Perjalanan panjang Al-Azhar yang kini jelang usia 1000 tahun lebih memang
menarik disimak. Sejak dibangun pertama kali pada 29 jumada Al Ula 359 H. (970
M.) oleh panglima Jauhar Ash shiqillilalu dibuka resmi dan shalat jum’at bersama
pada 7 Ramadhan 361 H. , lembaga besar yang mulanya sebuah masjid ini bagai tak
pernah lelah membidani kelahiran para ulama’ dan cendekiawan muslim. “Masjid
sekaligus institusi pendidikan tertua,” itulah penghargaan sejarah buatnya.
Kehadiran Al-Azhar tak bias dipisahkan dari peran dinasti Fathimi yang kala
itu dipimpin oleh Khalifah Mu’iz li dinillah ma’ad bin Al-Mansur (319-365
H./931-975 M.), Khalifah ke empat dara dinasti fathimiyyah, jauh sebelumnya
ketika islam mulai menyebar ke mesir (641 M.) dimasa khalifah umar bin khattab,
pendidikan islam formal sebenarnya telah berjalan sejak berdirinya masjid
pertama di Afrika.
Sudah menjadi suatu kaedah tak tertulis bahwa peradaban islam di suatu
daerah selalu dikaitkan dengan peran masjid jami’ (masjid negara) dikawasan
tersebut. Hal ini mungkin diilhami dari kerja nyata rasulallah SAW. Ketika
hijrah kemadinah. Tugas pertama yang beliau lakukan adalah membangun masjid
nabawi. Ini menandakan peran masjid yang tidak hanya terbatas pada kegiatan
rituan semata. Tapi lebih dari itu, masjid adalah sentral pemerintahan islam,
sarana pendidikan, mahkamah, tempat mengeluarkan fatwa, dan sebagainya.
Hal inilah yang kemudian dilakukan oleh ‘Amru bin ‘Ash ketika menguasai
mesir. Atas perintah Khalifah Umar, panglima ‘amru mendirikan masjid pertama di
Afrika yang kemudian dinamakan masjid ‘Amru bin Ash di kota Fushthat, sekaligus
menjadi pusat pemerintahan islam mesir ketika itu, selanjutnya dimasa dinasti
Abbasiyah ibukota pemeintahan ini berpindah lagi ke kota yang disebut
Al-Qotho’i dan ditandai dengan pembangunan masjid bernama Ahmad bin Tholun.
Masa demi masa berlalu, pemeriuntahan pun silih berganti. Tiba era Daulah
Fathimiyyah (358 H./969 M.) ibukota mesir berpindah ke Daerah baru atas
perintah Khalifah Al-Mu’iz li Dinillah yang menugasi panglimanya, Jauhar Ash
shiqilli, untuk membangun pusat pemerintahan. Setelah melalui tahap pembangunan
daerah ini dinamai kota Al Qohirah.
Sebagaimana sejarah islam masa lalu, setiap berganti Daulah selalu ditandai
dengan pembangunan masjid di pusat ibukota. Sehingga kurang setahun kemudian,
beriringan dengan pembangunan kota Al-Qohirah didirikan pula sebuah masjid
bernama Jami’ Al Qohirah (meniru nama ibu kota). Seluruhnya masih dalam
penanganan panlima Jauhar Asg Shiqilli.
Pada masa khalifah Al Aziz billah, sekeliling Jami’ Al Qohirah dibangun
beberapa istana yang disebut Al Qushur Az Zahirah. Istana-istana ini sebagian
besar berada disebelah timur (kini sebelah barat masjid husein), sedangkan
beberapa sisanya yang kecil disebelah barat (dekat masjid Al Azhar sekarang),
kedua istana dipisahkan oleh sebuah taman nan indah. Keseluruhan daerah ini
dikenal dengan sebutan “Madinatul Fatimiyyin Al-Mulukiyyah”. Kondisi sekitar
yang begitu indah bercahaya ini mendorong orang menyebut Jami’ Al Qohirah
dengan sebutan baru, Jami’ Al Azhar (Berasal dari kata Zahra’ artinya yang
bersinar, bercahaya, berkilauan).
Para khalifah jauh-jauh hari menyadari bahwa kelanjutan Al-Azhar tidak bias
lepas dari segi pendanaan. Oleh karena itu setiap khalifah memberikan harta
wakaf baik dari kantong pribadi maupun kas negara. Penggagas pertama wakaf bagi
bagi Al-Azhar dipelopori oleh khalifah Al Hakim bi amrillah, lalu di ikuti oleh
para khalifah berikutnya serta orang orang kaya setempat dan seluruh dunia
islam sampai saat ini. Harta wakaf tersebut kabarnya pernah mencapcai sepertiga
dari kekayaan mesir. Dari harta wakaf inilah roda perjalanan Al Azhar bisa
terus berputar, termasuk memberikan beasiswa, asrama , dan pengiriman utusan Al
Azhar ke berbagai penjuru Dunia.
Dari masjid ‘Amru bin Ash dan Ahmad bin Tholun, perlahan poros pendidikan
berpindah ke Al-Azhar.
FASE PERALIHAN
Sudah menjadi semacam perjanjian tak tertulis, pada setiap khalifah Daulah
Fathimiyyah selalu diadakan restorasi bangunan Jami’ Al Azhar. Hingga ketika
gempa hebat sempat merusak Al Azhar pada tahun 1303 M. sultan An Nasir yang
memerintah saat itu segera merehab kembali bangunan yang rusak.
Ciri spesifik pemugaran bangunan mulai tampak pada masa sultan Qonsouh
(1509 M.) yang merestorasi satu menara Al Azhar nan indah dengan dua puncak
(Manaratul Azhar Dzatu Ar-ra’sain).
Penyempurnaan Jami’ Al Azhar kembali dilanjutkan pada periode Daulah
Utsmani, dengan kegiatan restorasi yang tak jauh berbeda seperti sebelumnya.
Klimaksnya dicapai pada masa Amir Abdurrahman Katakhda (Wafat 1776 M.) dengan
menambahkan dua buah menara, mengganti mihrab dan mimbar baru, membuka local
belajar bagi yatim piatu, membangun ruang bagi pemondokan mahasiswa dan pelajar
asing, membuat pendopo ruang tamu, teras tak beratap dalam masjid, dan tangki
air tempet berwudlu, singkat kata hampir seluruh bangunan tua yang masih
tersisa di masjid Al Azhar kini adalah hasil karya Amir tersebut.
Seiring gelombang pasang surut sejarah, berbagai bentuk pemerintahan silih
berganti memainkan peranannya di lembaga tertua ini, selain sebagai masjid,
proses penyebaran faham Syi’ah turut mewarnai aktivitas awal yang dilakukan
Dinasti Fathimi, khususnya di penghujung masa khalifah Al Muiz li Dinillah
ketika Qodhil Qudhoh Abu Hasan Ali bin Nu’man Al-Qairiwani mengajarkan fiqih
Mazhab Syi’ah, dari kitab Mukhtasyar yang merupakan pelajaran agama pertama di
Masjid Al Azhar pada bulan Shafar 365 H. (Oktober 975 M.).
Sesudah itu proses belajar terus berlanjut dengan penekanan utama pada
ilmu-ilmu agama dan bahasa, walaupun tanpa mengurangi perhatian terhadap ilmu
manthiq, filsafat kedokteran danilmu falak sebagai tambahan yang
diikutsertakan.
Namun semenjak Shalahuddin Al ayyubi memegang pemerintahan mesir (tahun 567
H./1171 M.), Al Azhar sempat diistirahatkan sementara waktu sambil dibentuk
lembaga pendidikan Alternatif guna mengikis pengaruh Syi’ah. Disinilah mulai
dimasukkan perubahan orientasi besar-besaran dari Mazhab Syi’ah ke Mazhab
Sunniyang berlaku hingga sekarang meski tak dipungkiri paham syi’a dari sudut
akademis masih tetap dipelajari.
FASE REFORMASI
Pembaharuan Administrasi pertama Al Azhar dimulai pada masa pemerintahan
Sulthan Ad Dhahir Barquq (784 H./1382 M.) dimana ia mengangkat amir Bahadir At
Thawasyi sebagai direktur pertama Al Azhar tahun 784 H. / 1382 M. ini terjadi
dalam masa kekuasaan mamalik di Mesir. Upaya ini merupakan usaha awal untuk
menjadikan Al Azhar sebagai yayasan keagamaan yang mengikuti pemerintah.
System ini terus berjalan hingga pemerintahan Utsmani menguasai mesir
dipenghujung abad 11 H. ditandai dengan pengankatan “Syaikh Al ‘Umumy” yang
digelar dengna Syaikh Al Azhar sebegai figure sentral yang mengatur berbagai
keperluan pendidikan, pengajaran, keuangan, fatwa hokum, termasuk tempat
mengadukan segala persoalan. Pada fase ini terpilih Syaikh Muhammad Al Khurasyi
(1010 H.-1101 H.) Sebagai Syaikh Al Azhar pertama. Secara keseluruhan ada 40
Syaikh yang telah memimpin Al Azhar selam 43 periode, hingga kini dipegang oleh
mantan mufti mesir Syaikh Muhammad Thanthawi.
Masa keemasan Al Azhar terjadi pada abad 9 H. (15 M.) banyak ilmuan dan
ulama’ islam bermunculan di Al Azhar saat itu, seperti ibnu khaldun, Al farisi,
As-Syuyuthi, Al ‘Aini, Al Khawi, Abdul Lathif Al Baghdadi, ibnu Khaliqon, Al
Maqrizi dan lainnya yang banyak mewariskan ensiklopedi Arab.
Iklim kemunduran kembali hadirketika dinasti Utsmani berkuasa di Mesir
(1517-1798 M.) Al-Azhar mulai kurang berfungsi disertai kepulangan para ulama’
dan mahasiswa yang berangsur angsur menninggalkan kairo. Meski begitu tambahan
berbagai bangunan tetap diupayakan atas prakarsa amir amir Utsmani dan kaum
muslimin sedunia.
Kepemimpinan Muhammad ali Pasha di Mesir pada tahap berikutnya telah
membentuk sistem pendidikan yang paralel tapi terpisah, yaitu pendidikan tradisional
dan pendidikan modern sekuler, ia juga berusaha menciutkan peranan Al Azhar
sebagai lembaga yang berpengaruh sepanjang sejarah, antara lain dengan
menguasai badan Wakaf Al Azhar yang merupakan urat nadinya. Seterusnya pada
masa pemerintahan Khedive Isma’il Pasha (1863-1879 M.) mulai diusahakan
reorganisasi pendidikan, dan dari sini pendidikan tradisional mulai bersaing
dengan pendidikan modern sekuler. Serangan terhadap pendidikan tradisional
sering tampak dari usaha yang menginginkan perbaikan Al Azhar sebagai pusat
pendidikan islam terpenting.
Sejak awal abad 19, sistem pendidikan barat mulai diterapkan di sekolah
sekolah mesir. Sementara Al Azhar masih saja menggunakan sistem tradisional.
Dari sini muncul suara pembaharuan.
Diantara pembaharuan yang menonjol adalah dicantumkannya system ujian untuk
mendapatkan ijazah Al ‘Alamiyah (kesarjanaan) Al Azhar pada februeri 1872 M.,
juga pada tahun 1896 M., buat pertama kali dibentuk Idarah Al Azhar (Dewan
Administrasi). Usaha pertama dari dewan ini adalah mengeluarkan peraturan yang
membagi masa belajar di Al Azhar menjadi dua preode: pendidikan Dasar 8 tahun
serta menengah dan tinggi 12 tahun. Kurikulum Al Azhaar ikut diklasifikasikan
dalam dua kelas: Al ‘Ulum Al Manqulah (Bidang study Agama) Al ‘Ulum Al Manqulah
(Bidang study Umum).
Menyebut pembaharuan di Al Azhar, kita perlu mengingat Muhammad Abduh
(1849-1905 M.) mengusulkan perbaikan system pendidikan Al Azhar dengan
memasukkan ilmu-ilmu modern kedalam kurukulumnya. Gagasan tersebut mulanya
kurang disepakati Syekh Muhammad Al Ambabi. Baru ketika Syekh An Nawawi
memimpin Al Azhar, ide Muhammad Abduh bisa berpengaruh. Berangsur angsur mulai
diadakan pengaturan masa libur dan masa belajar. Uraian pelajaran yang bertele-
tele yang dikenal dengan syarah al hawasyi disederhanakan. Sementara itu
kurikulum seperti fisika, ilmu pasti, filsafat, sosiologi dan sejarah, telah
menerobas A Azhar. Berbarengan ini puladirenofasi ruang Al Azhar sebagai
pemondokan bagi guru dan mahasiswa.
AL AZHAR KINI
Pada abad XXI ini, Al Azhar mulai memandang perlunya mempelajari system
penelitihan yang dilakukan oleh Universitas di Barat, dan mengirim Alumni
terbaiknya untuk belajar ke Eropa dan Amirika. Tujuan mengirim ini adalah untuk
mengikuti perkembangan ilmiah ditingkat internasional sekaligus upaya
perbandingan dan pengukuhan pemahaman islam yang benar. Cukup banyak duta Al
Azhar yang berhasil meraih gelar Ph.D dari Universitas luar tersebut,
diantaranya ialah: Syekh DR. Abdul Halim Mahmud, Syekh DR. Muhammad Al Bahy,
Dan banyak lagi.
Sebelumnya, pada tahun 1930 M, keluar undang undang no 49 yang mengatur Al
Azhar mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, dan membagi
Universitas Al Azhar menjadi tiga fakultas yaitu: Syari’ah, Usuluddin, Bahasa
Arab.
Fakultras induk Syari’ah wal qonun di Cairo merupakan bangunan pertama yang
berdiri pada tahun 1930 M. semula berama Syari’ah, lalu pada tahun 1961 dirubah
menjadi nama seperti sekarang. Fakultas indul Usuluddin dan bahasa Arab di
Kairo juga didirikan pada tahun 1930 M. penjurusan diatur kembali pada tahun
1961 M. fakultas Dakwah islamiyyah didirikan dengan keputusan presiden
(keppres) no 380 tahun 1978 yang dikeluarkan pada 16 Ramadlon 1398 H. (20
Agustus 1978). Fakultas Dirasah islamiyah wal Arabiyah memulai kuliahnya pada
tahun 1965 M. sebagai salah satu jurusan dari Fakultas Syari’ah. Pada tahun
1972 keluar keppres no 7 yang menjadikan fakultas ini sebagai lembaga
tersendiri dengan nama Ma’had Dirasat Al Islamiyah Wal Arabiyah (Institut of
Islamic and Arabic studies) namun pada tahun 1976 M. keluar keppres no 299 yang
kembali menjadikan institut ini sebagai fakultas tersendiri, dengan jurusan:
usuluddin syari’ah islamiyah bahasa dan sastra Arab.
Angin pembaharuan kembali berhembus di Al Azhar pada 5 mei 1961 M. dimasa
kepemimpinan Syekh Mahmoud Syalthout. Peran Syaikh Al Azhar diciutkan menjadi
jabatan simbolissehingga kurang mempunyai pengaruh langsung terhadap lembaga
pendidikan yang ada dibawah pimpinannya. Undang-undang pembaharuan ini disebut
undang-undang revosusi mesir nomor 103 tahun 1961 M. undang-undang ini
memberikan kemungkinan besar perubahan structural pendidika di Al Azhar,
sehingga diantarany membolehkan lulusan SD atau SMP Al Azhar untuk melanjutkan
studinya ke SMP atau SMA milik Departemen pendidikan, atau sebaliknya. Dalam
ruang lingkup pendidikan tinggi, disamping fakultas-fakultas keislaman,
ditambahkan pula berbagai fakultas baru seperti: Tarbiyah, Kedokteran,
Perdagangan/Ekonomi, Sains, Pertanian, Teknik, Farmasi, dan sebagainya. Juga
dibangun fakultas khusus putrid (Kulliyatul Banat) dengan berbagai jurusan.
Al Azhar mempunyai 3 rumah sakit Universitas: Husein Hospital, Zahra’
Hospital, dan Bab el Sya’riah Hospital. Sementara itu, Nasser Islamic Mission
City (Madinat Nasser Lil Bu’ust Al Islamiyah) untuk orang asing dibuka pada
bulan September 1959 M.
Universitas (Jami’ah) Al Azhar hanyalah salah satu lembaga resmi yang
dimiliki Al Azhar masih ada lembaga lain yang sempat terbentuk, seperti:
Lembaga pendidikan Dasar dan Menengah (Al Ma’ahid A Azhariyah).
Biro Kebudayaan dan missi Islam (Idarah Ats-tsaqofah wal Bu’uts Al Islamiyah).
Majlis tinggi Al Azhar (Al Majlis Al A’la Lil Azhar)
Lembaga Riset Islam (Majma’ Al Buhuts Al Islamiyah).
Hai’ah Ighatsah Al Islamiyah.
Biro Kebudayaan dan missi Islam (Idarah Ats-tsaqofah wal Bu’uts Al Islamiyah).
Majlis tinggi Al Azhar (Al Majlis Al A’la Lil Azhar)
Lembaga Riset Islam (Majma’ Al Buhuts Al Islamiyah).
Hai’ah Ighatsah Al Islamiyah.
Sejak mula berdirinya, studi Al Azhar selalu terbuka untuk semua pelajar
dari seluruh dunia, hingga kini Universitas Al Azhar memiliki lebih dari 50
Fakultas yang tersebar diseluruh pelosok mesir dengan jumlah Mahasiswa/i
melebihi angka 200 ribu orang. Itulah potret Al Azhar yang tetap tegar dalam
kurun usia senja.
KEHIDUPAN DI MESIR
Mesir adalah sebuah negara berkembang yang tak jauh berbeda dengan negara
ke tiga lainnya. Kultur serta corak hidup penduduknya terkesan kasar, keras
tapi mudah sekali lembut, dan kadang kurang teratur. Walau begitu adanya, tetap
saja banyak warga asing yang betah berlama-lama menikmati negri ini.
Tempat tinggal
A. Asrama
Bagi Mahasiswa/i yang memperoleh beasiswa Al Azhar atau Majlis A’la, ia
berhak tinggal; di Asrama madinatul bu’uts al islamiyah (Al Azhar) dan asrama
Dirmalak (Majlis A’la) secara gratis. Hanya bagi penghuni bu’uts akan dikenakan
potongan beasiswa guna Administrasi bulanan, termasuk makan dan listrik, pihak
bu’uts juga menyediakan fasilitas yang terbilang lumayan berupa : kamar, dapur,
ruang olahraga/fitness, Masjid dan lain sebagainya. Sedang Asrama Dirmalak
hanya diperuntukkan bagi kaum Hawa saja, letaknya tidak begitu jauh dari
bu’uts. Dirmalak juga punya peraturan khusus, disini tidak disediakan makan
alias masak sendiri, maka dari itu biaya yang dipungut tidak begitu besar.
B. Non Asrama
Mahasiswa yang terjun bebas alias non beasiswa terpaksa harus menyewa
rumah/flat dengan harga rata-rata LE 350-600 perbulan. Satu flat umumnya berisi
dua atau tiga kamar tidur, ruang tamu, dapur, balkon, kamar mandi, perkakas
rumah serta fasilitas musim panas, dan musim dingin seperti pemanas air
(sakhanah), kulakas dan kompor gas. Pada flat tertentu kadang dilengkapi dengan
sarana telfon lokal, TV serta AC, tentu dengan harga sewa yang lebih dari
standar biasa. Menyikapi hal itu, maka satu flat biasanya ditempati 3-6 orang,
sehingga bebanpun terasa ringan.
Konsumsi
Masak sendiri adalah pilihan Mahasiswa, karena makanan mesir kurang cocok
dengan lidah melayu, apalagi bagi mahasiswa baru. Beras di Mesir cukup banyak
tersedia juga lauk yang bias disulap layaknya khas cita rasa Asia Tenggara,
untuk hal ini biaya per individu LE 90 per bulan sudfah memadai, di daerah nasr
city juga ada warung Indonesia, Malaysia, dan Thailand.
Transportasi.
Menurut kebiasaan mahasiswa asing tinggal agak jauh dengan kampus, karna
sekitar kampus Al Azhar di kawasan Husein cukup ramai oleh lalulintas dan pasar
yang kurang mendukung suasana belajar. Khusus transportasi kuliah menghabiskan
ongkos sekitar LE 50 perbulan.
Hal-hal tak terduga
Pada bagian ini, termasuk iuran organisasi kedaerahan, induk, regional,
langganan bulletin mahasiswa, dana kesehatan dan lainnyayang memerlukan sedikit
penyisihan uan kira-kira LE 70. simpulnya standar biaya hidup sederhana perbulan
bagi setiap mahasiswa asing putra maupun putri berkisar antara US$70-90 pebulan
yang digunakan untuk sewa rumah kolektif, telfon, makan, listrik, diktat kuliah
dan hal hal tak terduga lainnya.
Situasi keamanan.
Suasana dan kondisi keamanan Mesir atau kota Kairo yang padat penduduknya
masih memungkinkan untuk belajar tenang. Adapun gangguan keamanan yang terjadi
sebenarnya tidak tertuju kepada mahasiswa asing. Para penduduk kota menghargai
pelajar asing. Kegiatan belajar bersama diluar kuliah atau belajar bimbingan
baik oleh rekan senior atau beberapa guru mesir hingga akhirnya pulang agak
larut malam tidaklah menjadi suatu kekhawatiran. Memang agak berbeda dengan
suasana kota-kota besar umumnya. Gangguan gerombolan pemuda nakal jarang
ditemui. Namun demikian sikap kewaspadaan dan hati-hati tetap diperlukan,
misalkan ketika menaiki bus padat saat pergi kuliah atau suatu urusan. Tawuran
antar pelajar bisa dikatakan tidak ada. Sengketa yang mengakibatkan perkelahian
adalah hal yang tabu di Mesir. Perang mulutpun bias any berakhir dengan solusi
damai, tanpa dendam.
Kesempatan kerja
Seyogjanya bagi pelajar asing tidak memasang niat “Belajar sambil bekerja”
karena kan mengurangi kesempatan meraih ilmu yang sebanyak-banyaknya. Apalagi
kesempatan bekerja di Mesir tidak terbuka buat orang-orang asing, terlebih
Mahasiswa, kecuali harus melalui prosedur kontrak resmi antar negara.
Kesempatan bekerja bagi mahasiswa asing biasanya hanya ada di Saudi arabiah
pada musim haji. Jangan pula membayangkan hal yang terlalu muluk, mudah
memperoleh kerja di negara tersebut, berhubung kian sulitnya birikrasi
perolehan visa kesana.
Namun, sebaiknya berangkatlahn ke Mesir dengan niat belajar, bukan sebagai
tempat transit menuju Saudi arabiah, disamping jaminan kerja belum tentu ada.
Visa dan Iqomah
Bagi orang asing yang ingin mengunjungi negara lain tentu harus mendapat
izin masuk dari pemerintah negara tujuannya. Dinegara-negara arab namanya
ta’syirah. Atau lebih dikenal dengan istilah visa. Pengurusan visa pertama ke
mesir bias dilakukan dikedutaan Mesir yang berada di Ibukota (Jakarta), atau
melalui travel-travel tertentu di beberapa kota besar.
Meskipun dipaspor anda nantinya tercantum dua bulan visa, namun itu hanya
berlaku satu bulan saja setibanya di Mesir. Selanjutnya anda harus
memperpanjang visa dengan izin tinggal sementara dimesir sesuai aturan yang
berlaku.
Adapun tentang izin tinggal sementara (dikenal dengan istilah iqomah
mu’aqqatah) atau recidence permite, dan di Indonesia dinamakan Keterangan Izin
Menetap Sementara atau KIMS), Mesir merupakan negara yang paling toleran bagi
pelajar serta Mahasiswa ketimbang negara-negara Arab lainnya
Wisma Keluarga Mahasiswa Kalimantan Mesir
Tempat tinggal merupakan bagian yang terpenting ketika sudah mendarat di
Mesir ini, khusus warga KMKM, sudah ada penempatan untuk mahasiswa yang baru
datang, selain dapat bantuan dari KMKM, juga membuat kita merasa nyaman untuk
suasana belajar, kalau pun tidak menginginkan di wisma, KMKM juga sudah
menyiapkan beberapa rumah yang siap sedia untuk di tempati.
–salam penduduk KMKM–
Tidak ada komentar:
Posting Komentar