Selasa, 07 Februari 2012

Saat Akhlak Mulia Islam Berbicara

 Dalam kitab Tarikh Al Islam karya Adz Dzahabi, dikisahkan seorang pencuri memasuki rumah Malik bin Dinar RA. Tapi pencuri itu tak mendapatkan apapun yang berharga di dalam rumah itu, dan ia pun keluar. Sebelum keluar, pencuri itu dipanggil oleh Malik Bin Dinar RA. “Assalammu’alaikum…” ujar Malik. Pencuri itu menjawab, “Wa’alaikumussalam. “Malik mengatakan, “Engkau tidak dapatkan sedikitpun dari dunia disini, apakah engkau menginginkan sesuatu dari dunia di sini, apakah engkau menginginkan sesuatu dari akhirat?” Pencuri itu menjawab, “Ya”. “Kemari, berwudhulah dari tempat air ini, lalu shalatlah dua rakaat. “Setelah selesai shalat, Malik bin Dinar mengatakan, “Tinggalah disini sampai pagi hari besok.” Si pencuri itupun setuju. Di waktu shubuh, ketika Malik bin Dinar pergi ke masjid, para sahabatnya bertanya, “siapa yang berjalan bersamamu ini?” Sambil tersenyum, Malik bin Dinar mengatakan, “Kemarin ia datang ingin mencuri, tapi ternyata sekarang aku yang mencuri dirinya.” Apa yang kita petik dari peristiwa “aneh” ini?

 Saudaraku,

Daya tarik akhlak islam begitu hebat. Keindahan akhlak Islam begitu memiliki kekuatan perubah yang dahsyat. Benar-benar contoh yang indah yang menunjukkan bagaimana akhlak seorang Muslim, dapat merubah keburukan menjadi kebaikan. Ya, ingin mencuri, tapi kebalikannya justru “dicuri”. Masih dalam kitab yang sama, dituliskan pula peristiwa “aneh” tentang keagungan akhlak umat Islam yang ternyata memiliki pengaruh luar biasa di masyarakatnya ketika mereka hidup. Dikisahkan, Imam Abu Hanifah rahimahullah, mempunyai tetangga yang berhutang padanya. Tetangga tersebut adalah orang Majusi. Suatu hari, Abu Hanifah pergi ke rumah orang tersebut untuk menagih pembayaran hutangnya. Ketika tiba di depan rumah Majusi, tiba-tiba saja sandal Imam Abu Hanifah terkena najis. Imam Abu Hanifah menggerakkan sandalnya untuk menghilangkan najis itu. Tapi ternyata, najis itu malah terlempar ke tembok rumah Majusi. Abu Hanifah Rahimahullaj ragu. “Bila aku tinggalkan najis ini seperti itu, pasti akan memperburuk tembok milik Majusi. Tapi bila aku bersihkan, aku khawatir bagian dari tembok milik Majusi akan terkikis, “ seperti itu gumam Abu Hanifah di dalam hati. Ia laluo mengetuk pintu rumah Majusi, yang kemudian dibukakan oleh seorang pembantu. “Sampaikan pada tuanmu, Abu Hanifah ada di depan pintu,” ujar Abu Hanifah kepadanya. Karena Majusi menduga Abu Hanifah akan menagih hutang, si Majusi tidak mau keluar. Abu Hanifah rahimahullah lalu bersuara agak keras, “Ada yang lebih penting dari sekedar menagih hutang.” Saat si Majusi keluar, Abu Hanifah bercerita tentang najis yang mengenai rumah si Majusi dan menanyakan bagaimana cara membersihkannya. Si Majusi terdiam lalu mengatakan, “Saya yang harus lebih dahulu membersihkan diri.” Si Majusi setelah itu segera menyatakan masuk Islam di depan Imam Abu Hanifah rahimahullah.

Saudaraku,

 Benar-benar seperti tak ada beban untuk berkorban dan memberikan sesuatu kepada orang lain. Nyaris seperti tak ada ego dan keakuan dalam hidup mereka. Meski tetap meminta haknya, tapi umat Islam di zaman akhlak mulia itu, tidak melakukannya dengan kesombongan apalagi pemaksaaan. Seperti tak ada keinginan yang menyangkut pribadi di sana, kecuali dalam hal-hal yang sifatnya mendasar saja. Coba perhatikan lalu bagaimana kisah yang disampaikan Abu Ubaidah At Taaji, bercerita, “Ketika kami di majelis Hasan Al Bashri ada seseorang yang berdiri dan mengatakan, “Wahai Abu Sa’id (panggilan Hasan Al Bashri, di majelismu ada orang yang sengaja datang untuk mencari-cari kesalahanmu saat menyampaikan sesuatu. “Hasan Al Bashri mengatakan, “Aku sangat mendambakan apa yang ada di sisi Allah dan aku sudah merasa puas dengan itu. Aku juga sangat berharap itu. Aku sangat ingin memberi kedamaian di antara manusia, tapi aku merasa belum puas untuk itu.”

Saudaraku,

Keberadaan kita, sebagai Muslim, memang harus memberi sesuatu yang bermanfaat bagi lingkungan. Keberadaan kita, sebagai Mukmin, tak boleh sama dengan tidak ada. Terlalu banyak dalil Al Qur’an dan hadits yang mendorong kita untuk memiliki peran-peran di masyarakat, yang otomatis menganjurkan kita untuk berkorban demi kemaslahatan orang banyak ketimbang pribadi. Mari renungi sebuah hadits Qudsi yang menekankan peran-peran kita berikut ini. Abu Hurairah ra menuturkan hadits itu kepada kita. “Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar berfirman pada hari kiamat, “Wahai anak Adam, aku sakit tapi mengapa kamu tidak menjenguk-Ku?” Ia berkata, “Ya Rabb, bagaimana mungkin aku menjenguk-Mu, sedangkan Engkau adalah Rabbul ‘alamiin?” Allah swt berfirman, “Tidakkah kamu tahu bahwa si fulan hambaKu sakit, mengapa engkau tidak menjenguknya, niscaya engkau akan mendapati Aku disisinya.” “Wahai anak Adam, aku minta makan kepadamu tapi mengapa kami tidak memberi makan kepada-Ku?” Ia berkata, “Ya Rabb, bagaimana mungkin aku memberi makan kepada-Mu, sedangkan Engkau Tuhan Semesta Alam?” Allah berfirman, “Apakah engkau tidak tahu bahwa hamba-Ku si fulan minta makan kepadamu, tapi mengapa engkau tidak memberi makan kepadanya? Apakah kamu tidak tahu bahwa seandainya kamu memberi makan kepadanya, niscaya kami akan mendapatkannya disisi-Ku.” Wahai anak Adam, aku minta minum kepadamu tapi mengapa kamu tidak memberi-Ku minum?” Ia berkata, “Ya Rabb, bagaimana mungkin aku memberi minum kepada-Mu padahal Engkau adalah Tuhan semesta alam?” Allah berfirman, “Hambaku si fulan minta minum kepadamu, tapi kenapa engkau tidak memberinya minum? Sungguh, seandainya kamu memberi minum kepadanya, niscaya kamu mendapati di sisi-Ku.” (HR. Muslim)

Saudaraku,

Apa yang sudah kita lakukan untuk orang-orang sekitar kita?

***&&***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar