang bertentangan tersebut? Pada dasarnya, wahyu dari Allah swt tidak mungkin saling bertentangan. Atas dasar itu, pertentangan-pertentangan yang terdapat di dalam nash tidak boleh dipandang sebagai pertentangan yang tidak mungkin dikompromikan, akan tetapi harus diupayakan untuk dikompromikan untuk menyelamatkan nash dari pertentangan. 

Allah swt telah berfirman, artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Quran? Kalau sekiranya al-Quran itu bukan dari sisi Allah swt, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.”[al-Nisaa’:82] 

Benar, banyak hadits menuturkan tentang siksa kubur. Beberapa ayat al-Quran juga mengisyaratkan adanya siksa kubur. Namun demikian, ayat-ayat tersebut dilalahnya (penunjukkannya) tidak qath’iy. Kami akan mengetengahkan sebagian ayat tersebut. Allah swt berfirman, artinya, 

“Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang (maksudnya menampakkan kepada mereka neraka pagi dan petang sebelum hari berbangkit) dan pada hari terjadinya Kiamat. Dikatakan kepada malaikat,”Masukkanlah Fir’aun dan kaummnya ke dalam adzab yang sangat keras.” (al-Ghafir:46) “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu, dalam kehidupan dunia dan di akherat.” (Ibrahiim:27) 

“Kalau kamu melihat ketika pada malaikat mencabut jiwa orang-orang yang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka (dan berkata),”Rasakanlah olehmu siksa neraka yang membakar,” (tentulah kamu akan merasa negeri). (al-Anfaal:50) Ayat terakhir surat al-Anfaal ini dalalahnya qath’iy, bahwa malaikat menyiksa orang kafir saat mencabut nyawa mereka. Ayat seperti itu juga disebutkan dalam surat Mohammad, “Bagaimanakah keadaan mereka apabila para malaikat (maut) mencabut nyawa mereka seraya memukul muka mereka dan punggung mereka? (Mohammad:27). 

Juga dalam surat al-An’am, “Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang dzalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, sambil berkata, “Keluarkanlah nyawamu” (al-An’aam:93). 

Ayat-ayat di atas tidak menunjukkan adanya siksa kubur, namun menunjukkan adanya siksa menjelang kematian. Ayat-ayat semacam ini tidak menunjukkan secara pasti (qath’iy) tentang adanya siksa kubur, akan tetapi hanya menunjukkan adanya siksa menjelang kematian. Karena dilalahnya tidak qath’iy, ayat-ayat ini tidak boleh dijadikan dalil untuk menyakini adanya siksa kubur. Sebab, keyakinan harus didasarkan kepada nash-nash yang dilalahnya pasti (qath’iy). 

Penjelasan Mengenai Surat al-Ghafir : 46 & Ibrahim:27 dan Jalan Komprominya Surat al-Ghafir ayat 46 dan surat Ibrahim ayat 27 adalah surat Makkiyah. Dalam shahih Bukhari dan Muslim, Musnad Ahmad dituturkan dengan sangat jelas, bahwa Rasulullah saw tidak mengetahui siksa kubur kecuali ketika di Medinah. Itupun pada saat terakhir ketika terjadi gerhana matahari, dan kematian puteranya Ibrahim. Disebutkan dalam shahih Bukhari, “Dari ‘Amrah binti ‘Abd al-Rahman dari ‘Aisyah isteri Nabi saw, bahwa orang-orang Yahudi bertanya kepada ‘Aisyah. Kemudian ‘Aisyah bertanya kepada mereka, “Apakah kamu berlindung kepada Allah dari siksa kubur? Kemudian ‘Aisyah bertanya kepada Rasulullah saw, “Apakah manusia akan disiksa di dalam kuburnya? Rasulullah saw menjawab, “Berlindunglah kepada Allah dari hal itu!” (Fath al-Baariy, juz.2, hal.431). Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan isnad atas syarat Bukhari dari Sa’id bin ‘Amru bin Sa’id al-Amwiy dari ‘Aisyah ra, “Orang-orang Yahudi ingin melayani ‘Aisyah, akan tetapi mereka tidak mendapat kebaikan apapun dari ‘Aisyah, kecuali mereka bertanya kepada ‘Aisyah, “Apakah kamu berlindung kepada Allah dari siksa kubur?” ‘Aisyah berkata, “Saya kemudian bertanya kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah apakah di dalam kubur ada siksa? Rasul menjawab, “Dustalah orang Yahudi!” Tidak ada siksa kecuali pada hari Kiamat. Kemudian beliau diam. Setelah itu atas kehendak Allah tetap diam. Kemudian pada suatu hari, yaitu ketika tengah hari, beliau menyeru dengan suara yang tinggi, “Wahai manusia mohonlah kepada Allah dari siksa kubur. Sesungguhnya siksa kubur adalah haq”. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari jalan Ibnu Syihaab dari ‘Urwah dari ‘Aisyah ra berkata, “Seorang wanita Yahudi mendatangiku (’Aisyah) dan bertanya, “Apakah kamu merasa bahwa kamu akan disiksa di dalam kubur? Kemudian Aisyah datang kepada Rasulullah saw dan berkata, “Sesungguhnya orang Yahudi disiksa (di dalam kubur), kemudian ‘Aisyah berkata, “Kemudian Rasulullah diam selama satu malam.kemudian berkata. “Apakah kamu merasa, bahwa telah diwahyukan kepadaku bahwa kalian akan disiksa dalam kubur?” ‘Aisyah berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw berlindung dari siksa kubur.” Allah swt berfirman, “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu, dalam kehidupan dunia dan di akherat.” (Ibrahiim:27). 

Ini adalah surat Makiyyah yang mengisyaratkan adanya siksa kubur. Imam Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini berkata, “Bukhari berkata, hadatsana….dari Bara’ bin ‘Aazib ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Seorang Muslim bila ditanya di dalam kubur akan bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Mohammad Utusan Allah.” Ini senada dengan firman Allah, artinya, “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu, dalam kehidupan dunia dan di akherat.” (Ibrahiim:27). Imam Muslim juga meriwayatkan hadits, dan sebagian Jama’ah. “ Walhasil, sebagian ‘ulama tafsir telah menyatakan, bahwa surat Ibrahim ayat 27 ini mengisyaratkan adanya siksa kubur. Namun, kesimpulan ini disandarkan dari mafhum bukan manthuq ayat tersebut –Ibrahim ayat 27. Pada ayat lain, Allah swt telah berfirman, artinya, “Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang (maksudnya menampakkan kepada mereka neraka pagi dan petang sebelum hari berbangkit) dan pada hari terjadinya Kiamat. Dikatakan kepada malaikat,”Masukkanlah Fir’aun dan kaummnya ke dalam adzab yang sangat keras.” (al-Ghafir:46) Imam Ibnu Katsir berkata, “Ayat ini adalah ayat paling asal, yang digunakan istidlal oleh ahlu sunnah tentang adanya siksa barzakh di dalam kubur.” Selanjutnya, Ibnu Kastir berkata,”Tidak ragu lagi bahwa ayat ini adalah ayat Makiyyah”. Kita bisa mengajukan pertanyaan kritis atas tafsir kedua surat di atas –surat Ibrahim;27 dan al-Ghafir:46. Bagaimana mungkin dua ayat ini bisa digunakan dalil untuk menunjukkan adanya siksa kubur, padahal ayat-ayat ini turun di Mekah sebelum hijrah? Sedangkan Rasulullah saw tidak mengetahui siksa kubur kecuali setelah beliau berada di Medinah dan saat-saat akhir beliau? Ayat itu tidak mungkin berbicara tentang siksa kubur, sebab Rasulullah saw tatkala di Mekah belum mengetahui tentang adanya siksa kubur. Beliau mengetahui siksa kubur setelah berada di Medinah. Lalu, bagaimana jalan komprominya? Para ‘ulama berusaha memecahkan persoalan ini dengan berbagai macam pendekatan. Imam Ibnu Katsir berupaya untuk menjawab persoalan ini, dengan menyatakan,”Jawabnya adalah, surat al-Ghafir:46 ini, “Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang (maksudnya menampakkan kepada mereka neraka pagi dan petang sebelum hari berbangkit) dan pada hari terjadinya Kiamat.”, menunjukkan, bahwa siksa neraka akan ditampakkan kepada arwah pada saat pagi dan petang di alam barzakh. Ayat ini tidak menunjukkan siksa atas jasadnya di dalam kubur. Sebab yang demikian itu dikhususkan untuk ruh. Adapun yang terjadi pada jasad di dalam barzakh dan penyiksaannya, tidak ditunjukkan oleh ayat tersebut, namun ditunjukkan dalam sunnah”. Kemudian beliau menyambung, “Ada yang menyatakan bahwa ayat ini menunjukkan penyiksaan terhadap orang kafir di barzakh, akan tetapi, ayat itu tidak berhubungan dengan siksa bagi kaum Muslimin atas dosa-dosanya di dalam kuburnya.” Imam Ibnu Hajar juga berupaya memecahkan persoalan itu sebagai berikut, “Sungguh hal ini sangat sulit, sebab surat Ibrahim :27 dan al-Ghafir:46 adalah surat Makiyah. Pemecahannya adalah sebagai berikut,” Adanya siksa kubur lebih tepat diambil dari jalan mafhum (kontekstual). Surat Makiyah itu menunjukkan, bahwa siksa kubur adalah siksa kubur yang ditujukan bagi orang yang tidak memiliki iman. Manthuq (tekstual) pada surat al-Ghafir:46, menunjukkan bahwa siksa kubur tersebut akan ditujukan kepada Fir’aun dan pengikutnya, serta bagi orang yang termasuk dalam golongan orang-orang kafir. Sedangkan yang diingkari oleh Rasulullah saw –dalam hadits riwayat ‘Aisyah– adalah terjadinya siksa kubur atas orang-orang yang mentauhidkan Allah. Selanjutnya, Rasulullah saw mengetahui bahwa siksa kubur itu bisa terjadi pada orang yang dikehendaki oleh Allah dari golongan orang mukmin. Kemudian Rasulullah saw menetapkannya, mengingatkan akan adanya siksa kubur, dan menyampaikan agar berlindung dari siksa kubur, sebagai pemberitahuan, dan petunjuk bagi umatnya. Maka selesailah ta’arudl (pertentangan ayat tersebut) dengan pujian kepada Allah swt”. Inilah pendapat Imam Ibnu Hajar al-Asqalaniy.[lihat Fath al-Baariy, Juz. III, hal. 183] Walhasil, menurut Imam Ibnu Katsir, surat al-Ghafir:46 dan Ibrahim:27 hanya menunjukkan tentang dinampakkannya siksa neraka bagi para arwah di alam barzakh. Masih menurut beliau, ayat tersebut sama sekali tidak menunjukkan adanya siksa atas jasad di dalam kubur. Sebab, siksa yang terjadi di alam kubur hanya akan menimpa pada ruh, bukan jasad. Beliau menambahkan, ayat ini tidak menunjukkan adanya siksa atas jasad di alam barzakh. Al-Hafidz Ibnu Hajar mengkompromikan pertentangan tersebut dengan penjelasan sebagai berikut; Surat al-Ghafir:46 dan Ibrahim:27 hanya menunjukkan adanya siksa bagi orang-orang kafir di dalam kuburnya. Tatkala, Rasulullah saw masih di Mekah beliau telah mengetahui adanya siksa kubur bagi orang kafir, namun beliau belum memahami, apakah orang mukmin juga akan dikenai siksa kubur. Setelah beliau di Medinah, barulah beliau mengetahui bahwa siksa kubur itu bisa mengenai kaum mukmin. Jadi, penolakan tentang adanya siksa kubur pada hadits riwayat ‘Aisyah itu, hanya berhubungan dengan penolakan beliau atas adanya siksa kubur bagi orang mukmin, bukan penolakan adanya siksa kubur atas orang kafir. Beliau telah memahami sejak di Mekah, bahwa siksa kubur itu akan ditimpakan kepada orang kafir. Namun beliau belum mengetahui, apakah siksa kubur itu bisa juga dijatuhkan kepada orang mukmin. Setelah di Medinah, barulah beliau mengetahui bahwa orang mukmin juga bisa terkena siksa kubur. Bila dikaji secara mendalam, baik Ibnu Hajar maupun Ibnu Katsir belum menyelesaikan secara tuntas persoalan ini. Keduanya hanya melihat dari satu sisi belaka, dan mengesampingkan sisi yang paling penting; yaitu, apakah boleh bagi Rasulullah saw menyampaikan sesuatu –yang berhubungan dengan masalah agama– tanpa ilmu pengetahuan. 

 Apakah boleh bagi rasul salah dalam tablighnya, dan berkali-kali melakukan kesalahan?” Permasalahan mengenai siksa kubur berbeda dengan permasalahan penyerbukan kurma; sehingga bila Rasulullah saw salah dalam masalah tersebut, beliau saw bisa berkata, “Kalian lebih mengerti urusan kalian.” Persoalan adanya siksa kubur menyangkut persoalan kemurnian agama Islam. Masalah ini juga berhubungan dengan masalah ghaib. Tak seorangpun bisa memahami alam ghaib, kecuali ada keterangan dari Allah swt. Bila Rasulullah saw ditanya perkara semacam ini, beliau tidak memberikan jawaban, sampai datangnya wahyu dari Allah swt. Sebagian ‘ulama dan ahli ilmu menyatakan, bahwa “pertentangan nash-nash ini sangat sulit untuk dikompromikan ”. Mereka mengambil kesimpulan, bahwa hadits ‘Aisyah dengan wanita Yahudi harus ditolak dirayahnya (dari sisi matannya). Langkah ini mereka tempuh untuk menghindari penakwilan-penakwilan yang justru telah menyimpang dan bertentangan dengan nash-nash yang qath’iy tsubutnya. Walhasil, kami berpendapat bahwa nash-nash yang berbicara tentang siksa kubur, dalalahnya tidak qath’iy, baik siksa kubur yang berhubungan dengan ruh saja, atau ruh dan jasad. Ibnu Hajar berkata,” Pengarang (Bukhari) tidak mengingkari penjelasan mengenai adzab kubur yang menimpa atas ruh saja, atau atas ruh dan jasad. Dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat yang sangat masyhur di kalangan para ‘ulama mutakalimin. Masalah ini seakan-akan telah ditinggalkan. Sebab, dalalah yang ditunjukkan tidak qath’iy (pasti). Tidak ada nash yang menunjukkan secara pasti, yang mengarah pada salah satu dari dua penunjukkan itu (ruh saja, atau ruh dan jasad). Walhasil, tidak satu hukum saja yang bisa diambil dalam masalah ini. Dan cukuplah dengan adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini, yakni orang (yang berpendapat) menafikan sama sekali ‘adzab kubur, sebagaimana orang-orang Khawarij dan sebagian ‘ulama Mu’tazilah semisal, Dlarar bin ‘Amru, Basyar al-Marisiy; dan orang yang menerima adanya siksa kubur”. [Fath al-Baariy, juz.3, hal. 180]. Ibnu Hajar menyambung, “Ibnu Haram dan Ibnu Habirah menyatakan bahwa persoalan ini terjadi pada ruh saja, tidak menimpa pada jasad. Jumhur ‘ulama menolak pendapat ini dan berkata, “..terjadi pada ruh dan jasad.” Kompromi dari dua pendapat ini adalah, siksa kubur itu hanya terjadi pada ruh saja. Adapun mengenai mayit yang bersaksi dalam kuburnya, ini adalah masalah yang berbeda, dan (juga) tidak berhubungan dengan diamnya mayit di kubur, atau yang lain, atau sempit atau luasnya kubur mereka. “[hal.182]. Adapun firman Allah swt, “Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang” (al-Ghafir:46), dalalahnya tidak pasti (qath’iy). Ayat ini memberikan arah pengertian bahwa penyiksaan itu ada yang terjadi sebelum hari kiamat. Namun ada pula ayat yang memberikan arah pengertian yang bertentangan, yakni, siksa itu hanya akan terjadi pada hari kiamat. Nash-nash seperti ini cukup banyak. Allah swt berfirman dalam surat al-Kahfi, “..kemudian ditiup lagi sangkakala, lalu Kami kumpulkan mereka itu semuanya. Dan kami nampakkan Jahannam pada hari itu kepada orang-orang kafir dengan jelas.” (18:99-100). Penjelasan Tentang Surat al-Ghafir:46, Beserta Jalan Komprominya Allah swt telah berfirman, artinya, “Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang (maksudnya menampakkan kepada mereka neraka pagi dan petang sebelum hari berbangkit) dan pada hari terjadinya Kiamat. Dikatakan kepada malaikat,”Masukkanlah Fir’aun dan kaummnya ke dalam adzab yang sangat keras.” (al-Ghafir:46) Sebagian orang berpendapat bahwa kata “yaum taquumu al-saa’ah” (hari kiamat) yang disambungkan pada kata “ghadwan wa ghasyiyyan” (pada pagi dan petang) adalah dua hal yang terjadi pada dua keadaan yang berbeda. Mereka menyatakan, bahwa neraka yang ditampakkan pada “pagi dan petang” itu terjadi sebelum hari kiamat, bukan terjadi pada hari kiamat. Dengan penjelasan semacam ini, mereka ingin berdalil dengan ayat ini, bahwa siksa itu bisa saja terjadi sebelum hari kiamat, yakni adanya siksa kubur. Pendapat ini tidak tepat. Sebab ‘athaf tidak selalu menunjukkan dua keadaan yang berbeda (terpisah). Misalnya, Allah swt berfirman, “Dan Dialah Tuhan (Yang disembah) di langit dan Tuhan (Yang disembah) di bumi dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (al-Zukhruf:84). Seandainya wawu ‘athaf selalu menetapkan bahwa ma’thuf (yang disambung) berbeda (terpisah) sama sekali dengan ma’thuf ‘alaihi (yang menyambung), maka ayat tersebut (al-Zukhruf) memiliki makna bahwa ilah (sesembahan) di langit berbeda (terpisah) dengan ilah di bumi. Maha Suci Allah Tidak ada Tuhan selain Dia. Walhasil, firman Allah swt, “Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang (maksudnya menampakkan kepada mereka neraka pagi dan petang sebelum hari berbangkit) dan pada hari terjadinya Kiamat. Dikatakan kepada malaikat,”Masukkanlah Fir’aun dan kaummnya ke dalam adzab yang sangat keras.” (al-Ghafir:46); harus dibawa kepada pengertian, bahwa neraka akan ditampakkan kepada mereka setelah peniupan sangkakala pada awal terjadinya hari kiamat Pada saat itulah, awal terjadinya ‘adzab (siksa). Selanjutnya, mereka dimasukkan ke dalam siksa yang sangat pedih. Namun demikian, hadits shahih yang meriwayatkan tentang adanya siksa kubur jumlahnya sangat banyak. Ibnu Hajar menyatakan, “Ada hadits-hadits yang meriwayatkan tentang siksa kubur selain hadits-hadits ini (kemudian ia menyebut enam buah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari pada bab ini), sebagian diriwayatkan dari Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, Abu Ayyub, Said, Zaid bin Arqam, Ummu Khalid dalam shahih Bukhari Muslim atau di salah satu dari keduanya; juga dari Jabir, Abu Sa’id menurut Ibnu Mardawaih, dari ‘Umar, ‘Abd al-Rahman bin Hasanah, dan ‘Abd al-Amru menurut Abu Dawud, dan dari Ibnu Mas’ud menurut al-Thahawiy, dari Abu Bakrah, Asma’ bin Yazid menurut al-Nasaiy, dan dari Ibnu Mubasysyir menurut Ibnu Abi Syaibah, dan dari selain mereka.” [Fath al-Baariy; juz.III, hal.186] Sebagian ‘ulama menyatakan, bahwa hadits ini telah mencapai derajat mutawatir. Seandainya tidak ada nash-nash yang saling bertentangan, sungguh kami juga akan menyatakan bahwa hadits tentang siksa kubur mutawatir. Akan tetapi nash-nash tersebut “bertentangan” sehingga menurunkan derajat kemutawatirannya. Sebab, kemutawatiran sebuah khabar tidak hanya disandarkan kepada jumlah yang banyak saja. Namun, ada persoalan lain yang lebih penting, yakni menyelamatkan khabar dari pertentangan. Kemutawatiran sebuah khabar bisa diragukan, jika maknanya saling bertentangan. Imam Al-Amidy berkata, “Para ‘ulama berbeda pendapat dalam menetapkan jumlah minimal yang dapat menghasilkan ‘ilmu (kepastian). Sebagian menyatakan, 5 orang. Sebab, , jika kurang dari lima orang, misalnya, empat orang saksi yang bersaksi dalam masalah syari’ah, maka qadli boleh menetapkan hukum berdasarkan kesaksian empat orang yang bersepakat pada suatu tujuan yang dzanniy. Seandainya ‘ilmu (kepastian) dihasilkan dari pendapat empat orang, mengapa bisa terjadi seperti itu (ada kesepakatan dalam hal yang dzanniy)? Qadli Abu Bakar memutuskan bahwa empat adalah jumlah yang kurang. Beliau juga masih meragukan lima orang. Sebagian ‘ulama menyatakan jumlah minimal perawi adalah 12 orang, ada pula yang menyatakan paling sedikit 20. Ada pula yang menyatakan 40, 70, 313. Ada pula yang menyatakan bahwa jumlah minimal yang mengantarkan ilmu hanya diketahui oleh Allah, dan kita tidak mengetahui. Dan ini yang terpilih. “[al-Amidiy, Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz.II/39] Beliau menambahkan, “Di samping jumlah, jaminan kemutawatiran sebuah berita adalah ilmu yang dihasilkan oleh perkataan para pembawa berita (rawi), bukan ilmu yang dihasilkan oleh jumlah tertentu.“ Kemudian beliau menyatakan lagi, “Oleh karena itu, kami berpendapat, bahwa jaminan mutawatir adalah ilmu yang dihasilkan dari sebuah berita. Berita yang tidak menghasilkan ilmu tidak boleh dijadikan sandaran untuk berdalil. Sebab, dalilnya sendiri telah jatuh ke dalam wijdaan (persangkaan). Ini adalah syarat-syarat yang telah diakui keabsahannya untuk menetapkan kemutawatiran sebuah berita.” Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan Imam Ahmad, dll dari ‘Aisyah ra, tentang perempuan Yahudi, menyatakan dengan jelas, bahwa Rasulullah saw menafikan adanya siksa kubur bagi manusia di alam barzakh sebelum hari kiamat. Kemudian, datang wahyu kepada beliau dan mengabarkan bahwa siksa kubur adalah haq (benar). Hadits ini pun, maudlu’nya masih mengandung perselisihan. Penjelasan Mengenai Ayat-Ayat Tentang Penangguhan Siksa Hingga Hari Kiamat Al-Quran telah menyatakan,”Dan janganlah sekali-kali kamu (Mohammad) mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang dzalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak.” (14:42). Ayat ini ma’udlu’nya juga masih mengandung perselisihan. Ayat ini menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa Allah swt memberi tangguh siksa atas orang-orang yang dzalim hingga hari kiamat. Sebab, yang dimaksud dengan “hari dimana mata mereka terbelalak” adalah hari kiamat. Ayat-ayat yang senada dengan ayat tersebut, adalah, “Jikalah Allah menghukum manusia karena kedzalimannya, niscaya tidak akan ditinggalkan-Nya di muka bumi sesuatupun dari makhluk yang melata, tetapi Allah menangguhkan mereka sampai kepada waktu yang ditentukan. Maka apabila telah tiba waktunya (yang ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukannya.” (al-Nahl:61). “Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makluk yang melatapun, akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan mereka) sampai waktu yang tertentu; maka apabila datang ajal mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Melihat (keadaan) hamba-hambaNya.” [35:45]. Al-Ajal al-Musammay (waktu yang ditentukan) adalah hari kiamat. Secara qath’iy, ayat-ayat ini menunjukkan adanya penangguhan siksa hingga hari kiamat. Sebab, dalalah yang ditunjukkan oleh ayat-ayat di atas adalah qath’iy. Akan tetapi, ada hadits-hadits shahih yang mengkhususkan pengertian ayat tersebut. Hadits-hadits tersebut menjelaskan, bahwa Allah swt telah mendahulukan beberapa siksa, sebagian diwujudkan di dunia, sebagian lagi diwujudkan di akherat; dan sebagian besar lagi kelak di hari akhir. Mengkhususkan pengertian yang ada di dalam al-Quran dengan sunnah, adalah perkara yang telah disepakati. Walhasil, seseorang tidak boleh mengatakan, bahwa ayat-ayat tersebut –yang berbicara tentang penangguhan siksa– tidak mungkin dikompromikan dengan hadits-hadits tentang siksa kubur. Selain itu, hadits-hadits yang berbicara tentang siksa kubur tidak boleh ditolak dirayahnya, hanya karena “bertentangan dengan ayat-ayat tersebut di atas”. Akan tetapi, harus dibawa kepada takhsiish al-quran bi al-Sunnah. Penjelasan Tentang Surat Yasiin ; 51-52 Allah swt, “Dan ditiuplah sangkakala, maka tiba-tiba mereka keluar dengan segera dari kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka. Mereka berkata, “Aduhai celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)? Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul-RasulNya.” (Yasiin:51-52). Mau’dlu’ ayat ini pun masih mengandung keraguan. Ayat ini menggambarkan, bahwa orang-orang yang ada di dalam kubur, berada dalam kondisi tertidur. Ayat ini tidak menunjukkan, bahwa mereka terjaga (tidak tidur) di dalam kubur, atau dalam kondisi terkena siksa. Walhasil, ayat ini telah menafikan adanya siksa di dalam kubur. Mengkompromikan ayat ini dengan hadits-hadits yang berbicara tentang siksa kubur –dengan jalan mentakhshih ayat ini dengan hadits-hadits tentang siksa kubur yang telah kami sebutkan sebelumnya– adalah perkara yang sangat sulit. Sebab, kami tidak mendapatkan hadits shahih yang menjelaskan adanya masa jeda barzakh yang menceritakan tentang adanya siksa kubur dan kondisi bahwa si mayat tidak tidur di dalam kuburnya. Sebagian shahabat dan tabi’in berdiam diri terhadap ayat ini dan hadits-hadits tentang siksa kubur. Imam Ibnu Katsir menyatakan, “Ubay bin Ka’ab, Mujahid, Hasan, dan Qatadah ra berkata, “Mereka tidur sebelum hari kiamat.” Qatadah berkata, “Hal itu itu terjadi diantara dua tiupan, sehingga mereka mengatakan, “Siapakah yang membangkitkan kami dari tidur kami.” Kompromi semacam ini dianggap sebagai jalan keluar. Walhasil, pendapat yang menyatakan, ” Pertentangan antara ayat ini dengan hadits-hadits tentang siksa kubur, tidak mungkin dikompromikan dengan berbagai bentuk kompromi”, adalah pendapat yang tidak tepat. Argumen semacam ini tidak bisa diterima. Seseorang tidak boleh mengatakan, bahwa hadits tentang siksa kubur harus ditolak dirayahnya karena bertentangan dengan ayat ini. Penjelasan Tentang Surat al-Ruum:55 Ayat lain yang berbicara tentang penangguhan siksa sebelum hari akhir, adalah surat al-Ruum:55. Al-Quran telah menyatakan, “Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa, “mereka tidak berdiam (dalam kubur) melainkan sesaat saja.” (al-Ruum:55). Namun, maudlu’ ayat ini juga mengandung keraguan. Yang menjadi pertanyaan adalah, dimanakah orang-orang yang berdosa itu tinggal pada waktu yang sangat singkat itu – seperti yang telah disampaikan oleh para pendosa itu? Sebagian ahli tafsir berkata, “Yang mereka maksud adalah tinggal di dalam kubur. Sebagian ahli tafsir lain menyatakan, bahwa yang mereka[2] maksud adalah tinggal di dalam kehidupan dunia. Ada sebagian ahli tafsir yang menyatakan bahwa, yang mereka maksud adalah tidur, yakni mereka tidur diantara dua tiupan; antara tiupan yang mematikan seluruh makhluk, dan tiupan pada saat hari kebangkitan (qiyamah). Waktunya sekitar 40 tahun menurut sebagian atsar. Orang yang mengambil penafsiran pertama akan menyatakan, bahwa ketika hari kiamat orang-orang yang berdosa itu bersumpah, bahwa mereka tinggal di dalam kuburnya dalam waktu yang sangat singkat, yakni sejak kematiannya sampai terjadinya hari kebangkitan. Orang yang mengambil penafsiran ini akan mendapatkan kesulitan. Jika mereka menafsirkan seperti itu, ia justru akan membawa ke arah pengertian, bahwa orang-orang yang berdosa itu tidak mendapatkan siksa di dalam kuburnya. Sebab orang yang dikenai siksa di dalam kuburnya, akan merasakan waktu yang sangat panjang.[3] Pendapat semacam ini tidak berarti menerima qiyas yang ghaib (tidak nampak) atas yang syahid (nampak); atau mengqiyaskan siksa kubur atas siksa dunia, akan tetapi nash itu sendiri yang menunjukkan pengertian tersebut. Jika kita mengambil penafsiran kedua atau ketiga, bahwa orang-orang yang berdosa itu tinggal di dunia (penafsiran ke dua), atau mereka tinggal diantara dua tiupan (penafsiran ke tiga), maka hal itu bukanlah perkara yang sulit. Akan tetapi, qarinah di dalam ayat itu dengan jelas menunjukkan bahwa mereka berdiam di dalam kubur mereka, sejak kematian mereka hingga hari kiamat, bukan tinggal di dunia. Qarinah ini terdapat pada ayat sesudahnya. Allah berfirman, “Dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dan keimanan (kepada orang-orang yang kafir):”Sesungguhnya kamu telah berdiam (dalam kubur) menurut ketetapan Allah, sampai hari berbangkit; maka inilah hari berbangkit itu, akan tetapi kamu selalu tidak menyakininya.” (30:56). Berdasarkan qarinah yang ditunjukkan oleh ayat ini, kalangan ahli ‘ilmu dan iman menyatakan, bahwa orang-orang yang berdosa itu tinggal di dalam kuburnya hingga hari kiamat, bukan berdiam di kehidupan dunia. Orang yang menafsirkan, bahwa orang-orang yang berdosa itu tinggal di kehidupan dunia telah mengambil penafsiran yang salah. Penafsiran yang menyatakan, bahwa orang-orang yang berdosa itu tidur diantara dua tiupan, adalah penafsiran yang tidak kuat. Bahkan, penafsiran semacam ini tidak bisa dikompromikan. Sebab, ia tidak didasarkan pada nash-nash syara’. Namun, demikian agar kita keluar dari kesulitan ini, maka kami mengambil jalan keluar, bahwa orang-orang yang berdosa itu tidur diantara dua tiupan sangkakala, dan mereka tidak tinggal di dalam kuburnya melainkan dalam waktu yang sangat singkat –sesaat di dalam tidurnya saja. Hadits-hadits yang berbicara tentang siksa kubur adalah shahih. Hadits-hadits itu masih mungkin untuk dikompromikan dengan ayat-ayat Quran yang maknanya terlihat kontradiksi. Seorang Muslim tidak boleh mengingkari hadits-hadits tersebut. Mengingkari hadits-hadits itu sama artinya mengingkari hadits shahih. Ini adalah perbuatan dosa. Sebab, mengingkari hadits shahih akan mengakibatkan tersia-sianya amal. Namun demikian, dilalah yang ditunjukkan oleh hadits-hadits siksa kubur adalah dzanniy. Keimanan seorang Muslim tidak boleh didasarkan kepada nash-nash yang tsubut dan dilalahnya dzanniy. Sebab, iman menuntut adanya pembenaran yang bersifat pasti. Pembenaran yang tidak sampai ke derajat pasti, tidak akan mengantarkan kepada keyakinan, atau keimanan. Demikianlah, anda telah dijelaskan dengan gamblang, bahwa hadits-hadits yang berbicara tentang siksa kubur, dilalahnya tidaklah qath’iy. Seandainya hadits-hadits tentang siksa kubur mutawatir dan tidak ada pertentangan makna dengan riwayat-riwayat mutawatir lainnya, tentu kita harus mengimani keberadaannya tanpa ada keraguan sedikitpun. Allahul Haadiy wal Muwaffiq ila Aqwaamith Thaariq

1 komentar:

  1. assalamu'alaikum,, maaf ustadz, saya mau nanya nih,tapi ada beberapa artikel lain yg sya baca itu bilang bahwa Ibnul Qoyyim –rahimahullah- mengatakan, “Bukan hanya satu orang salaf namun lebih dari itu, mereka berdalil dengan ayat ini (qs al mu'minun 45-46) tentang adanya siksa kubur.” (At Tafsir Al Qoyyim, hal. 358). http://rumaysho.com/belajar-islam/aqidah/2328-pembicaraan-siksa-kubur-dalam-al-quran.html gimana tuh ustad? soalny kan jaman sekarang orang sudah susah sekali untuk memahami ilmu islam tanpa berpegang kpd pndapat ulama*yg sdh terjamin* apalgi itu ulama seperti ibnu qoyyim di atas. gmn pnjlsnny utk smcm org awam kbnykn yg sulit memahami dn brpijak ats anlisis sendiri dgn ilmu yg kurang? td ustad jg blg bhw ahli tafisr spt ibnu katsir dan ibnu hajar sperti belum tuntas membahas hal tsb. saya setuju dg pnjlsn ustad ttg utk perkara aqidah memang membutuhkah dalil yg qath'i.baik penunjukan maupun maknanya. yg mw sya tnya, gmn crany mmbri pmhmn yg sdkit lbih simpel kpd org2 awam tdi, trmsuk sya jg msih awam. soalny msih bnyk yg brpegang kpd sbgian ulama yg mgtkn bhw dalil2 alquran yg td sdh dsbutkn, mmg bicara soal siksa kubur. trima kasih sblmny..

    wasslmu'alaikum wr wb

    BalasHapus