وَلَا
تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
مِنَ
الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعاً كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ
فَرِحُونَ
“Janganlah kalian termasuk orang-orang yang musyrik
yaitu orang-orang yang memecah belah agamanya menjadi berpartai-partai dan
masing-masing partai merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (Ar-Rum: 31-32)
Persatuan merupakan satu landasan penting untuk
membangun kehidupan yang istiqamah di atas jalan Allah Subhanahu wa ta’ala .
Tapi sungguh sayang, kalimat benar dan mulia ini banyak dipergunakan secara
keliru oleh berbagai gerakan (firqah/kelompok) yang dilandasi oleh berbagai
ambisi dan hawa nafsu. Mereka menggunakan kalimat tersebut untuk bersembunyi di
balik nama perjuangan Islam, namun hakikat tujuan mereka yang sebenarnya adalah
untuk meraup keuntungan duniawi. Yang lebih tragis, ulah mereka ini banyak
menimbulkan perpecahan kaum muslimin di mana-mana.
Seruan persatuan atas nama Islam namun didasari oleh
kebatilan sudah berlangsung sejak dulu. Di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassalam , orang-orang musyrikin jahiliyah pernah menawarkan kepada beliau
ajaran sinkretisme, yaitu persatuan dalam praktek ibadah antara kaum musyrikin
dengan kaum muslimin.
Di Mesir, muncul gerakan persatuan agama samawi,
sebagaimana yang diserukan oleh Hasan Al-Banna. Para politikus dari kalangan
Ikhwanul Muslimin menjadikan kalimat persatuan sebagai pilar untuk menyatukan
berbagai elemen yang ada di tubuh kaum muslimin, yang mereka gunakan sebagai
batu loncatan untuk meraih kekuasaan.
Berlandaskan “ikramul muslim”, kelompok Jamaah Tabligh membangun
persaudaraan dengan berbagai firqah dan gerakan sebagai sarana untuk menebarkan
“kebodohan.”
Firqah Sururiyah dengan syubhat “inshaf” (prinsip yang mengharuskan
menyebut kebaikan seseorang yang dikritik karena melakukan penyimpangan dalam
agama. Prinsip ini merupakan kaidah yang baru/bid’ah), menebarkan faham yang
melumpuhkan al-wala` wal bara`. (Manhaju Ahlis Sunnah wal Jama’ah fi Naqdir
Rijal hal. 55)
Di tahun 1965 muncul fatwa dari sebagaian “ulama” di
Indonesia yang membolehkan kaum muslimin membangun kerjasama dengan kaum
komunis/Nasakom. (Membahas Khilafiyah hal. 157)
JIL (Jaringan Islam Liberal) yang digembongi Ulil
Abshar meracuni kaum Muslimin dengan label persatuan agama samawi.
Semua bentuk persatuan di atas merupakan kepanjangan
tangan dari gerakan teologi pluralis yang selalu ditawarkan musuh-musuh Allah
Subhanahu wa ta’ala epada umat Islam sebagai pisau bunuh diri dalam setiap
masa. Sejenak mari kita simak uraian berikut ini.
Perpecahan yang mengerikan telah menimpa umat yang
terdahulu sehingga mereka mendapatkan kehancuran. Allah Subhanahu wa ta’ala
berfirman yang artinya:
“Dan janganlah kalian menyerupai orang-orang yang
berpecah dan berselisih setelah datang keterangan kepada mereka dan bagi mereka
adzab yang besar.” (Al-Imran: 105)
Ibnu Katsir berkata (dalam menafsirkan ayat di atas):
“Allah tabaaraka wa ta’ala melarang umat ini untuk menyerupai umat terdahulu
dalam perpecahan dan perselisihan.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/390)
Perpecahan merupakan sarana bagi setan untuk
membelenggu kaum muslimin agar selalu tercabik-cabik dalam permusuhan dan
perpecahan, sehingga dalam banyak ayat Allah Subhanahu wa ta’ala melarang kaum
muslimin untuk berpecah belah. Di antaranya dalam ayat berikut, yang artinya:
“Berpeganglah kalian seluruhnya dengan tali Allah dan
jangan berpecah belah.” (Ali
‘Imran: 103)
Ibnu Katsir ra berkata: “Telah
diperintahkan kepada mereka (kaum muslimin) untuk bersatu dan melarang mereka
dari perpecahan.” (Tafsir
Ibnu Katsir, 1/389)
Abu Ja’far At-Thabari berkata: “Yang
dimaksud oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dari ayat tersebut adalah: Berpeganglah
kalian dengan agama Allah Subhanahu wa ta’ala yang telah Dia perintahkan kepada
kalian, dan dengan janji-Nya yang telah diambil atas kalian di dalam Kitab-Nya,
yaitu berkumpul di atas kalimat yang benar dan berserah kepada kalimat Allah
Subhanahu wa ta’ala .” (Tafsir
Ath-Thabari, 3/378)
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya
dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung
jawabmu terhadap mereka.” (Al-An’am: 159)
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wassalam tidak bertanggung jawab (berlepas diri) dari semua yang
memisahkan dari agama Allah Subhanahu wa ta’ala atau yang menyelisihinya.
(Tafsir Ibnu Katsir, 2/200)
“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama dan
apa yang telah di wasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan
kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa,
yaitu: tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.” (Asy-Syura: 13)
Ibnu Katsir ra berkata: “Allah telah
mewasiatkan kepada seluruh nabi ‘alaihish shalatu was salam untuk bersatu dan
berjamaah serta melarang mereka dari perpecahan dan ikhtilaf.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/109)
“Janganlah
kalian berpecah belah dalam perkara tauhid, dalam keimanan kepada Allah,
ketaatan kepada Rasul-Nya, dan dalam menerima risalahnya.”
“Janganlah kalian menjadi golongan orang-orang musyrik
yaitu dari orang-orang yang memecah belah agamanya menjadi berpartai-partai dan
masing-masing partai merasa bangga dengan yang ada pada mereka.” (Ar-Rum: 31-32)
“Di sini ada peringatan
bagi kaum Muslimin dari perselesihan, perpecahan sehingga berkubu-kubu, setiap
golongan fanatik dengan apa yang dimiliki baik yang haq dan batil, sehingga
dengannya mereka menyerupai orang-orang musyrik dalam berpecah belah. Ingat,
agama adalah satu, Rasul yang satu, dan sesembahan yang satu.”
“Termasuk
seruan jahiliyah adalah menyeru untuk fanatik kepada kesukuan atau fanatisme
kepada tokoh tertentu. Termasuk juga fanatisme dengan madzhab, partai-partai,
masyayikh, atau mendahulukan hawa nafsu dan kesukuan dalam pembelaan terhadap
segolongan orang bahkan menisbatkan diri kepadanya serta menyeru kepadanya
(nafsu dan kesukuan). Demikian pula saat dia memberikan loyalitas atau
permusuhan dan mengukur manusia dengannya. Ini semua merupakan seruan jahiliyah.”
“Jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan umat
yang satu tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang
yang dirahmati Rabbmu.” (Hud:
118-119)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t berkata: “Allah
mengabarkan, jikalau Dia menghendaki niscaya seluruh manusia akan dijadikan
satu dalam keutuhan agama Islam karena kehendak-Nya tidak terbatasi dan tidak
ada sesuatu apapun yang bisa menghalangi-Nya. Tetapi tetap dengan hikmah-Nya
mereka (manusia) berselisih, menyelisihi jalan yang lurus, dan mengikuti
jalan-jalan yang menjerumuskan ke an-naar (neraka). Masing-masing dari mereka
menyatakan: ‘Kami berkata yang benar dan yang lainnya salah.’ Dan Allah
membimbing (untuk sebagian umat) kepada ilmu tentang al-haq, kemampuan beramal
dengannya dan persatuan, sehingga mereka merasakan kedamaian sejak dini yang
kemudian teriringi dengan pertolongan dan taufiq dari Allah Subhanahu wa ta’ala
. Adapun yang lainnya adalah umat yang terhinakan dan berjalan dengan diri
mereka sendiri.” (
Ibnu Katsir berkata: “Orang-orang
yang dirahmati adalah para pengikut para rasul yang selalu berpegang teguh
dengan apa yang diperintahkan agama dan diperintahkan para rasul.” (Tafsir Ibnu Katsir: 481)
Qatadah berkata: “Orang-orang yang dirahmati Allah
adalah Ahlul Jama’ah walaupun negeri dan keberadaan mereka berjauhan, sedangkan
pelaku kemaksiatan kepada Allah adalah Ahlul Furqah, walaupun negeri dan
keberadaan mereka bersatu.” (Tafsir Ibnu Katsir: 482)
Diriwayatkan dari Mu’awiyah bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda yang artinya: “Ketahuilah,
sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah terpecah belah menjadi 72 firqah
dan sungguh akan terpecah umat ini menjadi 73 firqah.” (HR. Ahmad)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda yang
artinya:
“Sesungguhnya Allah meridhai bagi kalian tiga (perkara)
dan membenci bagi kalian tiga perkara: Meridhai bagi kalian untuk hanya
beribadah kepada-Nya, jangan kalian sekutukan Dia dengan sesuatu apapun, dan
kalian semua berpegang teguh kepada tali Allah dan jangan kalian berpecah
belah…” (HR.
Muslim)
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali berkata: “Berpegang
teguh dengan tali Allah adalah berpegang dengan apa yang telah dibawa
Rasulullah: Al Qur`an, As Sunnah, dan yang mencakup semua bimbingan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam berupa perkara akidah, ibadah, akhlak, muamalah.
Tidak boleh bagi seorang muslim baik secara pribadi ataupun golongan/masyarakat
muslimin, atau suatu negeri muslim dari rakyat dan pemerintah, untuk keluar
dari perkara ushuluddin atau furu’nya. Akan tetapi wajib bagi umat untuk
beriman dan berpegang teguh secara menyeluruh dengan apa yang telah dibawa oleh
penutup para nabi dan pemimpin para rasul, serta selalu mendahulukan bimbingan
(ajaran nabi) dari semua ucapan dan bimbingan yang lainnya.”
Tunduk dan taat di atas al-haq merupakan landasan
persatuan yang hakiki. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya:
“Dan patuhlah kalian semua kepada Allah dan Rasul-Nya
dan janganlah kalian berselisih sehingga kalian akan melemah dan pudar kekuatan
kalian dan bersabarlah sesungguhnya Allah bersama dengan orang-orang yang sabar.” (Al-Anfal: 46)
“Agama
(Islam) adalah satu, yaitu apa yang telah dibawa oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wassalam . Tidak bisa dipecah menjadi beberapa sekte atau madzhab.
Bahkan agama (kebenaran) adalah satu dan datang dari Allah, yang telah dibawa
oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan apa yang beliau tinggalkan
kepada umatnya. Yaitu beliau tinggalkan umatnya di atas kemurnian (kejelasan).
Malamnya seperti siangnya, tidak ada yang menyeleweng darinya kecuali akan
binasa.”
Allah telah memerintahkan kepada
kalian untuk menjadi orang yang mengikuti (taat), mendengar, dan patuh.
Seandainya umat dibebaskan dengan akalnya, qias, dan hawa nafsunya dalam
memahami tauhid dan mencari keimanan, sungguh mereka akan sesat.”
“Sungguh
jelas bahwa sebab persatuan dan keutuhan adalah mengumpulkan (menerima) semua
bagian agama dan mengamalkanya secara keseluruhan. Hal itu merupakan bentuk
ibadah kepada Allah yang Esa tidak ada sekutu baginya, yang diwujudkan secara
lahir dan batin sebagaimana yang telah diperintahkan. Dan faedah dari berjamaah
adalah tercurahkannya rahmat Allah, keridhaan-Nya, keselamatan, kebahagiaan
dunia dan akhirat, muka yang putih/cemerlang. Adapun buah dari perpecahan
adalah adzab Allah, laknat, muka yang hitam dan berlepasdirinya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam darinya.”
“Berpegang
teguh dengan Kitabullah sesuai dengan apa yang Allah inginkan (bisa)
terealisasikan dalam tiga perkara:
1. Menerima ayat-ayat Al Qur`an Al-Karim dan
hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam yang shahih dengan penuh
kejujuran secara lahir dan batin tanpa ada keraguan sedikitpun dalam menerima
perkara itu. Sikap penerimaan ini harus tegak di atas keyakinan yang kokoh
bahwa Al Qur`anul Karim dan As Sunnah yang suci terjaga dengan penjagaan dari
Yang Maha mengetahui perkara ghaib. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman yang
artinya:
“Sungguh telah Kami turunkan Ad-Dzikr dan sungguh Kami
akan menjaganya.” (Al-Hijr:
9)
2. Memahami Al Qur`an dan As Sunnah di atas pemahaman
para shahabat dan siapa saja yang selalu mengikuti mereka dengan baik. Sungguh
tidak ada keselamatan dari penyelewengan/kesesatan dalam memahami Al Qur`an dan
As Sunnah kecuali dengan cara ini. Kebanyakan firqah-firqah yang menyeleweng
dari jalan Allah disebabkan tidak adanya penyandaran kepada pemahaman para
Salafush Shalih. Dan Ahlus Sunnah adalah umat yang paling bahagia dengan
pemahaman para shahabat dan yang mengikuti mereka dengan baik.
3. Beramal dengan Al Qur`anul Karim dan As Sunnah yang
suci secara lahir dan batin sebagaimana yang telah diamalkan para shahabat dan
yang mengikuti mereka dengan baik.
Berjamaah dengan generasi pertama merupakan dasar
persatuan yang hakiki karena para shahabat merupakan pemimpin bagi umat yang
setelahnya dalam beragama. ‘Abbad bin ‘Abbad berkata: “Al Qur`an
adalah imam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam , dan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam adalah pemimpin bagi para shahabatnya, dan
shahabat-shahabat beliau adalah pemimpin bagi umat yang setelahnya.”
“Sungguh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan para shahabatnya telah memberikan
bimbingan. Barangsiapa yang mengambilnya maka hal itu adalah suatu sikap
membenarkan Kitabullah, penyempurnaan ketaatan, dan sebuah ketegaran dalam
beragama. Barang siapa mengambil petunjuk dengannya sungguh dia akan terbimbing
dan barangsiapa menolongnya maka dia akan ditolong. Siapa yang menyelisihinya
serta mengikuti selain dari jalan orang-orang yang beriman (para shahabat) maka
Allah akan palingkan dia sebagaimana dia telah berpaling dan akan masukkan dia
ke jahannam sebagai tempat kembali yang paling jelek.” (Min Washaya Salaf hal. 84-85)
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya:
“Dan barangsiapa yang menentang Ar-Rasul setelah jelas
baginya petunjuk dan mengikuti selain jalan orang-orang mukminin niscaya dia
Kami palingkan sebagaimana dia telah berpaling dan akan Kami masukkan dia ke
neraka jahannam sebagai sejelek-jelek tempat kembali.” (An-Nisa`: 115)
Abu Muhammad Abdullah bin Abi Zaid Al-Qairuwani
berkata: “Bimbingan As Sunnah harus diterima dengan tidak
membenturkannya dengan pikiran (akal) atau melawannya dengan qiyas. Kita harus
menafsirkan dengan apa yang telah ditafsirkan para Salafush Shalih, beramal
dengan apa yang telah mereka amalkan, meninggalkan apa yang telah
ditinggalkannya, dan menahan diri dari apa yang mereka diam, mengikuti mereka
pada apa yang telah mereka terangkan, menjadikan mereka sebagai qudwah dalam
pemahaman dari apa yang telah mereka alami, dan kita tidak keluar dari jamaah
mereka dalam perselisihan atau penafsiran.” (Al-Intishar li Ahlil Hadits hal. 87)
Ibnu Abi Zamanin berkata: “Sesungguhnya
As Sunnah adalah penjelas Al Quran dan As Sunnah tidak dapat diraih sekedar
dengan qiyas dan akal, akan tetapi diraih dengan ittiba’ (meneladani) kepada para imam dan
apa yang sebagian besar dari umat ini telah berjalan di atasnya. Allah
Subhanahu wa ta’ala telah menyebut dan memuji segolongan umat dengan
firman-Nya:
“Berilah kabar gembira para hamba-Ku yang mendengarkan
suatu ucapan kemudian mengikuti apa yang terbaik. Mereka adalah orang-orang
yang telah diberi petunjuk Allah dan mereka adalah orang-orang yang memiliki
akal.” (Az-Zumar:
18)
Dan Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan hambanya
dengan firman-Nya yang artinya:
“Ini merupakan jalan-Ku yang lurus maka ikutlah dan
janganlah kalian mengikuti berbagai jalan, niscaya kalian akan berpecah dari
jalan-Nya, hal itu merupakan wasiat bagi kalian semoga kalian bertaqwa.” (Al-An’am: 153) (Ushulus Sunnah
karya Ibnu Abi Zamanin hal. 35)
Al-Imam Al-Ashbahani berkata saat menerangkan posisi
shahabat dalam berjamaah (bersatu): “Barangsiapa menyelisihi para
shahabat Rasulullah dalam suatu perkara agama maka sungguh dia akan sesat.” (Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah,
2/440)
Al-Imam Al-Barbahari berkata: “Asas
ditegakkannya jamaah adalah para shahabat Nabi Muhammad -semoga Allah merahmati
mereka semua- dan mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Maka barangsiapa yang
tidak mengambil dari mereka maka sungguh telah sesat dan berbuat bid’ah, dan
setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan dan pelakunya tempatnya adalah
neraka.” (Syarhus
Sunnah hal. 68)
Berjamaah dengan pemahaman para shahabat merupakan
asas persatuan yang harus dijaga. Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam berkata: “Sesungguhnya
Ahlus Sunnah merasakan kedamaian yang sejuk di hati mereka, hal ini disebabkan
jelas dan kokohnya kebenaran di dalam hati mereka. Karena sesungguhnya lafadz
As Sunnah memberikan makna keharusan beramal dengan apa yang telah dibawa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam yaitu Al Qur`an dan As Sunnah. Adapun
lafadz al-jamaah maknanya adalah bersatu di atas al-haq, mengamalkannya dan
berjalan di atas jejak salaf.” (Al-Qaulul Hasan fi Ma’rifatil Fitan hal. 12)
Asy-Syaikh Shalih bin Abdil Aziz Alusy-Syaikh berkata:
“Merupakan suatu kewajiban untuk kita berpegang teguh dengan Ahlus Sunnah
wal Jamaah, berpegang dengan ucapan-ucapan mereka, tidak keluar dari
landasan-landasan, ketentuan-ketentuan dan dari apa-apa yang telah ditetapkan
dari para ulama, karena mereka mengetahui landasan-landasan Ahlus Sunnah wal
Jamaah, dalil-dalil syariah yang tidak diketahui kebanyakan dari umat manusia
bahkan juga mereka yang menisbatkan dirinya sebagai ulama. Hal ini dikarenakan
mantapnya ilmu mereka, sisi pandang yang tepat, dan kokoh di atas ilmu.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bahkan
berwasiat untuk memegangi petunjuk para shahabat:
“Hendaknya kalian pegangi sunnahku dan sunnah
Al-Khulafa` Ar-Rasyidin, gigitlah dia dengan gigi gerahammu dan hati-hati
kalian dari perkara yang diada-adakan sungguh setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Ahmad, 4/126, At-Tirmidzi
no. 2676, Abu Dawud no. 4607, Ibnu Majah no. 34)
Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin berkata: “Yang
dimaksud dengan Al-Khulafa` Ar-Rasyidin adalah mereka yang mewarisi ilmu yang
bermanfaat dan amalan yang baik. Dan umat yang paling berhak dengan sifat ini
adalah para shahabat yang Allah meridhai mereka. Sungguh Allah telah memilih
mereka untuk menyertai Nabi-Nya dalam menegakkan agama. Dan tidaklah Allah Yang
Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana memilih untuk menyertai Nabi-Nya kecuali
umat yang paling sempurna keimanannya, paling benar akalnya, paling lurus
amalannya, paling kuat tekadnya, paling lurus jalan mereka. Sungguh mereka
adalah umat yang paling berhak untuk diikuti setelah Nabi dan juga para imam
yang mengetahui petunjuk dan kebaikan.” (Fathur Rabbil Bariyyah bi Talkhisil Hamawiyyah
hal. 8 )
Menjauh dari pemahaman para shahabat merupakan
tindakan memecah persatuan sebagaimana yang dijelaskan Al-Imam Al-Barbahari: “Ketahuilah
semoga Allah merahmatimu! Sesungguhnya tidak sempurna Islam seseorang sehingga
dia menjadi orang yang muttabi’ (meneladani), membenarkan, menyerahkan/yakin.
Maka barangsiapa menganggap bahwa masih ada urusan agama yang tidak disampaikan
para shahabat Rasulullah kepada kita, sungguh dia telah menuduh mereka dengan
kedustaan. Dan cukup apa yang dia lakukan sebagai suatu sikap memisahkan diri
dan menikam mereka, maka dia telah berbuat bid’ah, sesat, menyesatkan, membikin
suatu perkara yang baru dalam agama yang bukan darinya.” (Syarhus Sunnah hal. 70)
Persatuan yang dilandasi dengan kesatuan akidah,
manhaj, akhlak serta kemurnian syariah merupakan rahmat Allah. Adapun
perpecahan adalah adzab. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, yang
artinya:
“Wajib bagi kalian berjamaah dan hati-hati dari
perpecahan. Sesungguhnya setan bersama orang yang menyendiri dan dia akan lebih
jauh apabila (kalian) berdua.” (HR. Ahmad, 1/18)
Dari Ibnu ‘Abbas , Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassalam bersabda:
“Tangan Allah bersama jamaah.” (HR. At-Tirmidzi no. 2127)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan berkata: “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan kita untuk bersatu di atas Al Kitab
dan As Sunnah serta melarang kita dari perpecahan dan perselisihan. Karena
dalam persatuan di atas Al Kitab dan As Sunnah terdapat kebaikan yang akan
didapatkan baik sekarang atau di masa yang akan datang, dan di dalam perpecahan
terdapat kerusakan baik sekarang atau di masa yang akan datang.
Hal ini membutuhkan perhatian yang besar karena dengan
berjalannya waktu, perpecahan, seruan-seruan, sempalan-sempalan sesat,
madzhab-madzhab, jamaah-jamaah yang saling berpecah belah akan semakin banyak.
Sehingga wajib atas seorang muslim untuk hati-hati. Apa yang sesuai dengan
Kitabullah dan Sunnah Rasulullah harus diambil dari yang menyerukan, siapun dia
karena al-haq merupakan sesuatu yang dicari seorang mukmin.
Adapun yang menyelisihi apa yang ada dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam maka tinggalkan dia walaupun itu ada pada
jamaahnya atau berada pada orang yang berloyalitas kepadanya, selama dia
menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah. Karena tentunya manusia menginginkan
keselamatan dan tidak menginginkan kebinasaan dan kehancuran untuk dirinya.
Tidak perlu dalam masalah seperti ini untuk berbasa-basi, karena
permasalahannya adalah antara jannah (surga) dan an-naar.
Manusia tidak perlu berbasa-basi, bersikap fanatik,
dan membela hawa nafsu dalam menghadapi selain Ahlus Sunnah wal Jamaah. Karena
hal itu akan bermudharat terhadap dirinya bahkan akan mengeluarkannya dari
jalan keselamatan menuju jalan kebinasaan. Tidak akan berbahaya bagi Ahlus
Sunnah wal Jamaah siapa saja yang menyelisihinya, baik saat engkau bersama
mereka atau saat engkau menyelisihinya. Saat mereka bisa bersamamu maka segala
puji bagi Allah, niscaya mereka akan bersuka cita dengannya, berarti mereka
menginginkan kebaikan untuk umat manusia. Tetapi saat engkau menyelisihinya
sungguh engkau tidak berbuat jahat kepadanya mereka. Oleh sebab itu Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda yang artinya:
“Terus akan ada segolongan dari umatku yang selalu
menang di atas kebenaran, tidak bermudharat bagi mereka orang-orang yang ingin
menghinakannya, hingga datang ketentuan dari Allah maka mereka tetap seperti
itu.” (HR.
Muslim no. 1920, Abu Dawud no. 4252, Ahmad, 5/109)
Sungguh seorang yang menyelisihi
(kebenaran) hanya berakibat kebinasaan terhadap diri sendiri. Dan bukanlah
kebenaran diukur dari banyaknya orang, namun diukur dari kecocokan terhadap
al-haq, walaupun yang berada di atasnya hanya segelintir orang. Bahkan walaupun
di suatu masa tidak ada umat manusia yang mengikutinya kecuali satu orang, maka
tetap dia dikatakan di atas al-haq dan dia berjamaah.” (Lamhah ‘Anil Firaq Adh-Dhallah
hal. 24-25)
Hal ini sebagaimana yang diucapkan oleh Ibnu Mas’ud: “Al-Jamaah
adalah yang mencocoki al-haq walaupun engkau sendiri.”
Menjaga persatuan dalam semua aspek kehidupan dengan
batasan dan ketentuan Al Qur`an dan As Sunnah yang dibangun di atas pemahaman
salaf merupakan kewajiban bagi Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dan hal ini terwujudkan
dengan:
1. Membangun persatuan dengan hanya mengharap wajah
Allah. Allah berfirman yang artinya:
“Tidaklah mereka diperintahkan kecuali supaya
memurnikan agama bagi-Nya.” (Al-Bayyinah: 5)
2. Memegangi tali Allah. Allah berfirman yang artinya:
“Berpeganglah kalian semua kepada tali Allah dan
janganlah kalian bercerai berai.” (Ali ‘Imran: 103)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Ketahuilah, sesungguhnya aku meninggalkan dua perkara
yang berat pada kalian, salah satunya Kitabullah k dan dia adalah tali Allah.
Barangsiapa mengikutinya dia berada di atas hidayah dan barangsiapa yang
meninggalkannya ia di atas kesesatan.” (Lihat Ash-Shahihah no. 2024 dan Shahihul Jami’ no.
4472)
3. Mengusung dan membela pemahaman para shahabat.
Ibnu Mas’ud berkata: “Barangsiapa
ingin mengambil uswah maka hendaknya mengambil uswah dari para shahabat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam . Mereka adalah umat yang paling bersih
hatinya, paling dalam ilmunya, tidak suka membebani diri, mendapatkan petunjuk
yang paling lurus, dan memiliki kondisi yang paling mulia. Suatu kaum yang
telah Allah pilih untuk menyertai Nabi-Nya, dan menegakkan agamanya. Ketahuilah
kemuliaan mereka dan ikuti jalan-jalan mereka. Sungguh mereka berada di atas
petunjuk yang lurus.” (Jami’
Bayanil ‘Ilm wa Fadhlihi, 2/97)
4. Membela dan menjaga kehormatan para Ulama Ahlus
Sunnah wal Jamaah.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari
hamba-hamba-Nya adalah para ulama.” (Fathir: 28)
“Bertanyalah kalian kepada
ahludz-dzikr apabila kalian tidak mengetahui.” (Al-Anbiya`: 7)
“Katakanlah: apakah sama antara mereka yang berilmu dan
mereka yang tidak berilmu?” (Az-Zumar: 9)
Al-Imam Al-Barbahari t berkata: “Hendaknya
kalian berpegang teguh dengan atsar-atsar dan para ulamanya. Bertanyalah kepada
mereka dan duduklah bersama mereka, serta raih ilmu dari mereka.”
Beliau juga berkata: “Takutlah kepada
Allah! Takutlah kepada Allah dalam dirimu! Hendaknya kamu berpegang dengan
atsar dan dan para ulamanya, hendaknya kalian mengikuti. Sesungguhnya agama itu
dengan mengikuti (ittiba’).”
Salamah bin Sa’id berkata: “Para ulama
adalah lentera yang dengannya umat akan mencari secercah cahaya.”
5. Menjaga jama’atul muslimin dan imam mereka.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Barangsiapa menginginkan bagian tengah dari jannah
maka hendaknya ia berpegang dengan jamaah.” (HR. Ahmad, 1/18)
6. Berkumpul di bawah satu amir (pemimpin). Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Barangsiapa taat kepadaku sungguh dia telah taat
kepada Allah dan barangsiapa bermaksiat kepadaku sungguh dia telah bermaksiat
kepada Allah. Dan barangsiapa patuh kepada amir sungguh dia telah patuh
kepadaku dan barangsiapa bermaksiat kepada amir maka sungguh dia telah
bermaksiat kepadaku.” (HR
Muslim,Syarah Shahih Muslim, 12/223)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Penguasa adalah naungan Allah di bumi, barangsiapa
memuliakannya maka sungguh dia telah memuliakan Allah dan barang siapa
menghinakannya maka sungguh Allah akan menghinakannya.” (Hasan, HR Ibnu Abi Ashim lihat
Silsilah Ash-Shahihah, 5/376)
Adapun ketaatan kita tentunya dalam perkara yang baik.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Mendengar dan patuh merupakan kewajiban baik dalam
perkara yang disukai atau dibenci, selama tidak diperintahkan dalam kemaksiatan
dan apabila diperintahkan dengan kemaksiatan maka tidak didengarkan dan jangan
dipatuhi.”
Umat dahulu selalu terpecah, karena sikap dan perilaku
mereka yang menjauh dari ittiba’ (tunduk untuk meneladani). Berikut ini
beberapa sebab perpecahan yang harus dijauhkan dalam kehidupan Muslimin:
1. Mengikuti hawa nafsu.
Mengikuti hawa nafsu merupakan sumber bencana yang
akan menyeret dalam berbagai noda kehidupan. Allah Subhanahu wa ta’ala
berfirman yang artinya:
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa
nafsunya menjadi sesembahan dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmunya
dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya, dan meletakkan tutup di
atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberikannya petunjuk sesudah
Allah, tidakkah kalian mengingat.” (Al-Jatsiyah: 23)
Ikrimah berkata: “(Makna ayat ini adalah) menyembah
apa yang diinginkan hawa nafusnya atau yang dianggap baik. Apabila dia sudah
menganggap baik (hawa nafsunya) maka sungguh dia telah mengambil sebagai
sesembahan.”
“Dan siapakah yang lebih sesat daripada yang mengikuti
hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah.” (Al-Qashash: 50)
“Dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ia
akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (Shad: 26)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bahkan
berlindung dari kemungkaran hawa nafsu:
“Ya Allah, jauhkan kami dari kemungkaran akhlak, hawa
nafsu, dan penyakit.”
(As-Sunnah, Ibnu Abi ‘Ashim: 12)
Ibnu ‘Abbas c berkata: “Setiap hawa
nafsu adalah sesat.”
Abul ‘Aliyah berkata: “Aku tidak
tahu mana anugrah yang lebih besar bagiku, apakah saat aku dibimbing Allah dari
kesyirikan menuju Islam ataukah ketika Allah menjaga keislamanku dari berbagai
hawa nafsu?”
Al-Imam Al-Barbahari t berkata: “Semua hawa
nafsu adalah jelek dan akan menyeru kepada pemberontakan.”
Al-Imam Asy-Syathibi berkata: “Mengikuti hawa nafsu
adalah sikap menyeleweng dari Shirathil Mustaqim.” (Al-I’tisham: 401)
2. Kebodohan/jahil dalam memahami
kandungan makna Al Qur`an, As Sunnah, atsar-atsar para shahabat, atsar tabi’in, dan atsar
para ulama Ahlus Sunnah yang diikuti tanpa difahaminya kaidah-kaidah fiqhiyyah
yang akan menyempurnakan ilmu mereka. Juga minimnya ilmu ushul fiqih, al-’amm,
al-khash, al-muthlaq, al-muqayyad, an-nasikh wal mansukh, al-manthuq,
al-mafhum, asbaabun nuzul, dll.
Perkara ini akan menjebak mereka sehingga terjatuh
dalam berbagai pemahaman yang batil, bahkan membangun keyakinan di atas
prasangka (dugaan).
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirma, yang artinya:
“Sesungguhnya dia (setan) menyuruh kalian berbuat jelek
dan keji, dan kalian berkata atas nama Allah dengan tanpa ilmu.” (Al-Baqarah: 169)
“Dan janganlah kamu berkata dengan tanpa ilmu.”
(Al-Isra: 36)
Al-Imam Al-Auza’i berkata: “Ilmu adalah
apa yang telah datang dari shahabat-shahabat Nabi Muhammad . Dan sesuatu yang
tidak datang dari mereka bukan dinamakan ilmu.”
Sungguh suatu pribadi yang mulia dan sikap
kehati-hatian yang tinggi saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam berkata:
“Sesungguhnya aku adalah manusia, apabila aku
perintahkan kalian dengan sesuatu perkara agama maka ambillah. Dan apabila aku
perintahkan kalian dengan sesuatu yang itu adalah hasil pikiranku maka
ketahuilah bahwa aku adalah manusia.” ( Shahih, HR. Muslim)
‘Umar bin Al-Khaththab ra berkata: “Hati-hati
kalian dari ashhabur ra`yi (pengagum akal). Sesungguhnya mereka adalah
musuh-musuh As Sunnah. Mereka tidak mampu/lemah untuk menghafal hadits-hadits,
sehingga mereka berkata dengan akal. Sesatlah mereka dan menyesatkan.” (Ushulus Sunnah karya Ibnu Abi
Zamanin hal. 25 dan Al-Lalikai dalam Syarh Ushululil I’tiqad, 1/123)
Ibnu Mas’ud berkata: “Telah pergi
(hilang) para pembaca dan ulama kalian, sehingga manusia mengambil para
pemimpin bodoh, yang hanya mengiyakan suatu perkara dengan akal.” (Jami’ Bayanil ‘Ilm wa Fadhlih,
2/136)
Abu Bakr bin Abi Dawud berkata: “Tinggalkan
oleh kalian pendapat-pendapat dan ucapan-ucapan orang, sungguh ucapan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam lebih suci dan lebih jelas.” (Jami’ Bayanil ‘Ilm wa Fadhlih,
2/135)
Ibnul Mubarak ditanya: “Kapan
seseorang boleh berfatwa?” Beliau menjawab: “Ketika dia berilmu tentang atsar dan berakal dengan
baik.” (Jami’
Bayanil ‘Ilm wa Fadhlih, 2/47)
Al-Imam Asy-Syafi’i berkata: “Semua perkara yang telah
Allah tegakkan sebagai Hujjah di dalam Al-Kitab (Al-Quran) atau yang melalui
lisan Nabi-Nya merupakan suatu nash yang jelas tidak boleh bagi orang yang
telah berilmu untuk menyelisihinya.” (Ar-Risalah hal. 560)
Muhammad bin Salamah berkata: “Tidak boleh
bagi seseorang yang tidak berilmu tentang Al-Quran, As-Sunnah, dan apa yang
telah dilakukan oleh generasi yang dahulu dari ulil amr (Ulama Salaf) untuk
berijtihad dengan akalnya, sehingga mengakibatkan ijtihadnya menyelisihi
Al-Quran dan As-Sunnah serta apa yang telah di sepakati.”
Al-Imam Al-Barbahari berkata: “Ketahuilah
semoga Allah merahmatimu! Sungguh siapa yang berkata dalam agama Allah dengan
akal, qiyas dan takwil tanpa menyertakan hujjah dari As Sunnah dan Al-Jamaah
(bimbingan shahabat) maka sungguh dia telah berkata atas nama Allah tanpa ilmu
dan barangsiapa yang berkata atas nama Allah tanpa ilmu, maka sungguh dia
termasuk orang yang membebani diri.”
Tegar di atas ilmu yang benar serta membangun
kewaspadaan dalam beramal adalah pondasi persatuan yang kokoh.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Maka hendaklah orang-orang yang menyelisihi
perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (An-Nur: 63)
Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat di atas: “Akan
ditimpakan dalam hati mereka kekufuran, kemunafikan, atau kebid’ahan.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/373)
Asy-Syaikh As-Sa’di berkata: “(Maknanya
adalah) kesyirikan dan kejelekan.”
Kebodohan terhadap dasar-dasar ilmu (ushulul ‘ilm)
merupakan bencana yang akan mencabik-cabik persatuan yang hakiki dan ahlul
bid’ah merupakan benalu yang meracuni persatuan.
Ibnu Baththah berkata: “Semoga Allah
menyelamatkan kami dan kalian semuanya dari pemikiran-pemikiran yang muncul
dari hawa nafsu yang selalu mengekor dan madzhab-mazdhab yang bid’ah. Sungguh
pelakunya telah keluar dari persatuan menuju percerai-beraian, dari suatu
kestabilan menuju perpecahan, dari kedamaian menuju ketakutan, dari kesepakatan
menuju perselisihan, dari cinta menjadi kebencian, dari keikhlasan nasehat dan
loyalitas menjadi kecurangan dan permusuhan. Dan semoga kami dan kita semua
dilindungi dari berloyalitas terhadap segala bentuk nama/gerakan yang menyelisihi
Islam dan As Sunnah.”
3.Mengikuti suatu yang mutasyabih
(samar)
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada
kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk
menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya.” (Ali ‘Imran: 7)
Asy-Syaikh As-Sa’di berkata: “Adapun orang-orang yang
di hatinya ada penyakit, penyimpangan, penyelewengan yang dikarenakan jeleknya
tujuan, maka mereka mengikuti suatu yang mutasyabih darinya (Al Qur`an) kemudian
menjadikannya dalil atas ucapan mereka yang batil dan pemikirannya yang hina,
dalam rangka mencari fitnah dan menyelewengkan pemahaman terhadap Kitab-Nya,
serta mentakwilkannya sesuai dengan aliran dan madzhab mereka yang batil
sehingga mereka sesat dan menyesatkan. Adapun para ulama yang kokoh (ilmunya)
terhadap Al Qur`an, yang ilmu dan keyakinan menancap di dada mereka sehingga
melahirkan baginya suatu amalan dan berbagai pengetahuan. Mereka mengetahui
bahwa Al Qur`an semuanya datang dari Allah, semuanya haq, baik yang muhkam atau
yang mutasyabih. Dan suatu yang haq tidak akan bertentangan. Ketika mereka
mengetahui dan memahami makna al-muhkam dengan sebenar-benarnya sehingga mereka
mampu mengembalikan suatu yang samar kepadanya (al-muhkam), yang sebelumnya
merupakan suatu yang rumit dikarenakan kurangnya ilmu dan kurangnya
pengetahuan. Saat mereka mengembalikan suatu yang mutasyabih kepada al-muhkam,
maka semuanya menjadi al-muhkam.”
Kaum pengekor hawa nafsu selalu mencari sesuatu yang
samar atau belum jelas, sebagai pijakan untuk memperkuat kebatilan. Sehingga
persatuan yang mereka bangun bagai merajut benang dalam kegelapan.
Terperosoknya orang-orang Khawarij disebabkan mereka mengambil suatu keyakinan
dari sesuatu yang belum jelas bagi mereka.
Al-Imam Asy-Syathibi berkata: “Yang
menjelaskan perkara ini adalah, apa yang telah diriwayatkan Ibnu Wahb dari
Bukair, sesungguhnya dia telah bertanya kepada Nafi’ bagaimana pendapat Ibnu
‘Umar tentang Haruriyah (Khawarij)? Beliau berkata: Ia memandang mereka sebagai
orang yang terjelek di antara makhluk Allah. Mereka mengambil ayat-ayat yang
diturunkan kepada orang-orang kafir dan diarahkan kepada orang-orang yang
beriman. Sa’id bin Jubair menerangkan perkara ini dengan berkata: Haruriyah
mengikuti sesuatu yang mutasyabih dari firman Allah: “Barangsiapa yang tidak
berhukum dengan apa-apa yang telah diturunkan Allah maka mereka adalah
orang-orang kafir” dan digandengkan dengan: “Kemudian orang-orang yang kufur
menyeleweng dari Rabb mereka.” Apabila mereka melihat pemimpin yang tidak
berhukum dengan al-haq, mereka berkata: ‘Telah kufur, telah kufur, menyeleweng
dari Rabbnya, dan barang siapa yang menyeleweng dari Rabbnya sungguh dia telah
musyrik, maka mereka orang-orang musyrik telah keluar dari umat (Islam).’ Mereka
perangi siapa saja yang menyelisihinya, dengan mentakwilkan ayat ini.”
4. Ta’ashshub dan Hizbiyyah
Sebuah loyalitas mutlak hanya untuk al-haq. Allah
Subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya:
“Katakanlah, inilah jalan agamaku. Aku dan orang yang
mengikutiku mengajak kamu kepada Allah dengan bashirah (ilmu) maha suci Allah
dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (Yusuf: 108)
Ahlus Sunnah akan selalu berupaya komitmen terhadap
al-haq yang telah diserukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan
diamalkan para shahabatnya. Adapun seruan hizbiyah yang menggaung di tengah-tengah
umat saat ini dengan mengajak kepada golongan, kelompok, partai, dan menjauh
dari bimbingan serta manhaj salaf, maka hakekatnya mereka adalah penyeru kepada
perpepecahan dan perselisihan. Kita bisa melihat bagaimana NII, Ikhwanul
Muslimin, Jama’atut-Tabligh, Jama’atut-Takfir wal Hijrah, Islam Jama’ah (LDII),
JIL, Al-Qaeda dll, membingungkan umat dengan berbagai konsep yang notabene
adalah suatu kaum yang mengajak bernafas dalam lumpur.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya:
“Yaitu orang-orang yang memecah belah
agama mereka, dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa
bangga dengan apa yang di golongan mereka.” (Ar-Rum: 32)
Asy-Syaikh As-Sa’di berkata dalam menafsirkan ayat di
atas: “Setiap golongan akan berkelompok dan ber-ta’ashshub,
untuk membela apa yang dimiliki dari kebatilan, menggilas dan memerangi yang
lain.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam berkata:
“Seruan fanatisme terhadap tokoh tertentu, merupakan perkara yang tertolak
menurut syariat Allah, walaupun diiringi dengan kalimat-kalimat yang
mempersatukan berbagai firqah tanpa melihat akidah dan manhaj, bahkan tanpa
mempedulikan bimbingan para ulama salaf. Ini merupakan seruan hizbiyah yang
jauh dari makna persatuan yang sebenarnya.
Sebagaimana terjadi pada Ikhwanul Muslimin, Asy-Syaikh
Tsaqil bin Shalfiq berkata: “Sungguh keberadaannya membawa
perpecahan di antara kaum muslimin, hizbiyah, permusuhan, pertentangan,
fanatisme golongan, serta mengikat tali loyalitas dengan fanatik pada golongan
(tak peduli) siapapun mereka baik seorang Asy’ari, Rafidhah, Sufi, pengkultus
kuburan, dan melepaskan ikatan tali loyalitas terhadap mereka yang tidak
bergabung dengan partainya walupun mereka adalah ulama Sunni.”
Beliau juga berkata: “Muncul di
zaman ini jamaah-jamaah dan berbagai golongan yang menisbatkan dirinya kepada
As Sunnah dan dakwah di jalan Allah seperti Ikhwanul Muslimin dan berbagai
sempalannya seperti Jamaah Takfir wal Hijrah, atau para pengikut Sayyid Quthub
yang dipelopori dalam mengibarkan panjinya oleh Muhammad Surur Zainal Abidin
yang meninggalkan negeri Islam dan “hijrah” ke negeri kafir, negara gereja dan
salibis serta merasa tenang menetap di sana (Birmingham, Inggris). Kemudian dia
meniupkan berbagai konsep yang busuk dan memecah kekuatan kaum muslimin,
menikam para ulama, mengacau para hukkam (penguasa) dengan serial majalahnya
yang bernama As-Sunnah (menurut versi mereka) yang diikuti dengan mencetak
berbagai tulisan yang merendahkan karya para ulama salaf, yang kemudian jejak
dan langkah ini diikuti oleh segolongan orang yang menyangka bahwa mereka
adalah penuntut hak-hak yang syar’i bagi kaum muslimin dan pembela dari
berbagai kedzaliman. Yang seakan-akan negara ini (Arab Saudi) tidak memiliki
mahkamah-mahkamah syar’iyyah dan ulama-ulama yang adil dan jujur!”
“Sebagian umat tidak memperdulikan akidah dan manhaj
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam . Bahkan mereka menempuh prinsip dan
akidah lain yang hakikatnya adalah produk setan bagi orang yang Allah hinakan
dari seorang mubtadi’ dan penyesat.”
Macam-macam Khilaf
Memahami macam-macam perselisihan merupakan lentera
yang penting bagi seorang Ahlus Sunnah, sehingga mereka tidak terjatuh dalam
sikap yang salah, baik dalam meletakkan loyalitas dan permusuhan, cinta karena
Allah dan benci karena Allah.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam berkata: “Macam-macam
khilaf yang masyhur ada tiga:
1. Ikhtilaf Tadhadh yaitu khilaf yang menabrak/melawan
nash-nash. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada firqah-firqah yang keluar dari
Ahlus Sunnah.
2. Ikhtilaf Tanawwu’: Ini merupakan bagian dari
syariat.
3. Ikhtilaf Afham (beda pemahaman): Hal ini
diperbolehkan selama mengikuti ketentuan/batasan syariat, di antaranya:
1. Orang yang menyelisihi berada di atas jalan Ahlus
Sunnah wal Jamaah, baik dalam ilmu, ta’lim, dan amalan.
2. Tidak memperbanyak perbedaan dari sesuatu yang
telah diamalkan Ahlus Sunnah.
3. Kembali (ruju’) kepada al-haq ketika telah jelas
kesalahan-kesalahannya.
4. Termasuk golongan yang sudah memiliki keahlian
dalam berijtihad.
Hendaknya ketentuan-ketentuan ini (berjalan) di bawah
pengamatan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdillah mencontohkan ikhtilaf
tanawwu’, di antaranya adalah macam-macam qira`at (bacan-bacaan Al Qur`an),
sebagaimana yang telah terjadi terhadap para shahabat, sehingga Rasulullah
menegur mereka: “Kalian berdua adalah benar!” Juga perbedaan dalam sifat adzan,
sifat iqamah, doa istiftah, dll
Jenis khilaf yang kedua dan ketiga seharusnya dihadapi
dengan dada yang lapang, saling mengasihi dan memberikan nasehat karena Allah.
Adapun yang tercela adalah saat kita berbuat dzalim kepada setiap orang yang
berselisih (dalam kriteria 2-3) dengan kita, karena hal ini akan meniup api
dalam sekam.
Apabila al-haq nampak dan jelas, tidak boleh bagi
seorang muslim untuk berselisih. Ibnu ‘Abbas c meriwayatkan: Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam berkata saat beliau dalam keadaan sakit yang
menjadikan beliau wafat: “Berikan kepadaku satu kitab, aku tuliskan untuk
kalian suatu kitab niscaya kalian tidak akan berselisih!” Maka terjadi
perselisihan di kalangan para shahabat, sehingga beliau berkata: “Pergilah
kalian dariku, sungguh tidak pantas berselisih di sisi Nabi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Akibat dari perpecahan adalah:
1. Mengagungkan hawa nafsu.
2. Mewariskan permusuhan, perselisihan, pertentangan
dan kebencian.
3. Menjauhkan mereka dari pondasi yang telah dibawa
oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam .
4. Membangun akidah, agama secara keseluruhan dengan
akal.
5. Merendahkan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Wallahu a’lam bish-shawab. Semoga Allah selalu
mencurahkan rahmat-Nya kepada kita dan menyatukan kita dalam suatu keutuhan di
atas Al Qur`an dan As Sunnah dengan pemahaman para shahabat, dan semoga Allah
satukan kita di jannah-Nya. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar