Selasa, 07 Februari 2012

PERBEDAAN ITU RAHMAT

PERBEDAAN ITU RAHMAT

Manusia sebagai mahluk ciptaan Allah yang paling sempurna dibandingkan dengan mahluk yang lainnya sehingga para malaikat dan iblis diperintahkan Allah untuk bersujud (menghormat) kepada Nabi Adam AS. Kesempurnaan manusia tidak hanya dari segi bentuk tetapi kelengkapan yang menyertai pada diri manusia yaitu akal pikiran, hati nurani dan hawa nafsu. Manusia menjadi mulia bahkan lebih mulia dari malaikat karena mampu mengelola kelengkapan atau potensi tersebut untuk meraih derajat ketaqwaan. Namun sebaliknya manusia akan jatuh kelembah kehinaan yang paling dalam karena tidak mampu mengelola kelengkapan atau potensi tersebut sehingga menjadi mahluk yang paling rendah bahkan lebih rendah dibandingkan dengan binatang ternak. Namun kesempurnaan manusia itu hanyalah sebatas mahluk yang tidak bisa lepas dari kedloifan atau kelemahan, keterbatasan, kekhilafan, ada kelebihan dan kekurangan diantara yang satu dengan yang lain. Maka timbullah berbagai macam perbedaan pemikiran atau pendapat dalam suatu permasalahan. Jadi perbedaan pendapat adalah suatu keniscayaan sebagai sunnatullah yang harus kita hadapi dan kita sikapi dengan baik kalau kita menginginkan Perbedaan itu menjadi rahmat. Begitu juga sebaliknya Perbedaan akan menjadi laknat atau bencana kalau kita salah dalam menyikapinya.

Jadi semua akan kembali kepada bagaimana penyikapan kita. Kalau disikapi secara dewasa, maka perbedaan itu memang sangat indah. Bahkan banyak manfaatnya. Persis seperti ungkapan Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, khalifah yang disebut-sebut sebagai khalifah rasyidah ‘kelima’. Tatkala menemukan kenyataan bahwa dahulu para shahabat seringkali berbeda pendapat, beliau malah merasa amat berbahagia. Sebab adanya perbedaan pendapat di kalangan para shahabat itu memberikan dampak positif yang luar biasa besarnya dalam keluasan ilmu fiqih. Beliau tidak bisa membayangkan seandainya dahulu para shahabat tidak berbeda pendapat, maka ilmu fiqih akan kering kerontang, kehilangan hasil-hasil ijtihadnya, yang ternyata kemudian amat diperlukan umat berikutnya. Sebab Islam tidak stagnan diam di dalam jazirah Arab, tapi meledak hingga ke pinggiran benua Eropa, masuk menjelajah jauh ke dalam rimba Afrika, berlayar jauh hingga nusantara, melewati pegunungan tinggi hingga negeri Cina.

Syariah Islam bertemu dengan beragam budaya, adat istiadat, tata aturan masyarakat, tradisi dan sekian banyak falsafah kehidupan umat manusia. Kelenturan hukum syariah menjadi syarat mutlak. Ternyata perbedaan pandangan di kalangan shahabat telah menjawab semuanya. Ketika suatu pendapat tidak cocok diterapkan di suatu negeri, ternyata ada pendapat versi lain dari shahabat yang lain yang justru terdapat kecocokan. Di wilayah bumi yang lainnya, pendapat yang tidak cocok tadi malah mudah untuk diterapkan. Dan itulah yang kemudian menggembirakan hati Umar bin Abul Aziz.
Dan Al-Imam Malik rahimahullah sendiri sebagai satu dari sekian mujtahid mutlak sudah memberikan isyarat itu. Dalam satu kesempatan, khalifah ingin menjadikan kitab beliau, Al-Mutawaththa’, sebagai kitab fiqih standar yang akan dijadikan acuan syariah dalam khilafah Islam. Namun beliau menolak bila kitabnya dijadikan buku fiqih standar. Alasan beliau karena apa yang beliau tulis itu hanya salah satu ijtihad dari sekian banyak ijtihad para ulama. Beliau khawatir kalau pendapat beliau dipaksakan kepada umat Islam, akan timbul begitu banyak permasalahan baru. Mengingat bahwa Imam Malik tidak pernah mengembara ke berbagai sudut negeri Islam. Beliau lahir, besar dan tinggal di Madinah. Dan beliau paham betul bahwa setiap wilayah negeri membutuhkan ahli fiqih yang berijtihad sesuai dengan kondisi wilayah mereka masing-masing.

Dalam suatu riwayat disebut,” Ikhtilaafu Ummatii rahmah “ Perbedaan pendapat diantara umatku itu rahmat. Terlepas dari masih pro kontranya status hadits tersebut yang jelas pada kenyataannya adanya persatuan itu karena adanya perbedaan. Ini bukan berarti kalau Persamaan itu sebagai azab. Sebagaimana penjelasan Imam Nawawi dalam Syarh Sahih Muslim: "Jika sesuatu dinyatakan sebagai rahmat, maka belum tentu kebalikannya adalah kebalikan dari rahmat. Tidak ada seorangpun yang membuat aturan ini, dan tidak ada yang mengatakan ini kecuali orang yang acuh. Allah berfirman "Dan diantara rahmat-Nya, Dia telah menjadikan malam untukmu sehingga kamu beristirahat di dalamnya", dan Dia telah menamakan malam sebagai rahmat, dan tidak menjadikan bahwa siang hari adalah adzab. Ibn Taymiyyah dalam kitabnya Mukhtasar al-fatawa al-misriyya berkata:"al-a'imma ijtima`uhum hujjatun qati`atun wa ikhtilafuhum rahmatun wasi`a Kesepakatan para Imam (fiqh) terhadap sebuah pertanyaan adalah bukti yang pasti, dan perbedaan pendapat diantara mereka adalah rahmat yang luas. al-Hafiz al-Bayhaqi dalam bukunya al-Madkhal and al-Zarkashi dalam Tadhkirah fi al-ahadith al-mushtaharah menyebutkan: Imam al-Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr al-Siddiq berkata:

"Perbedaan diantara sahabat Rasulullah Muhammad adalah rahmat bagi hamba-hamba Allah".
Sedikit gambaran, bagaimana perbedaan khususnya dalam masyarakat muslim menjadi sesuatu yang indah. Misalnya mengenai doa qunut (do’a yang dibaca selepas bangkit dari rukuk pada rakaat terakhir) ketika sholat shubuh, sebagai imam sholat terbiasa melafalkannya namun ada sebagian makmum yang tidak mengikutinya. Ini sebagaimana yang terjadi dikampung saya. Begitu juga sebaliknya sebagai imam tidak biasa melafalkannya, makmum yang biasa melafalkannya tidak baca qunut juga tidak masalah. Apalagi imam memberi waktu kepada makmum yang terbiasa membacanya. Tentu ini akan sangat bagus. Begitu juga perbedaan penetapan awal puasa dan hari raya, perbedaan rekaat sholat tarwih, perbedaan amalan-amalan seperti yasinan, tahlilan, mujahadahan, barzanji dll. 
Kalau masalah ini menjadi alasan untuk selalu bersitegang, tidak mau tersenyum, tidak mau menyapa, tidak mau bersilaturahim apalagi sampai memaksakan pendapat. Berarti kita menjadi umat islam yang suka belajar tetapi tidak lulus-lulus. Ingatlah bahwa pendapat ulama-ulama besar itu pun “hanya” hasil ijtihad yang masih belum tentu benar salahnya bukan? Seperti yang dijanjikan Allah, benar salah dalam ijtihad bakal mendapatkan satu pahala. Namun kelak, ketika sidang pengadilan akhirat akan diumumkan siapa yang benar dan berhak mendapatkan bonus satu pahala lagi. Jadi, kenapa harus bacok-bacokan untuk memperebutkan kebenaran?

AA Gym telah merumuskan bagaimana merajut kebersamaan dalam perbedaan melalui suatu rumus sederhana, yakni rumus 5M.

M yang pertama adalah menyadari. Kita harus mulai melihat perbedaan ini dengan menyadari bahwa perbedaan itu pasti ada, dan bahkan harus ada.

M yang kedua adalah memahami. Artinya, kita harus senantiasa mencoba memahami setiap perbedaan yang ada.

M yang ketiga adalah memaklumi. Sejak saat ini, kita harus belajar untuk memaklumi setiap perbedaan yang ada di antara kita.

M yang keempat adalah memaafkan. Tidak jarang, perbedaan membuat adanya ketersinggungan-ketersinggungan. Oleh karena itulah kita harus mampu memberi keluasan maaf.

M yang kelima adalah memperbaiki. Terkadang perbedaan memang tidak selalu baik. Di sinilah perlu kemauan keras dari kita untuk memperbaiki, bukan menyalahkan.

kita --umat Islam-- harus mulai memikirkan jalinan ukhuwah Islamiyah daripada memperbesar jurang perbedaan. Dalam suatu riwayat, Rasulullah saw. pernah bertanya kepada para sahabatnya, "Maukah kalian aku tunjukkan amal yang lebih besar pahalanya daripada salat dan saum?"
Sahabat menjawab, "Tentu saja!"

Rasulullah pun kemudian menjelaskan, "Engkau damaikan yang bertengkar, menyambungkan persaudaraan yang terputus, mempertemukan kembali saudara-saudara yang terpisah, menjembatani berbagai kelompok dalam Islam, dan mengukuhkan ukhuwah di antara mereka, (semua itu) adalah amal saleh yang besar pahalanya. Barangsiapa yang ingin dipanjangkan usianya dan dibanyakkan rezekinya, hendaklah ia menyambungkan tali persaudaraan" (H.R. Bukhari-Muslim).

Namun yang perlu dimengerti dan difahami bahwa Perbedaan pendapat itu ada bermacam-macam jenisnya. Dilihat dari esensi atau tema yang saling dipermasalahkan, maka ada masalah yang memang sangat dibolehkan untuk berbeda pendapat, namun ada banyak masalah yang sudah di luar batas toleransi untuk diperdebatkan. Kalau perbedaan pendapat itu hanya berkisar pada urusan qunut shubuh dan yang lainnya seperti diatas mudah-mudahan kita dan para ulama memahami. Tapi apakah Allah itu satu atau banyak, maka ini sebenarnya bukan perbedaan pendapat yang wajar. Tapi pertarungan antara al-haq dan al-batil. Karena itu kita harus mampu membedakan kedua jenis perbedaan pendapat ini. Mana yang masih dalam koridor / prinsip hukum islam atau sudah keluar dari islam. Namun begitu dalam mengatasi masalah ini kita harus tetap menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dengan cara yang telah dituntunkan oleh Allah swt sebagaimana Firman-Nya dalam surat A-Nahl ayat 125:” Serulah (Manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhan-mu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”

Sekali lagi, selama suatu masalah masih berada di wilayah furu’iyah, teknis ubudiyah, dan masing-masing datang dengan hujjah yang muktamad dan bisa diterima secara metodologi istimbath hukum syariah, tentu saja perbedaan yang timbul akibatnya adalah sebuah konsekuensi logis. Kita harus menghormati perbedaan itu. Tapi manakala sebuah perbedaan pendapat diteruskan dengan caci maki, penghinaan, bahkan sikap yang tidak sopan dan tidak tahu adab, maka hal itu harus dihindari, karena hukumnya haram. Bukan berbeda pendapatnya yang haram, tapi sikap kerdil dan tidak beradab itu yang haram.

Bagaimana saudaraku, masihkah engkau suka memcaci kepada saudaramu sesama muslim hanya karena beda pendapat yang tidak prinsip?

2 komentar:

  1. Setuju; Perbedaan sebagai rahmat tetapi kenapa beda agama di musuhin-sebaiknya jangan deh karena semua agama berhak hidup di dunia sementara orang itu diselamatkan bukan karena agamanya melainkan karena imannya yang tulus

    BalasHapus