Dalam kitab Tarikh Al Islam karya Adz
Dzahabi, dikisahkan seorang pencuri memasuki rumah Malik bin Dinar RA.
Tapi pencuri itu tak mendapatkan apapun yang berharga di dalam rumah
itu, dan ia pun keluar. Sebelum keluar, pencuri itu dipanggil oleh Malik
Bin Dinar RA. “Assalammu’alaikum…” ujar Malik. Pencuri itu menjawab,
“Wa’alaikumussalam. “Malik mengatakan, “Engkau tidak dapatkan sedikitpun
dari dunia disini, apakah engkau menginginkan sesuatu dari dunia di
sini, apakah engkau menginginkan sesuatu dari akhirat?” Pencuri itu
menjawab, “Ya”. “Kemari, berwudhulah dari tempat air ini, lalu shalatlah
dua rakaat. “Setelah selesai shalat, Malik bin Dinar mengatakan,
“Tinggalah disini sampai pagi hari besok.” Si pencuri itupun setuju. Di
waktu shubuh, ketika Malik bin Dinar pergi ke masjid, para sahabatnya
bertanya, “siapa yang berjalan bersamamu ini?” Sambil tersenyum, Malik
bin Dinar mengatakan, “Kemarin ia datang ingin mencuri, tapi ternyata
sekarang aku yang mencuri dirinya.” Apa yang kita petik dari peristiwa
“aneh” ini?
Saudaraku,
Daya tarik akhlak islam begitu hebat.
Keindahan akhlak Islam begitu memiliki kekuatan perubah yang dahsyat.
Benar-benar contoh yang indah yang menunjukkan bagaimana akhlak seorang
Muslim, dapat merubah keburukan menjadi kebaikan. Ya, ingin mencuri,
tapi kebalikannya justru “dicuri”. Masih dalam kitab yang sama,
dituliskan pula peristiwa “aneh” tentang keagungan akhlak umat Islam
yang ternyata memiliki pengaruh luar biasa di masyarakatnya ketika
mereka hidup. Dikisahkan, Imam Abu Hanifah rahimahullah, mempunyai
tetangga yang berhutang padanya. Tetangga tersebut adalah orang Majusi.
Suatu hari, Abu Hanifah pergi ke rumah orang tersebut untuk menagih
pembayaran hutangnya. Ketika tiba di depan rumah Majusi, tiba-tiba saja
sandal Imam Abu Hanifah terkena najis. Imam Abu Hanifah menggerakkan
sandalnya untuk menghilangkan najis itu. Tapi ternyata, najis itu malah
terlempar ke tembok rumah Majusi. Abu Hanifah Rahimahullaj ragu. “Bila
aku tinggalkan najis ini seperti itu, pasti akan memperburuk tembok
milik Majusi. Tapi bila aku bersihkan, aku khawatir bagian dari tembok
milik Majusi akan terkikis, “ seperti itu gumam Abu Hanifah di dalam
hati. Ia laluo mengetuk pintu rumah Majusi, yang kemudian dibukakan oleh
seorang pembantu. “Sampaikan pada tuanmu, Abu Hanifah ada di depan
pintu,” ujar Abu Hanifah kepadanya. Karena Majusi menduga Abu Hanifah
akan menagih hutang, si Majusi tidak mau keluar. Abu Hanifah
rahimahullah lalu bersuara agak keras, “Ada yang lebih penting dari
sekedar menagih hutang.” Saat si Majusi keluar, Abu Hanifah bercerita
tentang najis yang mengenai rumah si Majusi dan menanyakan bagaimana
cara membersihkannya. Si Majusi terdiam lalu mengatakan, “Saya yang
harus lebih dahulu membersihkan diri.” Si Majusi setelah itu segera
menyatakan masuk Islam di depan Imam Abu Hanifah rahimahullah.
Saudaraku,
Benar-benar seperti tak ada beban untuk
berkorban dan memberikan sesuatu kepada orang lain. Nyaris seperti tak
ada ego dan keakuan dalam hidup mereka. Meski tetap meminta haknya, tapi
umat Islam di zaman akhlak mulia itu, tidak melakukannya dengan
kesombongan apalagi pemaksaaan. Seperti tak ada keinginan yang
menyangkut pribadi di sana, kecuali dalam hal-hal yang sifatnya mendasar
saja. Coba perhatikan lalu bagaimana kisah yang disampaikan Abu Ubaidah
At Taaji, bercerita, “Ketika kami di majelis Hasan Al Bashri ada
seseorang yang berdiri dan mengatakan, “Wahai Abu Sa’id (panggilan Hasan
Al Bashri, di majelismu ada orang yang sengaja datang untuk
mencari-cari kesalahanmu saat menyampaikan sesuatu. “Hasan Al Bashri
mengatakan, “Aku sangat mendambakan apa yang ada di sisi Allah dan aku
sudah merasa puas dengan itu. Aku juga sangat berharap itu. Aku sangat
ingin memberi kedamaian di antara manusia, tapi aku merasa belum puas
untuk itu.”
Saudaraku,
Keberadaan kita, sebagai Muslim, memang
harus memberi sesuatu yang bermanfaat bagi lingkungan. Keberadaan kita,
sebagai Mukmin, tak boleh sama dengan tidak ada. Terlalu banyak dalil Al
Qur’an dan hadits yang mendorong kita untuk memiliki peran-peran di
masyarakat, yang otomatis menganjurkan kita untuk berkorban demi
kemaslahatan orang banyak ketimbang pribadi. Mari renungi sebuah hadits
Qudsi yang menekankan peran-peran kita berikut ini. Abu Hurairah ra
menuturkan hadits itu kepada kita. “Rasulullah saw bersabda,
“Sesungguhnya Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar berfirman pada hari
kiamat, “Wahai anak Adam, aku sakit tapi mengapa kamu tidak
menjenguk-Ku?” Ia berkata, “Ya Rabb, bagaimana mungkin aku menjenguk-Mu,
sedangkan Engkau adalah Rabbul ‘alamiin?” Allah swt berfirman,
“Tidakkah kamu tahu bahwa si fulan hambaKu sakit, mengapa engkau tidak
menjenguknya, niscaya engkau akan mendapati Aku disisinya.” “Wahai anak
Adam, aku minta makan kepadamu tapi mengapa kami tidak memberi makan
kepada-Ku?” Ia berkata, “Ya Rabb, bagaimana mungkin aku memberi makan
kepada-Mu, sedangkan Engkau Tuhan Semesta Alam?” Allah berfirman,
“Apakah engkau tidak tahu bahwa hamba-Ku si fulan minta makan kepadamu,
tapi mengapa engkau tidak memberi makan kepadanya? Apakah kamu tidak
tahu bahwa seandainya kamu memberi makan kepadanya, niscaya kami akan
mendapatkannya disisi-Ku.” Wahai anak Adam, aku minta minum kepadamu
tapi mengapa kamu tidak memberi-Ku minum?” Ia berkata, “Ya Rabb,
bagaimana mungkin aku memberi minum kepada-Mu padahal Engkau adalah
Tuhan semesta alam?” Allah berfirman, “Hambaku si fulan minta minum
kepadamu, tapi kenapa engkau tidak memberinya minum? Sungguh, seandainya
kamu memberi minum kepadanya, niscaya kamu mendapati di sisi-Ku.” (HR.
Muslim)
Saudaraku,
Apa yang sudah kita lakukan untuk orang-orang sekitar kita?
***&&***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar