Kita
mendapat pelajaran yang sangat berharga dari Hâtim Al Asham ketika fenomena
tayangan “ghibahtainmen” merajalela
ADA seorang perempuan datang kepada
Syaikh Hâtim Al Asham untuk bertanya tentang sebuah persoalan. Saat bertanya,
tiba-tiba keluarlah suara kentut dari perempuan itu dan ia merasa sangat malu.
“Keraskan
suaramu!,” teriak Hâtim dengan keras untuk mengesankan seolah ia tuli.
Si perempuan
merasa senang dan mengira kalau Hâtim tidak mendengar suara kentutnya. Karena
kejadian itulah, kemudian Syaikh Hâtim mendapat julukan Al Asham (si tuli).
Kita
mendapat pelajaran yang sangat berharga dari Hâtim Al Asham. Kita memperoleh
hikmah menutup rapat-rapat keburukan orang lain, tidak mengumbarnya sebagaimana
terjadi saat ini, di mana fenomena tayangan ghibahtainmen yang
menceritakan kekisruhan rumah tangga orang lain, membeberkan perselingkuhan
serta perzinaan, terjadi dengan begitu vulgar dan massif.
Ironisnya,
para pemilik modal dan pengelola program tercela ini berkilah jika acara (ghibah)
ini dianggap mendidik masyarakat untuk lebih cerdas.
Sebuah
alasan yang tidak masuk akal. Alih-alih mencegah, yang terjadi justru masyarakat
dijejali oleh berita-berita keburukan orang yang mungkin akan dicontoh oleh
mereka. Apalagi pihak bersangkutan yang diwartakan merupakan public figuree.
Tidak
berlebihan bila PBNU lewat fatwanya dalam Munas Alim Ulama NU se-Indonesia di
asrama Haji Sukolilo, Surabaya (27-30 Juli 2006), menuntut kepada pemerintah,
dalam hal ini Departemen Komunikasi dan Informasi, untuk melarang program infotainment
yang berisi ghibah alias membeberkan aib orang lain, apakah itu berupa
perselingkuhan, perceraian, atau percekcokan rumah tangga, dan sejenisnya.
Fatwa ini
perlu direkomendasikan sebagai bentuk pertanggungjawaban para ulama kepada
umatnya. Sebab jika keadaan demikian ini dibiarkan begitu saja, lama-lama akan
membuat bangsa kita menjadi bangsa penggunjing. Akibatnya, ajang berkumpul
sesama teman atau keluarga rasanya kurang afdhal bila tidak dibumbui
dengan ngerasani (menggunjing) atau menggosip. Sungguh sebuah dilema
yang berbalik seratus delapan puluh derajat dengan apa yang terjadi pada diri
Syekh Hatim.
Lantas,
bagaimana kita bisa mengetahui aib diri sendiri? Imam Al Ghazali dalam kitabnya
yang terkenal, Ihya` `Ulumuddin, mengetengahkan kiat jitu menyingkap
kekurangan yang melekat pada diri kita. Beliau menyarankan untuk menempuh empat
cara:
Pertama, duduk di hadapan seorang guru yang
mampu mengetahui keburukan hati dan berbagai masalah yang tersembunyi di
dalamnya. Kemudian ia memasrahkan dirinya kepada sang guru dan mengikuti
petunjuknya dalam ber-mujahadah membersihkan aib itu. Ini adalah keadaan
seorang murid dengan Syaikhnya dan seorang pelajar dengan gurunya. Sang guru
akan menunjukkan aib-aibnya serta cara pengobatannya. Namun, di zaman sekarang
guru semacam ini langkah.
Kedua, mencari seorang teman yang jujur, memiliki bashiroh (mata hati yang tajam), dan berpegang pada agama. Ia kemudian menjadikan temannya itu sebagai pengawas yang mengamati keadaan, perbuatan, serta semua aib batin dan lahirnya, sehingga ia dapat memberi peringatan kepadanya. Demikianlah yang dilakukan oleh orang-orang cerdik, orang-orang terkemuka, dan para pemimpin agama.
Ketiga, berusaha mengetahui aib dari ucapan musuh-musuhnya sebab pandangan yang penuh kebencian akan menyingkapkan keburukan seseorang. Bisa jadi manfaat yang diperoleh seseorang dari musuh yang sangat membencinya dan suka mencari kesalahannya lebih banyak dari teman yang suka bermanis muka, memuji dan menyembunyikan aib-aibnya. Akan tetapi, sudah menjadi watak manusia untuk mendustakan ucapan musuh-musuhnya dan menganggapnya sebagai ungkapan kedengkian. Hanya orang yang memiliki mata hati jernih yang mampu memetik pelajaran dari keburukan dirinya yang disebutkan oleh musuhnya.
Keempat, bergaul dengan masyarakat. Setiap kali melihat perilaku tercela seseorang, maka ia segera menuduh dirinya sendiri yang juga memiliki sifat tercela itu. Kemudian ia menuntut dirinya untuk segera meninggalkannya. Sebab, seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya. Ketika melihat aib orang lain ia akan melihat aib-aibnya sendiri.
Kedua, mencari seorang teman yang jujur, memiliki bashiroh (mata hati yang tajam), dan berpegang pada agama. Ia kemudian menjadikan temannya itu sebagai pengawas yang mengamati keadaan, perbuatan, serta semua aib batin dan lahirnya, sehingga ia dapat memberi peringatan kepadanya. Demikianlah yang dilakukan oleh orang-orang cerdik, orang-orang terkemuka, dan para pemimpin agama.
Ketiga, berusaha mengetahui aib dari ucapan musuh-musuhnya sebab pandangan yang penuh kebencian akan menyingkapkan keburukan seseorang. Bisa jadi manfaat yang diperoleh seseorang dari musuh yang sangat membencinya dan suka mencari kesalahannya lebih banyak dari teman yang suka bermanis muka, memuji dan menyembunyikan aib-aibnya. Akan tetapi, sudah menjadi watak manusia untuk mendustakan ucapan musuh-musuhnya dan menganggapnya sebagai ungkapan kedengkian. Hanya orang yang memiliki mata hati jernih yang mampu memetik pelajaran dari keburukan dirinya yang disebutkan oleh musuhnya.
Keempat, bergaul dengan masyarakat. Setiap kali melihat perilaku tercela seseorang, maka ia segera menuduh dirinya sendiri yang juga memiliki sifat tercela itu. Kemudian ia menuntut dirinya untuk segera meninggalkannya. Sebab, seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya. Ketika melihat aib orang lain ia akan melihat aib-aibnya sendiri.
***&&***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar