Definisi Aurat
Menurut
pengertian bahasa (literal), aurat adalah al-nuqshaan wa al-syai’
al-mustaqabbih (kekurangan dan sesuatu yang mendatangkan celaan). Diantara
bentuk pecahan katanya adalah ‘awara`, yang bermakna qabiih (tercela); yakni
aurat manusia dan semua yang bisa menyebabkan rasa malu. Disebut aurat, karena
tercela bila terlihat (ditampakkan).
Imam al-Raziy,
dalam kamus Mukhtaar al-Shihaah hal 461, menyatakan, “‘al-aurat: sau`atu al-insaan wa kullu maa yustahyaa
minhu (aurat adalah aurat manusia dan semua hal yang menyebabkan malu.”
Dalam Syarah
Sunan Ibnu Majah juz 1/276, disebutkan, bahwa aurat adalah kullu maa yastahyii minhu wa yasuu`u shahibahu in yura
minhu (setiap yang menyebabkan malu, dan membawa aib bagi pemiliknya jika
terlihat)”.
Imam Syarbiniy
dalam kitab Mughniy al-Muhtaaj, berkata,” Secara literal, aurat bermakna al-nuqshaan (kekurangan) wa al-syai`u
al-mustaqbihu (sesuatu yang menyebabkan celaan). Disebut seperti itu, karena ia
akan menyebabkan celaan jika terlihat.“
Dalam kamus
Lisaan al-’Arab juz 4/616, disebutkan, “Kullu ‘aib wa khalal fi syai’ fahuwa ‘aurat (setiap aib dan cacat cela pada
sesuatu disebut dengan aurat). Wa syai` mu’wirun au ‘awirun: laa haafidza lahu
(sesuatu itu tidak memiliki penjaga (penahan)).”
Imam Syaukani,
di dalam kitab Fath al-Qadiir, menyatakan;
“Makna asal dari aurat adalah al-khalal (aib, cela,
cacat). Setelah itu, makna aurat lebih lebih banyak digunakan untuk
mengungkapkan aib yang terjadi pada sesuatu yang seharusnya dijaga dan ditutup,
yakni tiga waktu ketika penutup dibuka. Al-A’masy membacanya dengan huruf wawu
difathah; ‘awaraat. Bacaan seperti ini berasal dari bahasa suku Hudzail dan
Tamim.”
Batasan Aurat bagi Wanita
Batasan Aurat Menurut Madzhab Syafi’iy
Di dalam kitab
al-Muhadzdzab juz 1/64, Imam al-Syiraaziy berkata;
“Hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khuduriy,
bahwasanya Nabi saw bersabda, “Aurat laki-laki adalah antara pusat dan lutut.
Sedangkan aurat wanita adalah seluruh badannya, kecuali muka dan kedua telapak
tangan.”
Mohammad bin
Ahmad al-Syasyiy, dalam kitab Haliyat al-’Ulama berkata;
“..Sedangkan aurat wanita adalah seluruh badan, kecuali
muka dan kedua telapak tangan.”
Al-Haitsamiy,
dalam kitab Manhaj al-Qawiim juz 1/232, berkata;
“..Sedangkan aurat wanita merdeka, masih kecil maupun dewasa, baik ketika
shalat, berhadapan dengan laki-laki asing (non mahram) walaupun di luarnya,
adalah seluruh badan kecuali muka dan kedua telapak tangan.”
Dalam kitab
al-Umm juz 1/89 dinyatakan;
” ….Aurat perempuan adalah seluruh badannya, kecuali muka
dan kedua telapak tangan.”
Al-Dimyathiy,
dalam kitab I’aanat
al-Thaalibiin, menyatakan;
“..aurat wanita adalah seluruh badan kecuali muka dan telapak tangan”.
Di dalam kitab
Mughniy al-Muhtaaj, juz 1/185, Imam Syarbiniy menyatakan;
” …Sedangkan aurat wanita adalah seluruh tubuh selain wajah dan kedua
telapak tangan…”
Batasan Aurat Menurut Madzhab Hanbaliy
Di dalam kitab
al-Mubadda’, Abu Ishaq menyatakan;
“Aurat laki-laki dan budak perempuan adalah antara
pusat dan lutut. Hanya saja, jika warna kulitnya yang putih dan merah masih
kelihatan, maka ia tidak disebut menutup aurat. Namun, jika warna kulitnya
tertutup, walaupun bentuk tubuhnya masih kelihatan, maka sholatnya sah.
Sedangkan aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuh, hingga kukunya. Ibnu Hubairah
menyatakan, bahwa inilah pendapat yang masyhur. Al-Qadliy berkata, ini adalah
pendapat Imam Ahmad; berdasarkan sabda Rasulullah, “Seluruh badan wanita adalah
aurat” [HR. Turmudziy, hasan shahih]….Dalam madzhab ini tidak ada perselisihan
bolehnya wanita membuka wajahnya di dalam sholat, seperti yang telah
disebutkan. di dalam kitab al-Mughniy, dan lain-lainnya.”[1]
Di dalam kitab
al-Mughniy, juz 1/349, Ibnu Qudamah menyatakan, bahwa
” Mayoritas ulama sepakat bahwa seorang wanita boleh
membuka wajah dan mereka juga sepakat; seorang wanita mesti mengenakan kerudung
yang menutupi kepalanya. Jika seorang wanita sholat, sedangkan kepalanya
terbuka, ia wajib mengulangi sholatnya….Abu Hanifah berpendapat, bahwa kedua
mata kaki bukanlah termasuk aurat..Imam Malik, Auza’iy, dan Syafi’iy
berpendirian; seluruh tubuh wanita adalah aurat, kecuali muka dan kedua telapak
tangan. Selain keduanya (muka dan telapak tangan) wajib untuk ditutup ketika
hendak mengerjakan sholat…”
Di dalam kitab
al-Furuu juz 1/285′, karya salah seorang ulama Hanbaliy, dituturkan sebagai
berikut;
“Seluruh tubuh wanita merdeka adalah aurat kecuali muka, dan kedua telapak
tangan –ini dipilih oleh mayoritas ulama…..”
Batasan Aurat Menurut Madzhab Malikiy
Dalam kitab
Kifayaat al-Thaalib juz 1/215, Abu al-Hasan al-Malikiy menyatakan, ““Aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuh, kecuali
muka dan kedua telapak tangan..”.
Dalam Hasyiyah
Dasuqiy juz 1/215, dinyatakaN, “Walhasil, aurat haram untuk dilihat meskipun tidak dinikmati. Ini jika
aurat tersebut tidak tertutup. Adapun jika aurat tersebut tertutup, maka boleh
melihatnya. Ini berbeda dengan menyentuh di atas kain penutup; hal ini
(menyentuh aurat yang tertutup) tidak boleh jika kain itu bersambung (melekat)
dengan auratnya, namun jika kain itu terpisah dari auratnya, …sedangkan aurat
wanita muslimah adalah selain wajah dan kedua telapak tangan…”
Dalam kitab Syarah
al-Zarqaaniy, disebutkan, “Yang demikian
itu diperbolehkan.Sebab, aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan
telapak tangan…”
Mohammad bin
Yusuf, dalam kitab al-Taaj wa
al-Ikliil, berkata, “….Aurat budak perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak
tangan dan tempat kerudung (kepala)…Untuk seorang wanita, boleh ia menampakkan
kepada wanita lain sebagaimana ia boleh menampakkannya kepada laki-laki
–menurut Ibnu Rusyd, tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini-, wajah dan kedua
telapak tangan..”
Batasan Aurat Menurut Madzhab Hanafiy
Abu al-Husain, dalam kitab al-Hidayah Syarh
al-Bidaayah mengatakan;
“Adapun aurat laki-laki adalah antara pusat dan
lututnya…ada pula yang meriwayatkan bahwa selain pusat hingga mencapai
lututnya. Dengan demikian, pusat bukanlah termasuk aurat. Berbeda dengan apa
yang dinyatakan oleh Imam Syafi’iy ra, lutut termasuk aurat. Sedangkan seluruh
tubuh wanita merdeka adalah aurat kecuali muka dan kedua telapak tangan…”[2]
Dalam kitab Badaai’ al-Shanaai’ disebutkan;
“Oleh karena itu, menurut madzhab kami, lutut
termasuk aurat, sedangkan pusat tidak termasuk aurat. Ini berbeda dengan
pendapat Imam Syafi’iy. Yang benar adalah pendapat kami, berdasarkan sabda
Rasulullah saw, “Apa yang ada di bawah pusat dan lutut adalah aurat.” Ini
menunjukkan bahwa lutut termasuk aurat.”[3]
Aurat Wanita; Seluruh Tubuh Selain Muka dan Kedua Telapak Tangan
Jumhur ‘ulama
bersepakat; aurat wanita meliputi seluruh tubuh, kecuali muka dan kedua telapak
tangan. Dalilnya adalah firman Allah swt:
وَقُلْ
لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا
يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ
عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ
ءَابَائِهِنَّ أَوْ ءَابَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي
الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى
عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ
مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka,
atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau
budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah,
hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”[al-Nuur:31]
Menurut Imam
Thabariy dalam Tafsir al-Thabariy, juz 18/118, makna yang lebih tepat untuk
“perhiasan yang biasa tampak” adalah muka dan telapak tangan. Keduanya bukanlah
aurat, dan boleh ditampakkan di kehidupan umum. Sedangkan selain muka dan
telapak tangan adalah aurat, dan tidak boleh ditampakkan kepada laki-laki
asing, kecuali suami dan mahram. Penafsiran semacam ini didasarkan pada sebuah
riwayat shahih; Aisyah ra telah menceritakan, bahwa Asma binti Abu Bakar masuk
ke ruangan wanita dengan berpakaian tipis, maka Rasulullah saw. pun berpaling
seraya berkata;
يَا
أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتْ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى
مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ
“Wahai Asma’ sesungguhnya perempuan itu jika telah
baligh tidak pantas menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, sambil menunjuk
telapak tangan dan wajahnya.”[HR. Muslim]
Imam Qurthubiy
Tafsir Qurthubiy, juz 12/229; Imam Al-Suyuthiy, Durr al-Mantsuur, juz
6/178-182; Zaad al-Masiir, juz 6/30-32; menyatakan, bahwa ayat di atas merupakan
perintah dari Allah swt kepada wanita Mukminat agar tidak menampakkan
perhiasannya kepada para laki-laki penglihat, kecuali hal-hal yang dikecualikan
bagi para laki-laki penglihat. Selanjutnya, Allah swt mengecualikan
perhiasan-perhiasan yang boleh dilihat oleh laki-laki penglihat, pada frase
selanjutnya. Hanya saja, para ulama berbeda pendapat mengenai batasan perhiasan
yang boleh ditampakkan oleh wanita. Ibnu Mas’ud mengatakan, bahwa maksud frase
“illa ma dzahara minha” adalah dzaahir al-ziinah” (perhiasan dzahir), yakni
baju. Sedangkan menurut Ibnu Jabir adalah baju dan wajah. Sa’id bin Jabiir,
‘Atha’ dan Auza’iy berpendapat; muka, kedua telapak tangan, dan baju.
Menurut Imam
al-Nasafiy, yang dimaksud dengan “al-ziinah” (perhiasan) adalah semua yang digunakan
oleh wanita untuk berhias, misalnya, cincin, kalung, gelang, dan sebagainya.
Sedangkan yang dimaksud dengan “al-ziinah” (perhiasan) di sini adalah
“mawaadli’ al-ziinah” (tempat menaruh perhiasan). Artinya, maksud dari ayat di
atas adalah “janganlah kalian menampakkan anggota tubuh yang biasa digunakan
untuk menaruh perhiasan, kecuali yang biasa tampak; yakni muka, kedua telapak
tangan, dan dua mata kaki”[4].
Syarat-syarat Menutup Aurat
Menutup aurat harus dilakukan hingga warna kulitnya tertutup. Seseorang
tidak bisa dikatakan melakukan “satru al-’aurat” (menutup aurat) jika auratnya
sekedar ditutup dengan kain atau sesuatu yang tipis hingga warna kulitnya masih
tampak kehilatan. Dalil yang menunjukkan ketentuan ini adalah sebuah hadits
yang diriwayatkan dari ‘Aisyah ra, ra bahwasanya Asma’ binti Abubakar telah
masuk ke ruangan Nabi saw dengan berpakaian tipis/transparan, lalu Rasulullah
saw. berpaling seraya bersabda, “Wahai Asma sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl)
tidak pantas baginya untuk menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini.”
Dalam hadits
ini, Rasulullah saw. menganggap bahwa Asma’ belum menutup auratnya, meskipun
Asma telah menutup auratnya dengan kain transparan. Oleh karena itu lalu Nabi
saw berpaling seraya memerintahkannya menutupi auratnya, yaitu mengenakan
pakaian yang dapat menutupi . Dalil lain yang menunjukkan masalah ini adalah
hadits riwayat Usamah, bahwasanya ia ditanyai oleh Nabi saw tentang kain tipis.
Usamah menjawab, bahwasanya ia telah mengenakannya terhadap isterinya, maka
Rasulullah saw. bersabda kepadanya:
“Suruhlah isterimu melilitkan di bagian dalam kain
tipis, karena sesungguhnya aku khawatir kalau-kalau nampak lekuk tubuhnya.”
Qabtiyah dalam
lafadz di atas adalah sehelai kain tipis. Oleh karena itu tatkala Rasulullah
saw. mengetahui bahwasanya Usamah mengenakan kepada isterinya kain tipis,
beliau memerintahkan agar kain itu dikenakan pada bagian dalam kain supaya
tidak kelihatan warna kulitnya. Beliau bersabda,”Suruhlah isterimu melilitkan
di bagian dalamnya kain tipis.” Kedua hadits ini menunjukkan dengan sangat
jelas, bahwasanya aurat harus ditutup dengan sesuatu, hingga warna kulitnya
tidak tampak.
Khimar (Kerudung) dan Jilbab; Busana Wanita Di Luar
Rumah
Selain memerintahkan wanita untuk menutup auratnya,
syariat Islam juga mewajibkan wanita untuk mengenakan busana khusus ketika
hendak keluar rumah. Sebab, Islam telah mensyariatkan pakaian tertentu yang
harus dikenakan wanita ketika berada depan khalayak umum. Kewajiban wanita
mengenakan busana Islamiy ketika keluar rumah merupakan kewajiban tersendiri
yang terpisah dari kewajiban menutup aurat. Dengan kata lain, kewajiban menutup
aurat adalah satu sisi, sedangkan kewajiban mengenakan busana Islamiy (jilbab
dan khimar) adalah kewajiban di sisi yang lain. Dua kewajiban ini tidak boleh
dicampuradukkan, sehingga muncul persepsi yang salah terhadap keduanya.
Dalam konteks “menutup aurat” (satru
al-’aurat), syariat Islam tidak mensyaratkan bentuk pakaian tertentu, atau
bahan tertentu untuk dijadikan sebagai penutup aurat. Syariat hanya
mensyaratkan agar sesuatu yang dijadikan penutup aurat, harus mampu menutupi
warna kulit. Oleh karena itu, seorang wanita Muslim boleh saja mengenakan
pakaian dengan model apapun, semampang bisa menutupi auratnya secara sempurna.
Hanya saja, ketika ia hendak keluar dari rumah, ia tidak boleh pergi dengan
pakaian sembarang, walaupun pakaian itu bisa menutupi auratnya dengan sempurna.
Akan tetapi, ia wajib mengenakan khimar (kerudung) dan jilbab yang dikenakan di
atas pakaian biasanya. Sebab, syariat telah menetapkan jilbab dan khimar
sebagai busana Islamiy yang wajib dikenakan seorang wanita Muslim ketika berada
di luar rumah, atau berada di kehidupan umum.
Walhasil, walaupun seorang wanita telah menutup
auratnya, yakni menutup seluruh tubuhnya, kecuali muka dan kedua telapak
tangan, ia tetap tidak boleh keluar keluar dari rumah sebelum mengenakan khimar
dan jilbab.
Perintah Mengenakan Khimar
Pakaian yang telah ditetapkan oleh syariat Islam bagi
wanita ketika ia keluar di kehidupan umum adalah khimar dan jilbab.
Dalil yang menunjukkan perintah ini adalah firman Allah swt;
وَلْيَضْرِبْنَ
بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke
dadanya..”[al-Nuur:31]
Ayat ini berisi perintah dari
Allah swt agar wanita mengenakan khimar (kerudung), yang bisa menutup kepala,
leher, dan dada.
Imam Ibnu Mandzur di dalam kitab Lisaan al-’Arab menuturkan;
al-khimaar li al-mar`ah : al-nashiif (khimar bagi perempuan adalah
al-nashiif (penutup kepala). Ada pula yang menyatakan; khimaar adalah kain
penutup yang digunakan wanita untuk menutup kepalanya. Bentuk pluralnya adalah akhmirah,
khumr atau khumur. [5]
Khimar (kerudung) adalah ghitha’
al-ra’si ‘ala shudur (penutup kepala hingga mencapai dada), agar leher dan
dadanya tidak tampak.[6]
Dalam Kitab al-Tibyaan fi
Tafsiir Ghariib al-Quran dinyatakan;
“Khumurihinna, bentuk jamak
(plural) dari khimaar, yang bermakna al-miqna’ (penutup kepala). Dinamakan
seperti itu karena, kepala ditutup dengannya (khimar)..”[7]
Ibnu al-’Arabiy di dalam kitab Ahkaam
al-Quran menyatakan, “Jaib” adalah kerah baju, dan khimar adalah penutup
kepala . Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Aisyah ra, bahwasanya ia
berkata, “Semoga Allah mengasihi wanita-wanita Muhajir yang pertama. Ketika
diturunkan firman Allah swt “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung
mereka ke dada mereka”, mereka membelah kain selendang mereka”. Di dalam
riwayat yang lain disebutkan, “Mereka membelah kain mereka, lalu berkerudung
dengan kain itu, seakan-akan siapa saja yang memiliki selendang, dia akan
membelahnya selendangnya, dan siapa saja yang mempunyai kain, ia akan membelah
kainnya.” Ini menunjukkan, bahwa leher dan dada ditutupi dengan kain yang
mereka miliki.”[8]
Di dalam kitab Fath al-Baariy,
al-Hafidz Ibnu Hajar menyatakan, “Adapun yang dimaksud dengan frase
“fakhtamarna bihaa” (lalu mereka berkerudung dengan kain itu), adalah para
wanita itu meletakkan kerudung di atas kepalanya, kemudian menjulurkannya dari
samping kanan ke pundak kiri. Itulah yang disebut dengan taqannu’
(berkerudung). Al-Farra’ berkata,”Pada masa jahiliyyah, wanita mengulurkan
kerudungnya dari belakang dan membuka bagian depannya. Setelah itu, mereka
diperintahkan untuk menutupinya. Khimar (kerudung) bagi wanita mirip dengan
‘imamah (sorban) bagi laki-laki.” [9]
Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir
Ibnu Katsir menyatakan;
“Khumur adalah bentuk jamak
(plural) dari khimaar; yakni apa-apa yang bisa menutupi kepala. Khimaar
kadang-kadang disebut oleh masyarakat dengan kerudung (al-miqaana’), Sa’id bin
Jabir berkata, “wal yadlribna : walyasydadna bi khumurihinna ‘ala juyuubihinna,
ya’ni ‘ala al-nahr wa al-shadr, fa laa yara syai` minhu (walyadlribna :
ulurkanlah kerudung-kerudung mereka di atas kerah mereka, yakni di atas leher
dan dada mereka, sehingga tidak terlihat apapun darinya).”[10]
Imam Syaukaniy dalam Fath
al-Qadiir, berkata;
“Khumur adalah bentuk plural
dari khimar; yakni apa-apa yang digunakan penutup kepala oleh seorang
wanita..al-Juyuub adalah bentuk jamak dari jaib yang bermakna al-qath’u min
dur’u wa al-qamiish (kerah baju)..Para ahli tafsir mengatakan; dahulu,
wanita-wanita jahiliyyah menutupkan kerudungnya ke belakang, sedangkan kerah
baju mereka bagian depan terlalu lebar (luas), hingga akhirnya, leher dan
kalung mereka terlihat. Setelah itu, mereka diperintahkan untuk mengulurkan
kain kerudung mereka di atas dada mereka untuk menutup apa yang selama ini
tampak”.[11]
Dalam kitab Zaad al-Masiir,
dituturkan;
“Khumur adalah bentuk jamak
dari khimar, yakni maa tughthiy bihi al-mar`atu ra`sahaa (apa-apa yang
digunakan wanita untuk menutupi kepalanya). Makna ayat ini (al-Nuur:31) adalah
hendaknya para wanita itu menjulurkan kerudungnya (al-miqna’) di atas dada
mereka; yang dengan itu, mereka bisa menutupi rambut, anting-anting, dan leher
mereka.”[12]
Perintah Mengenakan Jilbab
Adapun kewajiban mengenakan
jilbab bagi wanita Mukminat dijelaskan di dalam surat al-Ahzab ayat 59. Allah
swt berfirman :
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ
الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ
يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min:
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian
itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.
Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang”.[al-Ahzab:59]
Ayat ini merupakan perintah yang
sangat jelas kepada wanita-wanita Mukminat untuk mengenakan jilbab. Adapun yang
dimaksud dengan jilbab adalah milhafah (baju kurung) dan mula’ah (kain
panjang yang tidak berjahit). Di dalam kamus al-Muhith dinyatakan, bahwa
jilbab itu seperti sirdaab (terowongan) atau sinmaar (lorong), yakni baju
atau pakaian longgar bagi wanita selain baju kurung atau kain apa saja yang
dapat menutup pakaian kesehariannya seperti halnya baju kurung.”[Kamus
al-Muhith]. Sedangkan dalam kamus al-Shahhah, al-Jauhari mengatakan, “jilbab
adalah kain panjang dan longgar (milhafah) yang sering disebut dengan mula’ah
(baju kurung).”[Kamus al-Shahhah, al-Jauhariy]
Di dalam kamus Lisaan al-’Arab
dituturkan; al-jilbab ; al-qamish (baju); wa al-jilbaab tsaub awsaa’ min
al-khimaar duuna ridaa’ tughthi bihi al-mar`ah ra’sahaa wa shadrahaa (baju yang
lebih luas daripada khimar, namun berbeda dengan ridaa’, yang dikenakan wanita
untuk menutupi kepala dan dadanya.” Ada pula yang mengatakan al-jilbaab: tsaub
al-waasi’ duuna milhafah talbasuhaa al-mar`ah (pakaian luas yang berbeda
dengan baju kurung, yang dikenakan wanita). Ada pula yang menyatakan; al-jilbaab
: al-milhafah (baju kurung).[13]
Al-Zamakhsyariy, dalam tafsir al-Kasysyaf
menyatakan, “Jilbab adalah pakaian luas, dan lebih luas daripada kerudung,
namun lebih sempit daripada rida’ (juba).[14]
Imam Qurthubiy di dalam Tafsir
Qurthubiy menyatakan, “Jilbaab adalah tsaub al-akbar min al-khimaar
(pakaian yang lebih besar daripada kerudung). Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dan
Ibnu Mas’ud, jilbaab adalah ridaa’ (jubah atau mantel). Ada pula yang
menyatakan ia adalah al-qanaa’ (kerudung). Yang benar, jilbab adalah tsaub
yasturu jamii’ al-badan (pakaian yang menutupi seluruh badan). Di dalam shahih
Muslim diriwayatkan sebuah hadits dari Ummu ‘Athiyyah, bahwasanya ia berkata,
“Ya Rasulullah , salah seorang wanita diantara kami tidak memiliki jilbab. Nabi
menjawab,”Hendaknya, saudaranya meminjamkan jilbab untuknya”.[15]
Dalam Tafsir Ibnu Katsir,
Imam Ibnu Katsir menyatakan, “al-jilbaab huwa al-ridaa` fauq al-khimaar
(jubah yang dikenakan di atas kerudung). Ibnu Mas’ud, ‘Ubaidah, Qatadah,
al-Hasan al-Bashriy, Sa’id bin Jabiir, Ibrahim al-Nakha’iy, ‘Atha’
al-Khuraasaniy, dan lain-lain, berpendapat bahwa jilbab itu kedudukannya sama
dengan (al-izaar) sarung pada saat ini. Al-Jauhariy berkata, “al-Jilbaab;
al-Milhafah (baju kurung).”[16]
Imam Syaukani, dalam Tafsir Fathu
al-Qadiir, mengatakan;
“Al-jilbaab wa huwa al-tsaub
al-akbar min al-khimaar (pakaian yang lebih besar dibandingkan kerudung).
Al-Jauhari berkata, “al-Jilbaab; al-milhafah (baju kurung). Ada yang menyatakan
al-qanaa’ (kerudung), ada pula yang menyatakan tsaub yasturu jamii’ al-badan
al-mar`ah.”[17]
Al-Hafidz al-Suyuthiy dalam
Tafsir Jalalain berkata;
” Jilbaab adalah al-mulaa`ah
(kain panjang yang tak berjahit) yang digunakan selimut oleh wanita, yakni,
sebagiannya diulurkan di atas wajahnya, jika seorang wanita hendak keluar untuk
suatu keperluan, hingga tinggal satu mata saja yang tampak”[18]
Ancaman Bagi Orang yang Membuka Auratnya
Imam Muslim
menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
صِنْفَانِ
مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ
الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ
مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ
الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ
كَذَا وَكَذَا
“Ada dua golongan manusia yang menjadi penghuni neraka,
yang sebelumnya aku tidak pernah melihatnya; yakni, sekelompok orang yang
memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti umat manusia;
dan wanita yang membuka auratnya dan berpakaian tipis merangsang
berlenggak-lenggok dan berlagak, kepalanya digelung seperti punuk onta. Mereka
tidak akan dapat masuk surga dan mencium baunya. Padahal, bau surga dapat
tercium dari jarak sekian-sekian.”[HR. Imam
Muslim].
Di dalam Syarah
Shahih Muslim, Imam Nawawiy berkata, “Hadits ini termasuk salah satu mukjizat
kenabian. Sungguh, akan muncul kedua golongan itu. Hadits ini bertutur tentang
celaan kepada dua golongan tersebut. Sebagian ‘ulama berpendapat, bahwa maksud
dari hadits ini adalah wanita-wanita yang ingkar terhadap nikmat, dan tidak
pernah bersyukur atas karunia Allah. Sedangkan ulama lain berpendapat, bahwa
mereka adalah wanita-wanita yang menutup sebagian tubuhnya, dan menyingkap
sebagian tubuhnya yang lain, untuk menampakkan kecantikannya atau karena tujuan
yang lain. Sebagian ulama lain berpendapat, mereka adalah wanita yang
mengenakan pakaian tipis yang menampakkan warna kulitnya (transparan)…Kepala
mereka digelung dengan kain kerudung, sorban, atau yang lainnya, hingga tampak
besar seperti punuk onta.”
Imam Ahmad juga
meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah dengan redaksi berbeda.
صِنْفَانِ
مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَا أَرَاهُمَا بَعْدُ نِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ
مَائِلَاتٌ مُمِيلَاتٌ عَلَى رُءُوسِهِنَّ مِثْلُ أَسْنِمَةِ الْبُخْتِ
الْمَائِلَةِ لَا يَرَيْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَرِجَالٌ مَعَهُمْ
أَسْوَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ
“Ada dua golongan penghuni neraka, yang aku tidak
pernah melihat keduanya sebelumnya. Wanita-wanita yang telanjang, berpakaian
tipis, dan berlenggak-lenggok, dan kepalanya digelung seperti punuk onta.
Mereka tidak akan masuk surga, dan mencium baunya. Dan laki-laki yang memiliki
cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti umat manusia “[HR. Imam Ahmad]
Hadits-hadits
di atas merupakan ancaman yang sangat keras bagi wanita yang menampakkan
sebagian atau keseluruhan auratnya, berbusana tipis, dan berlenggak-lenggok.
AURAT WANITA DARI FIRMAN ALLAH DAN HADITS RASULULLAH SAW
- Bulu kening “Rasullullah melaknat perempuan yang mencukur/ menipiskan bulu kening/ meminta supaya dicukurkan bulu keningnya” (HR. Abu Daud)
- Kaki (tumit kaki) “Dan janganlah mereka (perempuan) membentakkan kaki (atau mengangkatnya) agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan” (QS. An-Nur : 31) Keterangan : menampakkan kaki & menghayunkan/ melenggokan badan mengikuti hentakan kaki.
- Wangian “Siapa saja wanita yang memakai wangi-wangian kemudian melewati suatu kaum supaya mereka itu mencium baunya, maka wanita itu telah dianggap melakukan zina dan tiap-tiap mata ada zina (HR. Nasaii ibn Khuzaimah & Hibban).
- Dada “Hendaklah mereka (perempuan) melabuhkan kain kudung hingga menutupi dada mereka” (QS. An-Nur : 31).
- Gigi “Rasulullah melaknat perempuan yang mengikir gigi atau meminta supaya dikikir giginya (HR. At-Thabrani)
- Muka & Tangan. Asma binti Abu Bakar telah telah menemui Rasulullah dengan memakai pakaian yang tipis. Sabda Rasulullah “Wahai Asma! Sesungguhnya seorang gadis yang telah berhaid tidak boleh baginya menzahirkan anggota badan kecuali pergelangan tangan dan wajah saja” (HR. Bukhari & Muslim)
- Tangan “Sesungguhnya kepala yang ditusuk dengan besi itu lebih baik dari pada menyentuh kaum yang bukan sejenis yang tidak halal baginya” (HR. At-Thabrani & Baihaqi)
- Mata “Dan katakanlah kepada perempuan mukmin hendaklah mereka menundukan sebagian dari pandangannya” (QS. An-Nur : 31)
- Mulut (suara) “Janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik”(QS. Al Ahzab : 32)
Dalam hati mereka ada penyakit = orang yang mempunyai niat serong dengan wanita, seperti melakukan zina)
- Kemaluan “Dan katakanlah kepada perempuan-perempuan mukmin hendaklah mereka menundukan pandangannya dan menjaga kehormatannya (An – Nur : 31)
- Pakaian “Barang siapa memakai pakaian yang berlebih-lebihan, maka ALLAH akan memberikan pakaian kehinaan dihari akhir nanti” (HR. Abu Daud)
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan isteri-isteri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan ALLAH adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al Ahzab : 59)
- Rambut “Wahai anakku Fatimah! Adapun perempuan-perempuan yang akan digantung rambutnya hingga mendidih otaknya dalam neraka adalah mereka itu di dunia tidak mau menutup rambutnya daripada dilihat laki-laki yang bukan mahramnya” (HR. Bukhari & Muslim)
***&***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar