Assallamua’allaikum
warahmatullahi wabarakatuh
Apabila kita
paham bahwa keIslaman seseorang atau dengan kata lain seseorang tidak dikatakan
muslim, tidak dikatakan mukmin adalah kecuali kalau kafir terhadap thaghut dan
iman kepada Allah, maka selanjutnya… sebelum kita mengupas lebih banyak apa
maknanya, maka terlebih dahulu harus kita ingat bahwa segala amal ibadah; baik
itu shalat, zakat, shaum, haji, i’tikaf, shalat tarawih dan yang lainnya tidak
akan Allah terima, tidak akan Allah balas kalau orangnya belum muslim, belum
mukmin. Maksudnya di sini adalah muslim… mukmin yang sebenarnya ~bukan
pengakuan saja~, yaitu muslim yang merealisasikan Laa ilaaha illallaah karena
para ulama menjelaskan dari uraian-uraian yang tadi mereka mengatakan: “Para
ulama sepakat, bahwa orang yang memalingkan satu macam ibadah kepada selain
Allah, maka dia itu orang musyrik walaupun dia shalat, zakat, shaum, mengaku
muslim dan mengucapkan Laa ilaaha illallaah”
Allah hanya
akan menerima amal shalih yang dilakukan seseorang dengan syarat orang tersebut
merealisasikan Laa ilaaha illallaah (kafir terhadap thaghut dan iman kepada
Allah) karena orang tidak dikatakan muslim dan tidak dikatakan mukmin, kecuali
kalau kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah atau merealisasikan Laa
ilaaha illallaah.
Mari kita
ambil beberapa ayat yang menerangkan bahwa amal shalih tidak akan Allah balas
kalau orangnya (pelakunya) tidak kafir terhadap thaghut.
1. Allah
Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan barangsiapa
mengerjakan amal kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan sedang dia itu
mukimin, maka mereka itu akan masuk surga dan mereka tidak dizhalimi
sedikitpun” (QS. An-Nisa [4]: 124)
Perhatikanlah
ayat “dia itu mukmin”.. sedangkan orang tidak dikatakan mukmin, kecuali orang
tersebut kafir terhadap thaghut, karena ~seperti yang sudah dijelaskan~ pintu
masuk Islam adalah Laa ilaaha illallaah dan maknanya adalah kafir terhadap
thaghut dan iman kepada Allah.
Ayat ini
menjelaskan bahwa Allah akan memberikan balasan surga dan tidak sedikitpun
mengurangi amal shalih yang dilakukan seseorang baik itu laki-laki ataupun
perempuan dengan syarat dia mukmin, sedangkan orang yang melakukan shalat,
zakat, shaum, haji, jihad dan yang lainnya namun dia ternyata tawalliy kepada
thaghut atau masih melakukan kemusyrikan atau yang lainnya yang melanggar Laa
ilaaha illallaah, maka balasan tadi tidak akan diberikan karena Allah
mengatakan “sedang dia itu mukmin” sebagai syaratnya.
2. Allah
Ta’ala berfirman:
“Barangsiapa
mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan sedang dia itu mukmin,
maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri
balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.(QS.
An-Nahl [16]: 97)
Amal shalih
yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan akan ada balasannya dari Allah,
akan tetapi ada syaratnya yaitu: “sedang dia itu mukmin”. Orang mukmin yaitu
yang merealisasikan keimanan yang intinya ada dalam makna kandungan Laa ilaaha
illallaah (kafir terhadap thaghut dan iman kepada Allah)
Dua ayat di
atas sama, semuanya tentang amal shalih, ada balasan di ujungnya, sedang di
tengahnya ada syarat: “sedang dia itu mukmin”.
3. Allah
Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
Dan
barangsiapa mengerjakan kebajikan sedang dia itu mukmin, maka dia tidak
khawatir akan perlakuan zhalim terhadapnya dan tidak (pula khawatir) akan
pengurangan haknya”. (QS. Thaha [20]: 112)
Orang yang
melakukan amal shalih tidak akan dizhalimi oleh Allah, dan tidak akan dikurangi
pahalanya tapi ada syaratnya: “sedang dia itu mukmin” orangnya mukmin, orangnya
(pelakunya) itu kafir terhadap thaghut atau menjauhi thaghut dan ibadah hanya
kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebaliknya jika orang melakukan amal shalih,
tapi tidak menjauhi thaghut maka amalnya tidak akan diberikan balasan oleh
Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
4. Allah
Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
Barangsiapa
yang mengerjakan kebajikan sedang dia itu mukmin, maka usahanya tidak akan
diingkari (sia-sia) dan sungguh Kami akan mencatat untuknya” (QS. Al-Anbiyaa
[21]: 94)
Amal shalih
yang dilakukan seseorang akan dicatat oleh Allah ‘Azza Wa Jalla dan tidak akan
diingkari-Nya dengan syarat: “sedang dia itu mukmin”. Berarti kalau seseorang
melakukan amal shalih akan tetapi belum merealisasikan ”kafir terhadap thaghut
dan iman kepada Allah” (Laa ilaha illallaah) maka tidak akan dicatat oleh Allah
Subhanahu Wa Ta’ala.
5. Allah
Tabaraka Wa Ta’ala berfirman:
“Barangsiappa
mengerjakan kebajikan baik laki-laki maupun perempuan sedang dia itu mukmin maka
mereka akan masuk surge, merea diberi rizqi di dalmnya tanpa batas”. (QS Al
Mu’min: 40)
Ada balasan
surga dan ada balasan terhadap amal shalih yang dilakukan oleh setiap individu
insan dengan syarat: “Sedang ia itu mukmin”
6. Allah
Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Barangsiapa
menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh
sedang dia itu mukmin, maka mereka itulah orang yang usahanya dibalas dengan
baik. (QS. Al Isra [17]: 19)
Amal shalih
yang dilakukan seseorang akan dibalas oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan
syarat: “sedang dia itu mukmin”
7. Allah
Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Barangsiapa
datang kepada-Nya dalam keadaan beriman dan telah mengerjakan kebajikan, maka
mereka itulah orang yang memperoleh derajat yang tinggi” (QS. Thaahaa [20]: 75)
Allah
janjukan surga atas amal shalih yang dilakukan seseorang dengan syarat dia itu
mukmin. Dia iman kepada Allah dan kufur kepada thaghut.
Semua
ayat-ayat di atas dengan jelas dan tegas menjelaskan bahwa sekedar orang shalat,
zakat, haji dan yang lainnya belum tentu dia itu muslim kalau dia belum
merealisasikan Laa ilaaha illallaah.
Dan yang
harus diperhatikan adalah bahwa ajaran yang paling pokok di dalam Islam ini dan
yang paling nikmat adalah bila seseorang telah mendapatkan karunia-Nya adalah
ketika dia memahami dan bisa mengamalkan kandungan Laa ilaaha illallaah.
Ketika
Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam mendakwahkan Laa ilaaha illallaah,
sebelum diangkat menjadi Rasul yang mana digelari oleh masyarakat sekitarnya sebagai
Al-Amin (orang yang jujur lagi terpercaya), tetapi ketika mendakwahkan Laa
ilaaha illallaah maka gelar itu berubah menjadi: “Tukang sihir lagi pendusta”
(QS. Shaad: 4) “Penya’ir Gila” (QS. Ash Shaaffat: 36) dan dalam ayat yang lain
dikatakan “sesat”. Semua perubahan ini terjadi karena Laa ilaaha illallaah.
Tidak
mungkin orang sekedar mengucapkan Laa ilaaha illallaah langsung dikatakan:
gila, pendusta, penya’ir gila… melainkan ketika mengamalkan konsekuensi Laa
ilaaha illallaah. Rasulullah dilempari, dicekik, Bilal disiksa, Sumayyah
dibunuh, Yasir dibunuh, Ammar disiksa dan karena mendapat intimidasi yang
dahsyat, maka para shahabat yang lainnya diizinkan hijrah ke Habasyah
(Ethiopia), meninggalkan kampung halaman, rumah, harta benda, mengarungi padang
pasir yang luas dan mengarungi lautan yang jauh untuk menyeberang ke Benua
Afrika, karena apa…? Karena mempertahankan Laa ilaaha illallaah.
Andaikata
Laa ilaha illallaah itu hanya sekedar mengucapkan tanpa ada konsekuensi logis
yang dituntut oleh kalimat tersebut pada realita kehidupan, maka tidak mungkin
terjadi apa yang menimpa mereka.
Sekarang
misalnya kita mengucapkan Laa ilaaha illallaah di hadapan thaghut maka kita
tidak akan diapa-apakan. Akan tetapi ketika mengamalkan kandungan Laa ilaaha
illallaah maka akan terjadi apa yang (mesti) terjadi berupa: orang-orang
menggunjing, orang-orang menjauhi dan mencela kita, dan bahkan thaghut mengejar
dan memenjarakan itulah yang terjadi ketika kita mengamalkan konsekuensinya.
Nabi Nuh
‘alaihissalam ketika mendakwahkan Laa ilaaha illallaah memakan waktu yang
sangat lama, karena beratnya sehingga kaumnya menolak: “Dan sungguh kami telah
mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal bersama mereka selama seribu tahun
kurang lima puluh tahun” (QS.Al-Ankabuut: 14) Nabi Nuh ‘alaihissalam dalam
waktu sekian lama hanya mempunyai pengikut sebanyak 40 orang -sebagaimana yang
dikatakan sebagian ulama- disebabkan beratnya kandungan Laa ilaaha illallaah.
Sekarang,
shalat tidak dilarang di manapun, baik orang kafir ashliy atau orang kafir
murtad atau thaghut tidak melarang shalat, bahkan shalat dianjurkan, shaum bagi
mereka adalah penghematan, haji bagi mereka menambah pendapatan negara, akan
tetapi… ketika mengamalkan kandungan Laa ilaaha illallaah, maka yang ada
adalah: penyiksaan, intimidasi, penjara, pembunuhan dan yang lainnya. Itu semua
adalah ketika Laa ilaaha illallaah dipegang.
Kita sering
mendengar bahwa nikmat yang paling agung adalah nikmat iman dan Islam, hal itu
adalah Laa ilaaha illallaah, namun bukan hanya sekedar ucapan tanpa mengetahui
maknanya. Jika orang tidak memahami hakikat Laa ilaaha illallaah dan tidak
mengamalkannya, maka ia tidak mungkin merasakan nikmat itu, akan tetapi di sini
apabila orang memahaminya, mengamalkannya ~walaupun harus meninggalkan harta dunia
atau materi atau apa saja yang ia miliki~ apabila dia sudah merasakan nikmat
Laa ilaaha illallaah, maka ia akan berani meninggalkan semuanya demi meraih
ridha Allah… meraih surga dan selamat dari api neraka.
Sebaliknya,
orang yang melakukan amal shalih, sedangkan ia tidak merealisasikan makna Laa
ilaaha illallaah, masih berlumuran dengan kemusyirikan, kekafiran, kethaghutan
dan yang lainnya, maka nestapa yang akan dirasakannya adalah sebagaimana yang
Allah gambarkan dalam firman-Nya tentang orang-orang yang melakukan amal shalih
sedangkan dia belum merealisasikan Laa ilaaha illallaah yaitu:
Allah
Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan kami
perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami akan jadikan amal itu
(bagaikan) debu yang beterbangan” (QS. Al-Furqan [25]: 23)
Jadi tidak
ada artinya alias hilang: shalatnya, zakatnya, shaumnya, hajinya, berbuat
baiknya kepada tetangga, perbuatan baiknya kepada orang tuanya, dan
kebaikan-kebaikan lainnya, maka semuanya lenyap karena kemusyrikan. Amal shalih
hanya akan diterima dengan syarat “sedang dia itu mukmin”, yaitu komitmen
dengan Laa ilaaha illallaah, orangnya muwahhid (bertauhid).
Firman-Nya
yang menggambarkan tentang realita umat yang merasa telah melakukan amal baik
berupa amal-amal shalih dan menjadi bagian kaum muslimin padahal sebenarnya
dirinya itu masih musyrik dan masih kafir tanpa ia menyadari adalah…….
“Dan
orang-orang kafir, perbuatan mereka seperti fatamorgana di tanah yang datar,
yang disangka air oleh orang yang dahaga, tetapi apabila didatangi tidak ada
apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah baginya” (QS. An-Nur [24]: 39)
Ayat “dan
orang-orang kafir” adalah siapa saja yang belum merealisasikan Laa ilaaha
illallaah, baik itu mengaku muslim atau non muslim, mau shalat, mau zakat
ataupun haji akan tetapi belum merealisasikan Laa ilaaha illallaah maka pada
hakikatnya dia masih kafir.
Allah
memperumpamakan amalan orang-orang yang belum merealisasikan Laa ilaaha
illallaah seperti fatamorgana, maksudnya adalah bahwa orang yang merasa dirinya
sudah muslim (ia melakukan) shalat, zakat, haji dan banyak berbuat baik pada
sesama, lalu ia mengira pahalanya sudah menumpuk di sisi Allah, dia siap
memetiknya hingga dia mengira akan masuk surga dan ketika didatangi (maksudnya:
mati) menemui Allah, yang mana sebelumnya dia di dunia mengira pahala sudah
menumpuk… ternyata realitanya dia tidak mendapatkan apa-apa, kenapa…??? Karena
Allah tidak mencatatnya, karena amalan itu tidak ada artinya, sungguh sangat
kecewa, padahal dahulu ketika di dunia dia mengira bahwa dia calon penghuni
surga dan aman dari api neraka, ternyata yang ada adalah nestapa yang dia
dapatkan dalam realita yang seperti itu… Bagaimana sekiranya kalau hal itu
menimpa diri kita? Ini adalah gambaran dalam ayat tersebut.
Allah
Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Perumpamaan
orang yang kafir kepada Tuhannya, perbuatan mereka seperti debu yang ditiup
oleh angin keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak kuasa
(mendatangkan manfaat) sama sekali dari apa yang telah mereka usahakan (di
dunia)” (QS. Ibrahim [18]: 18)
Jika kita
menyimpan debu di depan rumah, lalu tiba-tiba debu tersebut ditiup badai… maka
apa yang terjadi? Maka kita akan lihat debu tersebut beterbangan. Begitu juga
amal shalih, ia seperti tumpukan debu, sedangkan noda-noda kekafiran,
kemusyrikan, kethaghutan adalah badai yang meniup dan menghempaskan amal shalih
yang menumpuk, maka amal shalih itu hilang diterpa badai kemusyrikan tersebut.
Allah
Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan sungguh
telah diwahyukan kepadamu dan kepada Nabi-Nabi yang sebelummu: Sungguh, jika
engkau mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalanmu dan tentulah engkau
termasuk orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar [39]: 65)
Allah Ta’ala
mengingatkan Rasulullah Shalallahu ’alaihi wa sallam, sedangkan kedudukan
beliau adalah Rasul. Beliau adalah orang muslim, muwahhid, dan mukmin. Akan
tetapi jika Rasulullah melakukan kemusyrikan, beliau diberikan ancaman oleh
Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka apa gerangan dengan kita..???
Rugi, karena
sudah capek beramal, banyak mengeluarkan biaya, apalagi kalau pergi Haji tentu
memakan biaya besar, akan tetapi ternyata tidak mendapatkan apa-apa… bukankah
ini suatu kerugian…???
Bahkan bukan
hanya Rasulullah Muhammad Shalallahu ’alaihi wa sallam saja, akan tetapi semua
rasul diperingatkan dengan ancaman oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam
kitabNya:
“Sekiranya
mereka mempersekutukan Allah, pasti lenyaplah amalan yang telah mereka
kerjakan” (QS. Al-An’am [6]: 88)
Andai kamu
hai orang-orang muslim… hai siapa saja, bila melakukan kemusyrikan, maka
lenyaplah amal kamu seperti tumpukan debu yang dihempas oleh badai, sehingga
ketika mengaku sebagai seorang muslim, merasa dirinya sudah Islam, melakukan
shalat, zakat, haji, jihad, berbakti kepada orang tua, berbuat baik kepada
tetangga, memberi kepada sesama dan yang lainnya, tetapi realita sebenarnya dia
itu belum merealisasikan Laa ilaaha illallaah dan belum kufur terhadap thaghut
lalu merasa dirinya sudah benar, sudah Islam, dia merasa bahwa kalau dia mati
bisa memetik hasil amal shalih yang telah dia lakukan, akan tetapi ternyata
ketika dia datang ke akhirat ia tidak mendapatkan apa-apa sehingga ini yang
Allah gambarkan dalam firman-Nya:
“Apakah
perlu Kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling rugi perbuatannya?
(yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia sedangkan mereka
mengira telah berbuat sebaik-baiknya” (QS. Al Kahfi [18]: 103-104)
Mereka
mengira sudah berbuat sebaik-baiknya, mengira bahwa dia itu calon penghuni
surga, mengira bahwa amalannya diterima Allah Subhanahu Wa Ta’ala, mengira
dirinya aman dari api neraka. Tapi ternyata… tidaklah seperti yang dia
perkirakan. Bukannya pahala yang didapatkannya, akan tetapi malah siksa api
neraka, karena apa? Karena belum merealisasikan inti dari ajaran Islam ~Laa
ilaaha illallaah (iman kepada Allah dan kufur terhadap thaghut)~ sehingga
nestapa inilah yang akan dirasakan dan apa yang Allah gambarkan dalam firmanNya
Ta’ala:
“Pada hari
itu banyak wajah yang tertunduk hina, (karena) bekerja keras lagi kepayahan, mereka
memasuki api yang sangat panas“ (QS. Al Ghaasyiyah [88]: 2-4)
Bukan surga
yang didapat, akan tetapi dia masuk ke dalam api yang menyala-nyala. Alangkah
ruginya, alangkah sedihnya ketika kondisi yang di sana tidak ada lagi
kesempatan untuk kembali lagi ke dunia. Mungkin, ketika orang melakukan
kegagalan di dunia ini, dia bisa mengulang dan bisa mengambil pelajaran karena
masih ada kesempatan tapi di akhirat maka tidak akan ada lagi kesempatan.
Orang yang
dahulunya menentang Allah dan mengikuti thaghut, mereka akan berkata seperti
yang Allah gambarkan dalam firmanNya:
“(Yaitu)
ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang
mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan di antara
mereka terputus sama sekali”. (QS. Al-Baqarah [2]: 166)
“Dan
berkatalah orang-orang yang mengikuti: “Seandainya kami dapat kembali (ke
dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas
diri dari kami”. Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya
menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api
neraka”. (QS. Al-Baqarah [2]: 167)
Jadi, Tauhid
(Laa ilaaha illallaah) adalah inti kehidupan kita, inti dari dien kita.
Realisasikan tauhid ini, jauhi thaghut sebelum Allah Subhanahu Wa Ta’ala
menutup akhir hayat kita sedang kita belum berlepas diri dari kethaghutan,
karena kehidupan dunia hanya sementara, kehidupan abadi adalah di akhirat.
Allah menciptakan kita di dunia untuk mengabdi kepada Allah… untuk menjauhi thaghut.
Apakah
thaghut itu? Apa kita sudah tahu apa thaghut, yang mana Allah Ta’ala
memerintahkan kita untuk menjauhinya? Dimana keimanan kepada Allah tidak akan
bermanfaat tanpa kafir kepada thaghut dan bagaimana cara kita menjauhi thaghut?
Dan apa saja yang membatalkan Laa ilaaha illallaah? Apa saja yang menggugurkan
Laa ilaaha illallaah? Jika kita mengetahui apa yang membatalkan wudhu padahal
seharusnya kita terlebih dahulu mengetahui apa yang membatalkan Laa ilaaha
illallaah… yakni yang membatalkan tauhid kita.
Semua itu
akan lebih memahamkan kita ketika mendengar ayat-ayat yang tadi saya sampaikan
tentang begitu pentingnya Laa ilaaha illallaah dan begitu besarnya kandungan
Laa ilaaha illallaah ini sehingga amalan tidak bisa diterima tanpa adanya
pengamalan terhadap Laa ilaaha illallaah. Semua ini mendorong kita untuk
mengetahui apa sebenarnya yang dikandung oleh Laa ilaaha illallaah dan
bagaimana hukumnya berloyalitas terhadap thaghut. Semua ini harus diketahui.
Shalawat
serta salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita, keluarganya dan para
shahabatnya, serta orang-orang yang mengikutinya sampai hari kiamat…
Wallahu alam
Bishawab
Wallaikum
sallam warahmatullahi wabarakatuh....
Alhamdulillahirrabbil’aalamiin.
***&&***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar