Senin, 05 Maret 2012

Hilang Nikmat karena Maksiat

بِسْــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــمِ

MUSIBAH DATANG KARENA MAKSIAT & DOSA

.
Oleh karena itu, sudah sepatutnya setiap hamba merenungkan hal ini. Ketahuilah bahwa setiap musibah yang menimpa kita dan datang menghampiri negeri ini, itu semua disebabkan karena dosa dan maksiat yang kita perbuat.
Betapa banyak kesyirikan merajalela di mana-mana, dengan bentuk tradisi ngalap berkah, memajang jimat untuk memperlancar bisnis dan karir, mendatangi kubur para wali untuk dijadikan perantara dalam berdoa.
Ibnul Qayyim rahimahullah yang ma’ruf dengan kalimat-kalimat penyejuk hati berkata,
Di antara akibat dari berbuat maksiat adalah hilangnya nikmat dan datangnya bencana.Tidaklah suatu nikmat itu hilang melainkan karena dosa, begitu pula halnya suatu bencana datang juga karena dosa.

|
Dan mengangkat musibah tersebut hanyalah dengan taubat. Sebagaimana kata ‘Ali bin Abi Tholib,
مَا نُزِّلَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِذَنْبٍ وَلاَ رُفِعَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِتَوْبَةٍ
Tidaklah musibah itu turun melainkan karena dosa. Musibah itu bisa terangkat hanyalah dengan taubat.” (Ad Daa’ wad Dawaa’, 113)
Perkataan ‘Ali –radhiyallahu ‘anhu- di sini selaras dengan firman Allah Ta’ala,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syuraa: 30)
Para ulama salaf pun mengatakan yang serupa dengan perkataan di atas. Ibnu Rojab Al Hambali –rahimahullah- mengatakan,
Tidaklah disandarkan suatu kejelekan (kerusakan) melainkan pada dosa karena semua musibah, itu semua disebabkan karena dosa” (Latho’if Ma’arif, hal. 75)
|

Saatnya Kita Merubah Diri

Juga kaum muslimin tidak bisa lepas dari tradisi yang membudaya yang berbau agama, namun sebenarnya tidak ada tuntunan sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh karena itu, sudah sepatutnya setiap hamba merenungkan hal ini. Ketahuilah bahwa setiap musibah yang menimpa kita dan datang menghampiri negeri ini, itu semua disebabkan karena dosa dan maksiat yang kita perbuat.
  • Betapa banyak kesyirikan merajalela di mana-mana, dengan bentuk tradisi ngalap berkah, memajang jimat untuk memperlancar bisnis dan karir, mendatangi kubur para wali untuk dijadikan perantara dalam berdoa.
  • Juga kaum muslimin tidak bisa lepas dari tradisi yang membudaya yang berbau agama, namun sebenarnya tidak ada tuntunan sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  • Masih banyak yang enggan meninggalkan tradisi perayaan kematian pada hari ke-7, 40, dst. Juga masih gemar dengan shalawatan yang berbau syirik semacam shalawat nariyah.
  • Juga begitu banyak kaum muslimin gemar melakukan dosa besar. Kita dapat melihat bahwa masih banyak di sekitar kita yang shalatnya bolong-bolong.
Padahal para ulama telah sepakat – sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Qoyyim- bahwa meninggalkan shalat termasuk dosa besar yang lebih besar dari dosa besar yang lainnya yaitu lebih besar dari dosa berzina, berjudi dan minum minuman keras.
  • Na’udzu billah min dzalik. Begitu juga perzinaan dan perselingkuhan semakin merajalela di akhir-akhir zaman ini. Itulah berbagai dosa dan maksiat yang seringkali diterjang. Itu semua mengakibatkan berbagai nikmat lenyap dan musibah tidak kunjung hilang.
Agar berbagai nikmat tidak lenyap, agar terlepas dari berbagai bencana dan musibah yang tidak kunjung hilang, hendaklah setiap hamba memperbanyak taubat yang nashuha. Karena  dengan beralih kepada ketaatan dan amal sholeh, musibah tersebut akan hilang dan berbagai nikmat pun akan datang menghampiri.
Allah Ta’ala berfirman,
ذَلِكَ بِأَنَّ اللّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِّعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِهِمْ وَأَنَّ اللّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
(Siksaan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu ni’mat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri , dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Anfaal: 53)
إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar Ro’du: 11)
|
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmus sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
|
Betapa banyak dan besar nikmat yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan kepada kita. Oleh karena itu, sepantasnyalah kita mensyukuri hal itu. Namun ada kalanya manusia lupa setelah dianugerahi nikmat-nikmat tersebut lalu menjadi kufur.
  • Bila demikian halnya, dapatkah nikmat tersebut berubah menjadi adzab dan bencana?
  • Kapan dan bagaimana?
  • Mengapa para pelaku dosa dan maksiat, khususnya orang-orang kafir hidup dalam kesenangan seakan seisi dunia dan segala jenis kebaikan tumpah ruah untuk mereka?
  • Lalu bagaimana nikmat bisa hilang dari genggaman seorang mukmin?
  • Bila ditanyakan, ‘Dapatkah nikmat berubah menjadi adzab dan bencana?’ Maka jawabannya secara pasti, ‘Ya.!’
  • Sedangkan kapan dan bagaimana? Maka hal itu dapat terjadi bila kita tidak pernah bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Oleh karena itu, diantara doa yang telah diajarkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah :
Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari hilangnya nikmat , dari adzab yang datang tiba-tiba, berubahnya keselamatan yang diberikan oleh-Mu dan dari semua kemurkaan-Mu.” (HR. Muslim)
Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kesenangan berupa nikmat kepada siapa saja yang Dia kehendaki; bila mereka tidak bersyukur, maka Dia akan membalikkannya menjadi adzab.
Abu Hazim rahimahullah berkata,
Setiap nikmat yang tidak dapat mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka ia adalah bencana.
Nikmat akan abadi bila disertai dengan rasa syukur dan ketaatan, dan ia akan hilang karena perbuatan-perbuatan maksiat, keji, dan pembangkangan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata,
Kaitkanlah nikmat-nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan ungkapan rasa syukur kepada-Nya.
|

Syubhat Pelaku Dosa dan Maksiat

Terkadang ada orang yang berkata, ‘Mengapa kita selalu melihat orang-orang fasiq yang bergemilang dosa dan maksiat dilimpahkan kepada mereka kesenangan dunia dan seisinya, kebaikan mengalir deras kepada mereka?
Untuk menjawab pertanyaan seperti ini, mari kita simak penjelasan Syayyidusy-syakirin dan Imamush-shobirin Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,
Bila kamu melihat Allah memberikan kepada seorang hamba dunia dan apa yang ia sukai, padahal ia melakukan berbagai perbuatan maksiat, maka itu hanyalah ‘istidraj’ dari-Nya. (HR. Ahmad dan Al-Baihaqi, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Ketika mengomentari firman Allah :
Maka serahkanlah (wahai Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Al-Qur’an). Nanti kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui.” (QS. Al-Qolam : 44)
Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata, ‘Yakni melimpahkan beragam nikmat kepada mereka dan menghalangi mereka untuk bersyukur.’
Demikian juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
Dan begitulah adzab Rabbmu, apabila Dia mengadzab penduduk negeri-negeri yang berbuat zhalim. Sesungguhnya adzab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras.” (QS. Hud : 102)
Allah Subhanahu wa Ta’ala memperdaya orang yang membangkang dan berpaling, mengulur-ulur waktu baginya, akan tetapi Dia tidak pernah melalaikannya!!
Jadi nikmat dapat berubah menjadi adzab dan bencana, kemenangan berubah menjadi kekalahan, dan kegembiraan berubah menjadi kesedihan bila kita tidak bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebenar-benarnya.
|

Bagaimana Nikmat Dapat Hilang?

Nikmat hilang karena beberapa hal

Pertama,

Perbuatan maksiat dan dosa, membalas nikmat dengan hal yang membuat Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadi murka. Bila mendapat nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala maka jagalah, sebab perbuatan maksiat dapat menghilangkan nikmat.
Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam  yang menegaskan hal itu, diantaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
Telah Nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum : 41)
Dan apa saja bencana yang menimpamu, maka itu adalah karena (kesalahan) dirimu sendiri” (QS. An-Nisa : 79)
Apakah termasuk bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas nikmat ilmu misalnya, jika menyembunyikannya, tidak mengajarkannya kepada orang lain dan tidak mengamalkannya?
Apakah termasuk bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas nikmat kesehatan, mengerahkan segenap tenaga dan upaya dalam hal-hal yang diharamkan?
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam  bersabda,
Pergunakanlah lima perkara sebelum datang lima perkara; hidupmu sebelum matimu, masa sehatmu sebelum masa sakitmu, masa luangmu sebelum masa sibukmu, masa mudamu sebelum masa tuamu. (HR. Ahmad, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

Kedua,

Bila seseorang menisbatkan nikmat tersebut kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, Sang Pemberi nikmat. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada Qarun. Ketika ia menisbatkan nikmat kepada dirinya dan ilmunya melalui firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
 Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku. (QS. Al-Qashash : 76)
Lalu apa akibatnya? .. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam ayat-ayat selanjutnya :
Maka Kami benamkan Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya dari adzab Allah, dan tidaklah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya). (QS. Al-Qashash : 81)
Tidak boleh menisbatkan nikmat kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah bahwa itu termasuk kepada kekufuran dan juhud (ingkar) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana firmannya :
Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkari nya. (QS. An-Nahl : 83)
Contoh lain dari ucapan yang tidak mencerminkan kesyukuran adalah ucapan orang-orang awam, ‘Andaikata bukan karena si fulan, pastilah tidak terjadi seperti ini.’
Kalau bukan karena kekuatan dan pembekalan kita, pastilah begini dan begitu.’ ‘Kita meraih kemenangan sebab pasukan kita kuat dan terlatih,’ dan ucapan semisalnya.(Taisir Al-Aziz Al-Hamid, 583-585)
 Dalam hal ini, tidak apa-apa, bahkan selayaknya berterimakasih kepada orang yang telah berbuat baik kepada kita atau menjadi sebab kita mendapatkan nikmat atau terhindar dari bencana dengan mengatakan kepadanya, ‘Jazakallah khairan.’
Jika ia seorang muslim, kita berdoa untuknya dan berbuat baik kepadanya serta berterimakasih kepadanya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
Tidaklah bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterimakasih kepada manusia (Shahih Al-Jami’, 7719)

Ketiga,

Bila seorang hamba ditimpa sifat ghurur (percaya diri yang berlebihan) atau sombong dan congkak terhadap makhluk lain karena memiliki harta yang banyak, properti, ilmu, kedudukan dan sebagainya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela. Yang mengumpulkan harta lagi menghitung-hitung. Ia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya.” (QS. Al-Humazah : 1-3)

Keempat,

Bila seseorang tidak pernah memenuhi hak Allah Subhanahu wa Ta’ala atas nikmat tersebut.
Bila kita memiliki ilmu, maka kita harus mengajarkannya; jika kita memiliki harta, maka kita harus menginfakkannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta). (QS. Al-Ma’arij : 24-25)
Oleh karena itu, seperti di dalam kitab Ash-shahih, dua malaikat berdoa setiap harinya dengan doa, ‘Ya Allah, berikanlah kepada orang yang berinfak pengganti, dan berikanlah kepada orang kikir kehancuran. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Bila diberi kesehatan dan ‘afiat (keselamatan/keamanan), maka kita harus memanfaatkannya untuk berdakwah dan berjihad. Demikian seterusnya, kita mengekspresikan rasa syukur pada setiap anggota badan kita sesuai dengan kemampuan.
|

WALLAHU A’LAM BISH-SHAWAB

Selasa, 28 Februari 2012

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh



Penjelasan Hadits Arbain Nawawi Pertama: Amal Perbuatan itu Tergantung Niatnya

Oleh: Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .

[رواه إماما المحدثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة البخاري وابو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة]

Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafsh ‘Umar bin Al Khaththab, dia berkata: Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrahnya karena dunia yang ingin ia dapatkan atau mendapatkan wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia inginkan itu.

Hadits ini diriwayatkan oleh dua orang Imam ahli hadits; yaitu Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari dan Abul Husein Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairy An Naisaburi dalam kitab shahih keduanya, yang kedua kitab itu merupakan kitab susunan yang paling shahih.

Penjelasan:

Hadits ini merupakan prinsip dasar yang begitu agung dalam permasalahan amalan-amalan hati. Karena niat termasuk amalan hati. Para ulama mengatakan hadits ini adalah separuh ibadah, karena ia merupakan timbangan amalan-amalan yang batin. Sedangkan hadits Aisyah yang berbunyi,

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa mengada-adakan dalam urusan kami perkara yang tidak ada asalnya, maka hal itu akan tertolak.” (Shahih: dikeluarkan oleh Al Bukhari di dalam [Ash Shulh/2697/Fath], Muslim di dalam [Al Aqdhiyah/1718/Abdul Baqi]).

Dalam lafazh lain,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang tidak sesuai dengan perintah kami, maka amalan itu tertolak.” (Shahih: dikeluarkan oleh Muslim di dalam [Al Aqdhiyah/1718/Abdul Baqi]. Al Bukhari secara ta’liq [13/hal 329/fath] cetakan As Salafiyyah)

Hadits ini adalah separuh agama, karena hadits ini merupakan timbangan amalan yang dhahir (nampak). Jadi dapat dipetik faedah dari hadits, “Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung dari niatnya.” Bahwa amalan apapun harus didasari niat, karena setiap orang yang berakal tidak mungkin melakukan suatu amalan tanpa niat, hingga sebagian ulama mengatakan, “Sekiranya Allah membebani suatu amalan kepada kita tanpa didasari oleh niat, tentunya hal itu merupakan suatu pembebanan yang tidak mampu untuk dilakukan. ”

Bercabang dari faedah ini adalah: Bantahan terhadap orang-orang yang terhinggapi penyakit was-was yang mengulang-ulang suatu amalan beberapa kali, hingga setan membisikkan kepada mereka, “Sesungguhnya kalian belum memasang niat.” Kami katakan kepada mereka (orang-orang was-was itu), “Tidak, tidak mungkin engkau melakukan suatu perbuatan tanpa didasari oleh niat. Janganlah kalian membebani diri-diri kalian dan tinggalkan perasaan was-was itu. ”

Di antara faedah dari hadits ini adalah: Bahwa seseorang diberi pahala, berdosa, atau terhalang (mendapatkan sesuatu) dengan sebab niatnya. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ”Barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya. ”

Di antara faedah dari hadits ini adalah: “Sesungguhnya amalan itu tergantung dari tujuannya.” Bisa jadi, suatu perkara –yang pada asalnya- mubah bisa menjadi amalan ketaatan jika seseorang meniatkannya sebagai amalan kebaikan. Misalnya, ia meniatkan makan dan minumnya untuk menambah kekuatan dalam menjalankan ketaatan kepada Allah. Oleh karena itu, Nabi bersabda,

“Makan sahurlah, sesungguhnya pada makanan sahur itu terdapat berkah.” (Shahih: dikeluarkan oleh Al Bukhari di dalam [Ash Shaum/1923/Fath], Muslim di dalam [Ash Shiyam/1095/Abdul Baqi])

Faedah laim dari hadits ini adalah: Seorang pengajar sepatutnya memberikan perumpamaan yang dapat memperjelas suatu hukum. Nabi telah memberikan perumpamaan dalam hal ini dengan hijrah. Hijrah ialah berpindah dari negeri kesyirikan ke negeri Islam. Dan beliau pun menjelaskan bahwa hijrah adalah amalan yang bisa menjadi pahala ataupun keterhalangan (memperoleh pahala) bagi orang yang melakukannya. Seorang yang berhijrah kepada Allah dan rasul-Nya diberi pahala dan akan sampai pada apa yang diinginkannya. Sedangkan orang yang berhijrah karena dunia yang ingin ia dapatkan atau wanita yang ingin ia nikahi, maka ia terhalang mendapatkan pahala ini.

Hadits ini selain masuk dalam pembahasan ibadah, masuk pula dalam pembahasan muamalah, pernikahan, dan dalam pembahasan fiqih lainnya.

Minggu, 26 Februari 2012

KONSEP IBADAH DALAM ISLAM



Hidup manusia dibumi ini bukanlah suatu kehidupan yang tidak mempunyai tujuan dan matlamat dan bukanlah mereka boleh melakukan sesuatu mengikut kehendak perasaan dan keinginan tanpa ada batas dan tanggungjawab.

Tetapi penciptaan makhluk manusia di bumi ini adalah mempunyai suatu tujuan dan tugas risalah yang telah ditentu dan ditetapkan oleh Allah Tuhan yang menciptanya....

Tugas dan tanggungjawab manusia sebenarnya telah nyata dan begitu jelas sebagaimana terkandung di dalam al-Quran iaitu tugas melaksanakan ibadah mengabdikan diri kepada Allah dan tugas sebagai khalifah-Nya dalam makna mentadbir dan mengurus bumi ini mengikut undang-undang Allah dan peraturan- Nya. Firman Allah swt. maksudnya:

“Dan Aku Tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah (menyembah) kepada Ku”. (Az-Zaariyaat: 56)

Firman Allah swt. bermaksud:

“Dan Dialah yang menjadikan kamu khalifah (penguasa-penguasa) di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebaha-gian (yang lain) beberapa darjat untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu”. (al-An’aam: 165)

Tugas sebagai khalifah Allah ialah memakmurkan bumi ini dengan mentadbir serta mengurusnya dengan peraturan dan undang-undang Allah. Tugas beribadah dan mengabdi diri kepada Allah dalam rangka melaksanakan segala aktiviti pengurusan bumi ini yang tidak terkeluar dari garis panduan yang datang dari Allah swt. dan dikerjakan segala kegiatan pengurusan itu dengan perasaan ikhlas kerana mencari kebahagian dunia dan akhirat serta keredaan Allah.

Allah swt. telah menyediakan garis panduan yang lurus dan tepat kepada manusia dalam rangka pengurusan ini. Allah dengan rasa kasih sayang yang bersangatan kepada manusia diturunkannya para rasul dan bersamanya garis panduan yang diwahyukan dengan tujuan supaya manusia itu boleh mengurus diri mereka dengan pengurusan yang lebih sempurna dan bertujuan supaya manusia itu dapat hidup sejahtera dunia dan akhirat.

Pengertian Ibadah

Kalimat ibadah berasal daripada kalimat `abdun’. Ibadah dari segi bahasa bererti patuh, taat, setia, tunduk, menyembah dan memperhambakan diri kepada sesuatu.

Dari segi istilah agama Islam pula ialah tindakan, menurut, mengikut dan mengikat diri dengan sepenuhnya kepada segala perkara yang disyariatkan oleh Allah dan diserukan oleh para Rasul-Nya, sama ada ia berbentuk suruhan atau larangan.

Ibnu Taimiah pula memberi takrif Ibadah, iaitu nama bagi sesuatu yang disukai dan kasihi oleh Allah swt.

Perintah Allah dan Rasul-Nya ini hendaklah ditunaikan dengan perasaan penuh sedar, kasih dan cinta kepada Allah, bukan kerana terpaksa atau kerana yang lain dari cintakan kepada-Nya.

Para Nabi dan Rasul merupakan hamba Allah yang terbaik dan sentiasa melaksanakan ibadah dengan penuh kesempurnaan di mana setiap arahan Tuhannya, mereka patuhi dengan penuh perasaan cinta dan kasih serta mengharap keredaan dari Tuhannya. Mereka menjadi contoh teladan yang paling baik kepada kita semua dalam setiap pekerjaan dan amalan sebagaimana yang dianjurkan oleh al-Quran itu sendiri.

Firman Allah swt. maksudnya:

“Sesungghnya bagi mu, apa yang ada pada diri Rasulullah itu contoh yang paling baik”. (al-Ahzab: 21)

Sesetengah ulama mengatakan bahawa perhambaan (ibadah) kepada Allah hendaklah disertai dengan perasaan cinta serta takut kepada Allah swt. dan hati yang sihat dan sejahtera tidak merasa sesuatu yang lebih manis, lebih lazat, lebih seronok dari kemanisan iman yang lahir dari pengabdian (ibadah) kepada Allah swt. Dengan ini maka akan bertautlah hatinya kepada Allah dalam keadaan gemar dan reda terhadap setiap perintah serta mengharapkan supaya Allah menerima amalan yang dikerjakan dan merasa bimbang serta takut kalau-kalau amalan tidak sempurna dan tidak diterima oleh Allah seperti yang ditegaskan dalam firman-Nya yang bermaksud:

“(Ia itu) Oran yang takut kepada Tuhan yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat”. (Qaf: 33)

Orang yang memperhambakan dirinya (beribadah) kepada Allah mereka akan sentiasa patuh dan tunduk kepada kehendak dan arahan Tuhannya, sama ada dalam perkara yang ia suka atau yang ia tidak suka dan mereka mencintai dan mengasihi Allah dan Rasul-Nya lebih dari yang lain-lainnya. Mereka mengasihi makhluk yang lain hanyalah kerana Allah semata-mata, tidak kerana yang lain Kasihkan kepada Rasulullah saw. pula kerana ia membawa Risalah Islam, cintakan kepada Rasulullah saw. hendaklah mengikuti sunahnya sebagaimana firman Allah swt. maksudnya:

“Katakanlah (wahai Muhammad) sekiranya kamu kasihkan Allah maka ikutilah aku (pengajaranku) nescaya Allah akan mengasihi kamu dan mengampunkan dosa- dosa kamu”. (Al-Imran: 31)

Dan andainya kecintaan kamu kepada selain Allah dan Rasul-Nya itu mengatasi dan melebihi dari kencintaan dan kasih kepada yang lain; Allah akan turunkan keseksaan-Nya kepada manusia yang telah meyimpang dari ketentuan-Nya. Firman Allah swt. maksudnya:

“Katakanlah (Muhammad) jika ibu bapa kamu, anak-anak kamu, saudara mara kamu, suami isteri kamu, kaum keluarga kamu, harta benda yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu bimbangkan kerugiannya, dan rumahtangga yang kamu sukai itu lebih kamu kasihi daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad untuk agama Allah, maka tunggulah (kesiksaan yang akan didatangkan) oleh Allah. Dan Allah tidak memberi hidayah kepada orang-orang fasik”. (At-Taubah: 24)

Ruang lingkup Ibadah dan Hubunganya dengan kehidupan

Sebgaimana yang dijelaskan di atas nyatalah ibadah itu itu bukanlah sesempit apa yang difahami oleh sebahagian dari kalangan manusia yang tidak dapat memahami kesempurnaan Islam itu sendiri di mana pada anggapan mereka Islam itu hanya suatu perbicaraan pasal akhirat (mati) dan melakukan beberapa jenis ibadah persendirian tidak lebih dari itu. Begitu juga bila disebut ibadah apa yang tergambar hanyalah masjid, tikar sembahyang, puasa, surau, tahlil, membaca al-Quran, doa, zikir dan sebagainya iaitu kefahaman sempit disekitar ibadah-ibadah khusus dan ritual sahaja tidak lebih dari itu. Kefahaman seperti ini adalah akibat dari serangan fahaman Sekular yang telah berakar umbi ke dalam jiwa sebahagian dari kalangan orang-orang Islam.

Islam adalah suatu cara hidup yang lengkap dan sempurna, yang merangkumi semua bidang kehidupan dunia dan akhirat, di mana dunia merupakan tanaman atau ladang yang hasil serta keuntungannya akan dituai dan dinikmati pada hari akhirat kelak.

Ibadah dalam Islam meliputi semua urusan kehidupan yang mempunyai paduan yang erat dalam semua lapangan hidup dunia dan akhirat, tidak ada pemisahan antara kerja-kerja mencari kehidupan di muka bumi ini dan hubungannya dengan balasan akhirat. Islam mengajarkan kepada kita setiap apa juga amalan yang dilakukan oleh manusia ada nilai dan balasan sama ada pahala atau siksa. Inilah keindahan Islam yang disebut sebagai ad-Deen yang lengkap sebagai suatu sistem hidup yang boleh memberi kesejahteraan hidup penganutnya di dunia dan di akhirat.

Dengan kata lain setiap amalan atau pekerjaan yang membawa manfaat kepada individu dan masyarakat selama ia tidak bercanggah dengan syarak jika sekiranya ia memenuhi syarat-syaratnya, seperti dikerjakan dengan ikhlas kerana Allah semata-mata bukan kerana mencari kepentingan dan mencari nama serta ada niat mengharapkan balasan dari manusia atau ingin mendapat pujian dan sanjungan dari manusia; maka amalan-amalan yang demikian akan mejadi ibadah yang diberi pahala di sisi Allah swt di akhirat kelak, insya’-Allah.

Berdasarkan kepada konsep ibadah tersebut maka setiap perbuatan pertolongan baik kepada orang lain seperti membantu orang sakit, tolong merengankan beban dan kesukaran hidup orang lain, memenuhi keperluannya, menolong orang yang teraniaya, mengajar dan membimbing orang yang jahil adalah ibadah.

Termasuk juga dalam makna ibadah ialah setiap perbuatan, perkataan manusia zahir dan batin yang disukai dan diredai oleh Allah swt. Bercakap benar, taat kepada ibu bapa, amanah, menepati janji, berakata benar, memenuhi hajat keperluan orang lain adalah iabadah.

Menuntut ilmu, menyuruh perkara kebaikan dan mencegah segala kejahatan, berjihad, memberi pertolongan kepada sesama manusia, dan kepada binatang, berdoa, puasa, sembahyang, membaca al-Quran semuanya itu juga adalah sebahagian dari ibadah.

Begitu juga termasuk dalam pengertian ibadah cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, melaksanakan hukum-hukum Allah, sabar menerima ujian, bersyukur menerima nikmat, reda terhadap qadha’ dan qadar-Nya dan banyak lagi kegiatan dan tindakan manusia yang termasuk dalam bidang ibadah.

Kesimpulannya ruanglingkup ibadah dalam Islam adalah terlalu terlalu luas yang merangkumi semua jenis amalan dan syiar Islam dari perkara yang sekecil-kecilnya seperti cara makan, minum dan masuk ketandas hinggalah kerja-kerja menguruskan kewangan dan pentadbiran negara semuanya adalah dalam makna dan pengertian ibadah dalam ertikata yang luas apabila semuanya itu dikerjakan dengan sebaik-baiknya dengan menurut adab dan peraturan serta memenuhi syarat-syaratnya.

Hubungan Iman dan Amal

Iman bukanlah sekadar suatu keyakinan dan pembenaran dalam hati terhadap apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. tetapi iman yang hakiki dan sebenar ialah merangkumi pembenaran dan keyakinan di dalam hati, pengucapan di lidah serta melaksanakan amalan dengan anggota badan iaitu melakukan amalan soleh, maka dengan ini dapatlah difahami iman itu bukanlah sekadar ucapan lidah dan keyakinan dalam hati sahaja tetapi amalan merupakan sebagai bukti kesempurnaan, keteguhan dan kemantapan iman seseorang.

Imam al-Ghazali menjelaskan dalam hubungan ini dengan katanya:

“Iman itu ialah akidah, perkataan dan perbuatan”.

Dengan makna akidah itu sebagai membenarkan dan mepercayai dengan hati kepada segala yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. (perkara yang mudah (dharuri) dari agama). Perkataan adalah sebagai ikrar dan pengakuan dengan lisan dan perbuatan adalah sebagai beramal melaksanakan segala perintah Allah dengan anggota (badan yang lahir).

Hadis Rasulullah saw. menguatkan adanya hubungan yang sangat erat di antara iman dan amal. dengan sabdanya sebagai berikut: Sabda Rasulullah saw. maksudnya:

“Iman itu lebih dari enam puluh cabang; yang paling tingginya La-Ilaaha-Illallaah dan dan yang paling rendahnya membuang sampah dari tengah jalan”. (H.R.Bukhari)

Hadis ini menyatakan dengan jelas perbuatan membuang sampah sebagai sebahagian dari iman. Ini bermkna iman itu jelas bukan sekadar keyakinan dan kepercayaan dalam hati tetapi ia juga merangkumi amal atau perbuatan manusia.

Pembahagian Ibadah

Untuk memudahkan bahasan dan perbincangan kita berhubung dengan ibadah ini, ulamak-ulamak Islam membahagikan ibadah kepada dua bahagian sebagai berikut:

1. Ibadah khusus

2. Ibadah Umum

Ibadah khusus ialah semua amalan yang tercantum dalam bab al-Ibadaat yang utamanya ialah sembahyang, puasa, zakat dan haji.

Ibadah Umum pula ialah segala amalan dan segala perbuatan manusia serta gerak-geri dalam kegiatan hidup mereka yang memenuhi syarat-syarat berikut:

1) Amalan yang dikerjakan itu di akui oleh syarak dan sesuai dengan Islam.

2) Amalan tersebut tidak bercanggah dengan syariat, tidak zalim, khianat dan sebagainya

3) Amalan tersebut dikerjakan dengan niat ikhlas semata-mata keranaAllah swt. tidak riak, ujub dan um’ah.

4) Amalan itu hendaklah dikerjakan dengan sebaik-baiknya

5) Ketika mengerjakan amalan tersebut tidak lalai atau mengabaikan kewajipan ibadah khusus seperti sembahyang dan sebagainya.

Firman Allah swt. maksudnya:

“Lelaki yang tidak dilalaikan mereka oleh perniagaan atau jual beli dari mengingati Allah, mendirikan sembahyang dan mengeluarkan zakat mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang”. (An-Nur: 37)

Amalan-Amalan yang Tidak Menjadi Ibadah

Dilihat dari syarat-syarat di atas, nampaklah kepada kita bahawa sesuatu amalan yang dikerjakan oleh seseorang begitu sukar sekali untuk mencapai kesempurnaan dalam makna ibadah dengan ertikata yang sebenar-benarnya mengikut syarat-syarat dan ketentuan tersebut di atas, oleh itu kita hendaklah bersungguh-sungguh dalam mengusahakan amalan kita supaya dapat mencapai matlamat ibadah yang sempurna dengan menyempurnakan segala syarat-syaratnya.

Dan kita hendaklah sentiasa meneliti dan memperhatikan dengan sungguh-sungguh agar kita tidak tertipu dengan amalan kita sendiri; dengan menyangka kita telah banyak melaksanakan amal ibadah dengan sempurna tetapi pada hakikatnya tidak demikian, kita takut akan tergolong ke dalam golongan manusia yang tertipu dan sia-sia amalan kita dan apa yang kita dapat hanyalah penat dan lelah. Ini kerana kita melakukan amalan dan kerja-kerja kebajikan itu tidak menepati dan tidak selari dengan ketentuan dan syarat-syarat ibadah dan amal soleh yang dikehandkki itu.

Dari itu disamping kita melaksanakan segala amalan zahir dengan sempurna mengikut petunjuk dari Rasulullah saw. apa yang lebih penting lagi ialah kita membetulkan amalan batin iaitu amalan hati supaya betul iaitu niat dengan ikhlas, amalan itu semata-mata kerana Allah tidak kerana yang lain dari-Nya. Dan kita juga hendaklah sentiasa menjaga keikhlasan hati kita ini dari penyakit-penyakit yang boleh merusakannya seperti riak, ujub, sum’ah, takabur dan sebagainya.

Kesimpulan secara mudah ialah seorang lelaki yang memakai pakaian untuk menutup aurat dari kain sutra, dan perempuan yang berpakaian meliputi badannya tetapi masih menampakan susuk badannya masih lagi tidak dinamakan ibadah, atau seorang menderma dengan tujuan supaya dipuji dan digelar sebagai dermawan atau seorang yang rajin bersembahyang dengan niat tujuan supaya digelar sebagai ahli ibadah oleh manusia; itu semua tidak termasuk dalam makna ibadah yang diterima oleh Allah swt.

Dengan demikian jelaslah kepada kita segala amalan yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas itu tidak dikira sebagai ibadah. Niat dan tujuan serta matlamat adalah sangat penting dalam sesuatu amalan di samping amalan tersebut tidak bercanggah serta diakui sah oleh syariat Islam.

Matalamat dan Tujuan Ibadah

Sebagaimana kita ketahui dan maklum bahawa pengutusan manusia ke dunia ini tidak lain melainkan untuk beribadah (memperhambakan diri) kepada al-Khaliq, Allah Yang Maha Pencipta dan juga kita telah mengetahui bahawa pengertian ibadah dalam Islam merangkumi semua bidang amalan dalam kehidupan manusia.

Dan di sini timbul pertanyaan kenapa kita mengabdi menyembah Allah dan apakah matlamat ibadah itu ? Apakah ada faedah untuk-Nya atau apa faedah yang boleh didapati oleh seseorang hamba yang menyembah-Nya ?

Jawapannya ialah bahawa Allah swt. Yang Maha Suci dan Maha Tinggi tidak mendapat sebarang faedah dari ketaatan orang yang menyembah-Nya dan tidak memberi mudarat sedikitpun dari keengganan orang yang menentang dan engkar kepada perintah-Nya.

Begitu juga tidak menambahkan kuasa keagungan pemerintahan-Nya oleh puji-pujian orang yang memuji-Nya dan tidak mengurangi keagungan kekuasaan-Nya oleh keengkaran orang-orang yang mengengkari perintah-Nya.

Ini kerana Allah Maha Kaya dan mempunyai segala-galanya kerana semua yang ada di alam ini menjadi milik-Nya belaka sedangkan kita manusia adalah satu dari makhluk Allah yang banyak itu, makhluk manusia ini terlalu kecil, hina dan miskin, serba kekurangan dan sentiasa berhajat dan memerlukan kepada-Nya.

Allah, Dialah Tuhan Maha Pemurah, Maha Mulia, Maha Penyayang serta bersifat Maha Memberi kepada semua makhuk-Nya dan Dia tidak menyuruh kita mengerjakan sesuatu melainkan perkara itu mendatangkan kebaikan bagi makhluk itu sendiri.

Firman Allah swt. maksudnya:

“Sesungguhnya Kami telah kurniakan hikmat (ilmu pengetahuan) kepada Luqman supaya dia bersyukur kepada Allah dan sesiapa yang bersyukur, sebenarnya dia bersyukur dagi faedah dirinya sendiri dan sesiapa yang ingkar, sesungghnya Allah Maha Kaya lagi Terpuji”. (Luqman: 12)

Dari itu kita wajiblah mensyukuri segala nikmat dan kurniaan Allah swt. kepada kita semua yang mana sekiranya kita hendak menghitugnya sudah tentu kita tidak mampu untuk berbuat demikian, begitulah besar dan banyaknya pemberian Allah kepada kita semua sebagai makhluk-Nya.

Kelazatan Bermunajat dan Mentaati Allah

Kelazatan beribadah ini dapat digambarkan dari beberapa peristiwa yang berlaku kepada baginda Rasulullah saw. para sahabat, tabi’in dan para solihin, kelazatan ini akan timbul apabila adanya hubungan hamba dengan Tuhannya yang begitu erat dan di mana seorang hamba begitu gembira dan begitu senang memuji-muji kebesaran Allah swt. ini semua berlaku dari sebab makrifat-nya (kenalnya) seseorang hamba itu kepada

Tuhannya sehingga hamba itu merasa rindu apabila ia tidak dapat menghadap Tuhannya, dan merasa gelisah kerana tidak dapat bertemu dengan yang dicintai dan dikasihinya. B begitu juga apabila seorang hamba mengalami sedikit kesusahan tentulah ia akan mengadu ketempat yang dapat menerima pengaduan dan boleh menyelesaikan masalah dan kesusahannya. Tiada tempat yang layak untuk berbuat demikian melainkan kepada Yang Maha Agung dan Maha Berkuasa.

Firman Allah swt. maksudnya:

“Demi sesungguhnya Kami mengetahui bahawa engkau (Muhammad) bersusah hati dengan apa yang mereka katakan maka hendaklah engkau bertasbih memuji Tuhanmu serta jadilah dari golongan orang-orang yang sujud beribadah dan sembahlah Tuhanmu sehingga tiba kepadmu perkara yang tetap (iaitu mati)”. (al-Hijr: 97-99)

Begitu juga di waktu orang-orang mukmin mendapat kurnia ia bersyukur seterusnya memuji kepada Allah swt. Firman Allah swt. maksudnya:

“Bila datang pertolongan Allah dan kemenangan (pembukaan Makkah) dan engkau lihat manusia berduyun-duyun masuk agama Allah swt. maka ucapkanlah tasbih dengan memuji Tuhanmu dan mintalah ampun kepada-Nya, sesungguhnya Dia suka menerima taubat”. (an-Nasr: 1-4)

Ibadah Hanya Untuk Allah

Pada hakikatnya pengabdian terhadap Allah swt. merupakan suatu kebebasan yang hakiki, jalan bagi mencapai kepada ketuannan yang sejati, kerana Allahlah yang boleh membebaskan hati nurani manusia dari perhambaan kepada sebarang makhluk dan memerdekakannya dari perhambaan dan kehinaan serta tunduk kepada yang lain dari Allah seperti tunduk kepada Tuhan-Tuhan palsu, berhala, manusia yang selalunya memperhamba dan mengongkong keyakinan manusia dengan sekuat-kuatnya miskipun pada lahirnya mereka bertindak seperti tuan yang bebas dan merdeka.

Perhambaan diri kepada Allah itu membebaskan manusia daripada perhambaan sesama makhluk kerana dalam hati manusia ada keperluan sejati kepada Allah, kepada Tuhan yang disembah yang mana dia bergantung kepadanya dan berusaha serta bekerja untuk mencapai keredaan-Nya. Jika yang disembah itu bukan Allah Yang Maha Esa tentulah manusia akan meraba-raba meyembah bermacam-macam Tuhan dari setiap objek benda dan khayalan yang ada dalam pemikiran dan yang berada di sekeliling mereka.

Tidak ada sesuatu pekerjaan yang paling mulia bagi manusia yang berakal selain dari beribadah menyembah Allah yang menciptanya dan menjadikan dirinya dengan sebaik-baiknya dan perkerjaan yang seburuk-buruknya kepada seorang manusia itu pula ialah menafi dan mendustakan Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka menyembah dan mengabdikan diri mereka kepada Tuhan yang lain dari Allah swt.

Seorang hamba abdi yang taat kepada tuannya tentulah akan merasa senang dan gembira kerana ia tahu apa yang disukai oleh tuannya lalu disempurnakannya suruhan itu dengan segala senang hati dan disempurnakan dengan sebaik-baiknya. Manakala seorang hamba yang dimiliki oleh beberapa orang tuan selalu bertelingkah antara sesama mereka; yang satu menyuruh hamba itu melakukan sesuatu yang ditegah oleh yang lain, maka alangkah susah dan deritanya hamba tersebu itu untuk melakukan perintah-perintah Tuhan yang saling bertentangan perintahnya antara satu Tuhan dengan Tuhan yang lain.

Kalau orang yang menyembah selain dari Allah menjadi musyrik (kafir di- sebabkan ia melakukan perbuatan syirik), maka begitulah juga orang yang takabur menjadi musyrik (orang syirik), sebagaimana Firaun kerana kesombongan dan takaburnya, sebagaimana firman Allah swt. bermaksudnya:

“Nabi Musa as. berkata: “Sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhanku dan Tuhan kamu daripada perbuatan orang yang takabur yang tidak percaya hari Perhitungan”, demikianlah Allah meterikan setiap hati orang yang takabur lagi bermaharajalela”. (al-A’raf: 27)

Kajian menunjukan bahawa semakin besar keangkuhan seseorang yang enggan tunduk dan patuh beribadah (mengabdi diri) kepada Allah, semakin besar kesyirikannya dengan Allah, Kerana menurut kebiasaannya semakin banyak takabur tidak mahu menyembah Allah semakin bertambahlah pergantungan manusia itu terhadap makhluk yang dicintainya yang menjadi pujaan utama bagi hatinya; yang demikian mereka akan menjadi musyrik dengan sebab menjadikan dirinya hamba (menyembah) kepada selain dari Allah swt.

Hati atau keyakinan manusia tidak akan terlepas dari perhambaan kepada makhluk kecuali mereka menjadikan Allah sebagai Tuhannya yang sebenar dan sejati, tiada Tuhan yang disembah melainkan Allah, tiada tempat bergantung dan meminta pertolongan melainkan dari-Nya, Tidak merasa gembira melainkan dengan apa yang disukai dan diredai-Nya, Tidak ia benci melainkan apa yang dibenci oleh Allah, tidak ia memusuhi kecuali orang yang Allah memusuhinya, tidak ia kasih melainkan kepada orang yang di kasihi oleh Allah, tidak ia memberi kecuali kerana Allah dan tidak ia melarang kecuali kerana Allah.

Semakin tulus keikhlasan seseorang itu kepada Allah maka semakin sempurnalah ubudiyahnya (perhambaanya) kepada Allah dan terlepas dari pergantungannya kepada sesama makhluk, dengan sempurna ubudiyahnya kepada Allah maka sempurnalah kesuciannya dari sifat syirik.

Tidak Harus Kepentingan Dunia Dijadikan Tujuan Ibadah

Samasekali tidak sesuai dengan tujuan Islam yang suci di mana tujuan atau kepentingan dunia menjadi matlamat dalam amalan atau ibadah seseorang, ataupun kepentingan dunia atau faedah-faedah dunia menjadi pendorong seseorang untuk melakukan printah ibadah kepada Allah swt.

Begitu juga kalau tujuan beramal dan beribadah kepada Allah swt. untuk mendapatkan kesucian jiwa dan dengan itu dapat mengembara ke alam arwah dan dapat melihat malaikat serta dapat melakukan sesuatu yang luar biasa, mendapat keramat (kemuliaan) dan ilmu ladunni.

Semuanya ini disangkal oleh para ulamak dengan katanya: “Yang demikian adalah terkeluar daripada jalan ibadah, Ia merupakan ramalan kepada ilmu atau perkara ghaib, malah akan menjadi ibadah kepada Allah itu sebagai jalan menuju ke arah demikian yang mana pada akhirnya lebih hampir kepada meninggal ibadah.”Orang-orang yang beribadah dengan maksud yang demikian termasuk di bawah pengertian ayat al-Quran yang maksudnya:

“Sebahagian daripada manusia yang menyembah Allah secara tidak tetap, bila mendapat kebaikan dia teruskan dan bila terkena kesusahan dia berpaling tadah. Rugilah dia di dunia dan di akhirat. Itulah kerugian yang amat nyata”. (al-Hajj: 11)

Begitulah keadaan orang yang beribadah dengan tujuan mendapatkan faedah-faedah dunyawi jika sampai dan berhasil tujuan dan kehendaknya bergembiralah dia dan kuatlah tujuannya tetapi lemahlah ibadahnya jika tujuannya tidak berhasil dia meninggalkan ibadah itu.

Kesimpulan

Sebagaimana yang telah kita faham sebelum ini runglingkup ibadah itu adalah terlalu luas sebagaimana yang telah dijelaskan iaitu ibadah merupakan semua kegiatan hidup manusia itu sendiri yang sesuai dengan syariat Islam yang suci dan murni itu, oleh itu bolehlah difaham ibadah dalam Islam bermula sejak dari adab-adab masuk ketandas mengerjakan qadha’ hajat hinggalah sampai kepada bagaimana cara mengurus kewangan dan mentadbir negara.

Kegiatan hidup manusia ini akan termasuk ke dalam makna ibadah yang diberi ganjaran dan pembalasan pahala baik di akhirat apabila ia menepati dengan kehendak syarak, tidak menyeleweng dari kehendak dan ketentuan Allah swt. dikerjakan mengikut peraturan dan syarat-syaratnya, disertai pula dengan niat yang betul dan ikhlas semata-mata dilakukan kerana mencari keredaan Allah swt. tidak kerana yang lain dari-Nya, menghindarkan diri dari perasaan riak, (menunjuk-nunjuk), ingin dipuji dan terkenal sebagai orang yang rajin, tekun, orang baik dan ingin disebut-sebut sebagai ahli ibadah oleh orang ramai dan juga suka berbangga dengan memberi tahu kepada orang lain akan amal kebajikannya. Ia juga hendaklah menghindarkan diri dari merasa bangga kerana ia telah banyak berbuat kebajikan dan berbuat amal ibadah.

Oleh itu ibadah dalam Islam bukanlah terhad kepada amalan-amalan ibadah yang ritual semata-mata seperti sembahyang, zikir, puasa, haji dan sebagainya yang disebut sebagai ibadah khusus, tetapi ibadah merangkumi, kerja-kerja kemasyarakatan dan sosial, mencari rezki, sahinggalah kepada mengurus dan mentadbir negara; semuanya itu akan menjadi ibadah sekiranya ia dilakukan menurut cara dan kehendak Islam serta niat dari hati yang ikhlas semata-mata kerana Allah swt.

Wallahu a’lam.

***&&***


kamasutra dalam islam



Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Sebagai bagian dari fitrah kemanusiaan, Islam tidak pernah memberangus hasrat seksual. Islam memberikan panduan lengkap agar seks bisa tetap dinikmati seorang muslim tanpa harus kehilangan ritme ibadahnya.
...
Bulan Syawal, bagi umat Islam Indonesia, bisa dibilang sebagai musim kawin. Anggapan ini tentu bukan tanpa alasan. Kalangan santri dan muhibbin biasanya memang memilih bulan tersebut sebagai waktu untuk melangsungkan aqad nikah.
Kebiasaan tersebut tidak lepas dari anjuran para ulama yang bersumber dari ungkapan Sayyidatina Aisyah binti Abu Bakar Shiddiq yang dinikahi Baginda Nabi pada bulan Syawwal. Ia berkomentar,
“Sesungguhnya pernikahan di bulan Syawwal itu penuh keberkahan dan mengandung banyak kebaikan.”

Namun, untuk menggapai kebahagiaan sejati dalam rumah tangga tentu saja tidak cukup dengan menikah di bulan Syawwal. Ada banyak hal yang perlu dipelajari dan diamalkan secara seksama oleh pasangan suami istri agar meraih ketentraman (sakinah), cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah), baik lahir maupun batin. Salah satunya dan yang paling penting adalah persoalan hubungan intim atau dalam bahasa fiqih disebut jima’.

Sebagai salah tujuan dilaksanakannya nikah, hubungan intim –menurut Islam– termasuk salah satu ibadah yang sangat dianjurkan agama dan mengandung nilai pahala yang sangat besar. Karena jima’ dalam ikatan nikah adalah jalan halal yang disediakan Allah untuk melampiaskan hasrat biologis insani dan menyambung keturunan bani Adam.

Selain itu jima’ yang halal juga merupakan ibadah yang berpahala besar. Rasulullah SAW bersabda, “Dalam kemaluanmu itu ada sedekah.” Sahabat lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita mendapat pahala dengan menggauli istri kita?.” Rasulullah menjawab, “Bukankah jika kalian menyalurkan nafsu di jalan yang haram akan berdosa? Maka begitu juga sebaliknya, bila disalurkan di jalan yang halal, kalian akan berpahala.” (HR. Bukhari, Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah)

Karena bertujuan mulia dan bernilai ibadah itu lah setiap hubungan seks dalam rumah tangga harus bertujuan dan dilakukan secara Islami, yakni sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan sunah Rasulullah SAW.

Hubungan intim, menurut Ibnu Qayyim Al-Jauzi dalam Ath-Thibbun Nabawi (Pengobatan ala Nabi), sesuai dengan petunjuk Rasulullah memiliki tiga tujuan: memelihara keturunan dan keberlangsungan umat manusia, mengeluarkan cairan yang bila mendekam di dalam tubuh akan berbahaya, dan meraih kenikmatan yang dianugerahkan Allah.

Ulama salaf mengajarkan, “Seseorang hendaknya menjaga tiga hal pada dirinya: Jangan sampai tidak berjalan kaki, agar jika suatu saat harus melakukannya tidak akan mengalami kesulitan; Jangan sampai tidak makan, agar usus tidak menyempit; dan jangan sampai meninggalkan hubungan seks, karena air sumur saja bila tidak digunakan akan kering sendiri.

Wajahnya Muram

Muhammad bin Zakariya menambahkan, “Barangsiapa yang tidak bersetubuh dalam waktu lama, kekuatan organ tubuhnya akan melemah, syarafnya akan menegang dan pembuluh darahnya akan tersumbat. Saya juga melihat orang yang sengaja tidak melakukan jima’ dengan niat membujang, tubuhnya menjadi dingin dan wajahnya muram.”

Sedangkan di antara manfaat bersetubuh dalam pernikahan, menurut Ibnu Qayyim, adalah terjaganya pandangan mata dan kesucian diri serta hati dari perbuatan haram. Jima’ juga bermanfaat terhadap kesehatan psikis pelakunya, melalui kenikmatan tiada tara yang dihasilkannya.

Puncak kenikmatan bersetubuh tersebut dinamakan orgasme atau faragh. Meski tidak semua hubungan seks pasti berujung faragh, tetapi upaya optimal pencapaian faragh yang adil hukumnya wajib. Yang dimaksud faragh yang adil adalah orgasme yang bisa dirasakan oleh kedua belah pihak, yakni suami dan istri.

Mengapa wajib? Karena faragh bersama merupakan salah satu unsur penting dalam mencapai tujuan pernikahan yakni sakinah, mawaddah dan rahmah. Ketidakpuasan salah satu pihak dalam jima’, jika dibiarkan berlarut-larut, dikhawatirkan akan mendatangkan madharat yang lebih besar, yakni perselingkuhan. Maka, sesuai dengan prinsip dasar islam, la dharara wa la dhirar (tidak berbahaya dan membahayakan), segala upaya mencegah hal-hal yang membahayakan pernikahan yang sah hukumnya juga wajib.

Namun, kepuasan yang wajib diupayakan dalam jima’ adalah kepuasan yang berada dalam batas kewajaran manusia, adat dan agama. Tidak dibenarkan menggunakan dalih meraih kepuasan untuk melakukan praktik-praktik seks menyimpang, seperti anu (liwath) yang secara medis telah terbukti berbahaya. Atau penggunaan kekerasaan dalam aktivitas seks (mashokisme), baik secara fisik maupun mental, yang belakangan kerap terjadi.

Maka, sesuai dengan kaidah ushul fiqih “ma la yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajibun” (sesuatu yang menjadi syarat kesempurnaan perkara wajib, hukumnya juga wajib), mengenal dan mempelajari unsur-unsur yang bisa mengantarkan jima’ kepada faragh juga hukumnya wajib.

Bagi kaum laki-laki, tanda tercapainya faragh sangat jelas yakni ketika jima’ sudah mencapai fase ejakulasi atau keluar mani. Namun tidak demikian halnya dengan kaum hawa’ yang kebanyakan bertipe “terlambat panas”, atau –bahkan— tidak mudah panas. Untuk itulah diperlukan berbagai strategi mempercepatnya.
Dan, salah satu unsur terpenting dari strategi pencapaian faragh adalah pendahuluan atau pemanasan yang dalam bahasa asing disebut foreplay (isti’adah). Pemanasan yang cukup dan akurat, menurut para pakar seksologi, akan mempercepat wanita mencapai faragh.

Karena dianggap amat penting, pemanasan sebelum berjima’ juga diperintahkan Rasulullah SAW. Beliau bersabda,

“Janganlah salah seorang di antara kalian menggauli istrinya seperti binatang. Hendaklah ia terlebih dahulu memberikan pendahuluan, yakni ciuman dan cumbu rayu.” (HR. At-Tirmidzi).

Ciuman dalam hadits diatas tentu saja dalam makna yang sebenarnya. Bahkan, Rasulullah SAW, diceritakan dalam Sunan Abu Dawud, mencium bibir Aisyah dan mengulum lidahnya. Dua hadits tersebut sekaligus mendudukan ciuman antar suami istri sebagai sebuah kesunahan sebelum berjima’.

Ketika Jabir menikahi seorang janda, Rasulullah bertanya kepadanya, “Mengapa engkau tidak menikahi seorang gadis sehingga kalian bisa saling bercanda ria? …yang dapat saling mengigit bibir denganmu.” HR. Bukhari (nomor 5079) dan Muslim (II:1087).

Bau Mulut

Karena itu, pasangan suami istri hendaknya sangat memperhatikan segala unsur yang menyempurnakan fase ciuman. Baik dengan menguasai tehnik dan trik berciuman yang baik, maupun kebersihan dan kesehatan organ tubuh yang akan dipakai berciuman. Karena bisa jadi, bukannya menaikkan suhu jima’, bau mulut yang tidak segar justru akan menurunkan semangat dan hasrat pasangan.

Sedangkan rayuan yang dimaksud di atas adalah semua ucapan yang dapat memikat pasangan, menambah kemesraan dan merangsang gairah berjima’. Dalam istilah fiqih kalimat-kalimat rayuan yang merangsang disebut rafats, yang tentu saja haram diucapkan kepada selain istrinya.

Selain ciuman dan rayuan, unsur penting lain dalam pemanasan adalah sentuhan mesra. Bagi pasangan suami istri, seluruh bagian tubuh adalah obyek yang halal untuk disentuh, termasuk kemaluan. Terlebih jika dimaksudkan sebagai penyemangat jima’. Demikian Ibnu Taymiyyah berpendapat.

Syaikh Nashirudin Al-Albani, mengutip perkataan Ibnu Urwah Al-Hanbali dalam kitabnya yang masih berbentuk manuskrip, Al-Kawakbu Ad-Durari,

“Diperbolehkan bagi suami istri untuk melihat dan meraba seluruh lekuk tubuh pasangannya, termasuk kemaluan. Karena kemaluan merupakan bagian tubuh yang boleh dinikmati dalam bercumbu, tentu boleh pula dilihat dan diraba. Diambil dari pandangan Imam Malik dan ulama lainnya.”

Berkat kebesaran Allah, setiap bagian tubuh manusia memiliki kepekaan dan rasa yang berbeda saat disentuh atau dipandangi. Maka, untuk menambah kualitas jima’, suami istri diperbolehkan pula menanggalkan seluruh pakaiannya. Dari Aisyah RA, ia menceritakan, “Aku pernah mandi bersama Rasulullah dalm satu bejana…” (HR. Bukhari dan Muslim).

Untuk mendapatkan hasil sentuhan yang optimal, seyogyanya suami istri mengetahui dengan baik titik-titik yang mudah membangkitkan gairah pasangan masing-masing. Maka diperlukan sebuah komunikasi terbuka dan santai antara pasangan suami istri, untuk menemukan titik-titik tersebut, agar menghasilkan efek yang maksimal saat berjima’.

Diperbolehkan bagi pasangan suami istri yang tengah berjima’ untuk mendesah. Karena desahan adalah bagian dari meningkatkan gairah. Imam As-Suyuthi meriwayatkan, ada seorang qadhi yang menggauli istrinya. Tiba-tiba sang istri meliuk dan mendesah. Sang qadhi pun menegurnya. Namun tatkala keesokan harinya sang qadhi mendatangi istrinya ia justru berkata, “Lakukan seperti yang kemarin.”

Satu hal lagi yang menambah kenikmatan dalam hubungan intim suami istri, yaitu posisi bersetubuh. Kebetulan Islam sendiri memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada pemeluknya untuk mencoba berbagai variasi posisi dalam berhubungan seks. Satu-satunya ketentuan yang diatur syariat hanyalah, semua posisi seks itu tetap dilakukan pada satu jalan, yaitu farji. Bukan yang lainnya.

Allah SWT berfirman,

“Istri-istrimu adalah tempat bercocok tanammu, datangilah ia dari arah manapun yang kalian kehendaki.” QS. Al-Baqarah (2:223).

Posisi Ijba’

Menurut ahli tafsir, ayat ini turun sehubungan dengan kejadian di Madinah. Suatu ketika beberapa wanita Madinah yang menikah dengan kaum muhajirin mengadu kepada Rasulullah SAW, karena suami-suami mereka ingin melakukan hubungan seks dalam posisi ijba’ atau tajbiyah.

Ijba adalah posisi seks dimana lelaki mendatangi farji perempuan dari arah belakang. Yang menjadi persoalan, para wanita Madinah itu pernah mendengar perempuan-perempuan Yahudi mengatakan, barangsiapa yang berjima’ dengan cara ijba’ maka anaknya kelak akan bermata juling. Lalu turunlah ayat tersebut.

Terkait dengan ayat 233 Surah Al-Baqarah itu Imam Nawawi menjelaskan, “Ayat tersebut menunjukan diperbolehkannya menyetubuhi wanita dari depan atau belakang, dengan cara menindih atau bertelungkup. Adapun menyetubuhi melalui dubur tidak diperbolehkan, karena itu bukan lokasi bercocok tanam.” Bercocok tanam yang dimaksud adalah berketurunan.

Muhammad Syamsul Haqqil Azhim Abadi dalam ‘Aunul Ma’bud menambahkan, “Kata ladang (hartsun) yang disebut dalam Al-Quran menunjukkan, wanita boleh digauli dengan cara apapun : berbaring, berdiri atau duduk, dan menghadap atau membelakangi..”

Demikianlah, Islam, sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, lagi-lagi terbukti memiliki ajaran yang sangat lengkap dan seksama dalam membimbing umatnya mengarungi samudera kehidupan. Semua sisi dan potensi kehidupan dikupas tuntas serta diberi tuntunan yang detail, agar umatnya bisa tetap bersyariat seraya menjalani fitrah kemanusiannya.

***&&***
Lihat Selengkapnya

7 Resep Mujarab Bagi Yang Kebelet Nikah Tapi Tak Mampu



Ada beberapa tipe manusia khususnya pria, yang sebenarnya sudah kebelet nikah, tapi tak mampu mewujudkannya. Ada pria yang sudah mapan dan berpenghasilan cukup, bahkan lebih, tapi soal urusan cinta, ia kurang beruntung. Berkali-kali pinangannya ditolak dengan berbagai alasan. Mulai dari wajah yang mungkin terlalu ”berkarakter”, sampai soal te...kstur dan gestur tubuh yang terlalu ”ideal”. Ada juga pria cukup mapan dalam soal pekerjaan, cinta juga sudah ia dapatkan, tapi restu orang tua belum turun juga. Itu karena si perempuan tersebut belum cukup umur. Ulfa, zaujah Syech Puji misalnya. Lalu ada tipe pria yang sudah tak punya penghasilan alias pengangguran, juga tak beruntung soal jodoh. Yang ini jelas keterlaluan, terang saja tak ada mertua yang mau mempunyai menantu pengangguran.

Dan banyak tipe pria lainnya yang kurang beruntung soal jodoh. Tapi tak usah minder. Apalagi resah. Tapi jangan juga dianggap remeh. Karena jebakan-jebakan untuk berbuat maksiat akan semakin meraja rela. Meradang dan menyerang bagi pria-pria malang tersebut. Sssttt … saya juga termasuk salah satu pria-pria malang tersebut!

Nah! Agar para manusia kurang beruntung tersebut dapat terhindar dari hal-hal yang tidak benar, maka cobalah 7 resep mujarab berikut. Resep ini juga berlaku untuk kaum hawa yang tak beruntung soal jodoh, dan ingin menjaga kehormatannya hingga Allah mempertemukannya dengan ”sang arjuna” hidupnya.
Ust. Anif Sirsaeba, MBQ secara khusus memberikan 7 resep ajaib tersebut, sebagaimana terurai lengkap dalam bukunya, Terapi Virus Merah Jambu. Sebenarnya ketujuh resep tersebut adalah bagian dari Terapi Kedua untuk menangkal energi negatif dari Virus Merah Jambu yang kian meresahkan.

Sebagaimana yang beliau tuturkan dalam buku tersebut:

Saudaraku tercinta, inilah terapi kedua bagi engkau yang tidak mampu menikah. Yakni hendaklah engkau menjaga kesucianmu sampai Allah memampukanmu melangsungkan pernikahan. ”Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)-nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya,” demikian Allah berfirman dalam QS. An-Nur [24]: 33.

Nah! Berikut 7 resep mujarab untuk menjaga kehormatan dan kesucian diri sampai Allah memampukan untuk melangsungkan pernikahan:

1. Hendaklah engkau rajin berpuasa, karena sesungguhnya puasa adalah benteng bagimu dan bisa menjauhkanmu dari neraka.
2. Hendaklah engkau rajin membaca dan merenungkan kandungan isi Al-Qur’an. Karena seesungguhnya Al-Qur’an adalah obat bagi segala macam penyakitmu.
3. Hendaklah engkau jaga dan engkau tundukkan pandanganmu. Karena sesungguhnya pandangan adalah anak panah iblis yang berbahaya.
4. Hendaklah engkau menjauhi segala hal yang mudah merangsang libido-seksmu.
5. Hendaklah engkau menjauhi pergaulan bebas, buruknya pertemanan, dan bergaullah hanya dengan teman-teman yang saleh saja.
6. Hendaklah engkau memanfaatkan waktu-waktu luangmu untuk hal-hal yang positif dan jauhilah pengangguran.
7. Hendaklah engkau selalu memohon pertolongan Allah. Karena tanpa pertolongan Allah, semuanya akan sia-sia belaka.

So, jangan tunda lagi ! Segera dicoba ! Dan jangan menyerah!

***&&***
Lihat Selengkapnya


Mengukur Rasa Cinta Kepada Allah SWT



Cinta ditilik dari sudut mana pun selalu menarik untuk dibahas. Sejarah mencatat bahwa sejumlah seniman, teolog, sampai filosof membicarakan cinta dari berbagai perspektifnya, baik dalam bentuk roman, puisi, syair, bahkan sampai dalam bentuk tulisan ilmiah yang bernuansa teologis, fenomenologis, psikologis, ataupun sosiologis.

Filsuf sekaliber Plato bahkan pe...rnah mengatakan siapa yang tidak terharu oleh cinta, berarti berjalan dalam gelap gulita.” Pernyataan ini menggambarkan betapa besar perhatian Plato pada masalah cinta, sampai-sampai dia menyebut orang yang tidak tertarik untuk membicarakannya sebagai orang yang berjalan dalam kegelapan.

Ericf Fromm, murid kesayangannya Sigmund Freud, menyebutkan empat unsur yang harus ada dalam cinta, yaitu: care (perhatian), responsibility (tanggung jawab), respect (rasa hormat), dan knowledge (pengetahuan).

Nah, sekarang bagaimana cara mengukur rasa cinta seorang hamba kepada Khalik-Nya. Ada beberapa indikator yang bisa dijadikan pegangan, yaitu:

1. Rindu bertemu dengan Allah

“Barangsiapa yang merindukan bertemu dengan Allah, maka Allah pun merindukan bertemu dengannya.” (H.R. Ahmad, Tirmudzi, Nasa’i)

2. Merasa nikmat berkhalwat (munajat/komunikasi dengan Allah)

“Shalat itu menjadi penyejuk hati.” (H.R. Ahmad, Nasa’i, Hakim)
“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” Q.S. As-Sajdah 16-17

3. Selalu sabar dalam mengarungi kehidupan (tangisan-ujian-kefanaan)
“Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” Q.S. An-Nahl 16: 96

· Sabar menghadapi nafsu syahwat, seperti Nabi Yusuf a.s.
· Sabar menghadapi istri, seperti Nabi Nuh a.s.
· Sabar menghadapi suami seperti Asyiah istri Fir’aun
· Sabar menghadapi penyakit, seperti Nabi Ayyub a.s.
· Sabar menghadapi penguasa zalim, seperti Nabi Ibrahim a.s. menghadapi Namrudz
· Sabar menghadapi anak-anak yang tidak saleh, seperti Nabi Ya’qub a.s.
· Sabar menghadapi umat yang neko-neko, seperti seperti Nabi Musa a.s.
· Sabar menghadapi fitnah, seperti Maryam
· Sabar menghadapi tantangan dakwah, seperti Nabi Muhammad saw.

“Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Q.S. An-Nahl 16: 127-128)

4. Mengutamakan apa yang dicintai Allah dari segala sesuatu yang dicintainya

“Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (Q.S. At-Taubah 9: 24)

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat dzalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (Q.S. Al Baqarah 2: 165)

5. Selalu mengingatnya/selalu hadir dalam setiap aktivitas kita bahwa hanya Allah segala-galanya

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” (Q.S. Al Anfal 8: 45)

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (Q.S. Al Anfal 8: 2-3)

6. Mengikuti apa yang dicontohkan nabi/rasul

“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Q.S. Ali Imran 3: 31

7. Semangat untuk membaca ayat-ayat-Nya

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal.” Q.S. Al Anfal 8: 2

8. Gemar bertaubat/minta ampun karena takut ditinggalkan

“Dan didekatkanlah surga itu kepada orang-orang yang bertakwa pada tempat yang tiada jauh (dari mereka). Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya). (Yaitu) orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertobat, masukilah surga itu dengan aman, itulah hari kekekalan. Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi Kami ada tambahannya.” Q.S. Qaaf 50: 31-35

***&&***

cara memakai jilbab yang salah dan Tata Cara Memakai Jilbab Yang Benar


Berikut Kesalahan-kesalahan yang sering terjadi dalam berkerudung dan berbusana muslimah

- Kerudung tidak menutupi dada
...
Ini bertentangan dengan firman Allah SWT dalam Al-qur’an “.. dan hendaklah mereka menutup kain kerudung ke dadanya … ” (QS. An Nur : 31)

- Rok kurang panjang (agak ngatung)

Hal ini tidak sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tarmizi dan Nasa’i, dari Ummu Salamah r.a. “”Ya Rasulullah, bagaimana dengan perempuan dan kain-kain mereka yang sebelah bawah?” Sabda Rasulullah S.A.W : “Hendaklah mereka memanjangkan barang sejengkal dan janganlah menambahkan lagi keatasnya”

- Pakaian ketat dan menampakkan bentuk tubuh

Selain terlihat dan terasa sesak, ternyata pakaian yang ketat juga tidak baik untuk kesehatan. Sebuah penelitian membuktikan bahwa pakaian yang ketat menyebabkan kulit kekurangan ruang untuk bernafas. Akibat yang ditimbulkan dari mengenakan pakaian ketat – mulai dari yang teringan seperti biduran, adanya bercak ringan di bagian tubuh tertentu sampai dengan penyakit yang cukup berbahaya, seperti kemandulan dan kanker.

- Menggunakan riasan make up yang tebal.

Menggunakan riasan make up bagi seorang perempuan tidaklah dilarang, tapi anjurannya adalah ‘jangan berlebihan’ karena segala sesuatu ynag berlebihan itu tidak baik dan Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. Selain itu, jika make up anda terlalu tebal, maka kurang sehat untuk wajah anda karena kulit wajah tidak dapat bernafas dengan baik dan menyisakan residu yang berlebihan pada wajah sehingga jika tidak telaten dapat menyebabkan jerawat di wajah. Apalagi ada beberapa muslimah yang mungkin malas berwudhu atau hanya berwudhu sekedarnya saja dengan alasan menjaga riasan wajah agar tetap awet.

- Kesalahan lainnya dalam berkerudung, diantaranya adalah tidak memakai kaos kaki, mengenakan blus yang pendek, memakai rok dengan belahan tinggi serta mengenakan kerudung yang terbuat dari bahan yang tipis/jarang.
Cara Memakai Jilbab Yang Benar – Penutup

Demikian penjelasan singkat tentang cara memakai jilbab yang benar dan jilbab yang salah. Ikutilah yang benar dan jauhilah yang salah. Semoga bermanfaat.

***&&***
Lihat Selengkapnya