Misalnya firman Allah swt, artinya,
“Dan janganlah sekali-kali kamu (Mohammad) mengira, bahwa
Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang dzalim. Sesungguhnya
Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata mereka
terbelalak.” (Ibrahim:42).
“Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang
yang berdosa, “mereka tidak berdiam (dalam kubur) melainkan sesaat saja”.
Seperti demikianlah mereka selalu dipalingkan (dari kebenaran).” (al-Ruum:55)
“Dan ditiuplah
sangkakala, maka tiba-tiba mereka keluar dengan segera dari kuburnya (menuju)
kepada Tuhan mereka. Mereka berkata, “Aduhai celakalah kami! Siapakah yang
membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)? Inilah yang dijanjikan
(Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul-RasulNya.” (Yasiin:51-52).
Ayat-ayat ini menunjukkan dengan jelas tidak adanya siksa
sebelum hari kiamat. Meskipun demikian, di dalam sunnah banyak dituturkan
tentang adanya siksa kubur, bahkan sebagian ahli hadits menyatakan bahwa
hadits-hadits tentang siksa kubur mencapai derajat mutawatir maknawiy.
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa, ada nash yang
menyatakan adanya siksa kubur, sedangkan nash yang lain menafikan adanya siksa
sebelum hari kiamat. Bila dipandang sekilas, kedua kelompok nash-nash ini
saling bertentangan satu dengan yang lain. Lalu, bagaimana kita mengkompromikan
nash-nash yang bertentangan tersebut? Pada dasarnya, wahyu dari Allah swt tidak
mungkin saling bertentangan. Atas dasar itu, pertentangan-pertentangan yang
terdapat di dalam nash tidak boleh dipandang sebagai pertentangan yang tidak
mungkin dikompromikan, akan tetapi harus diupayakan untuk dikompromikan untuk
menyelamatkan nash dari pertentangan.
Allah swt telah berfirman, artinya: “Maka apakah mereka
tidak memperhatikan al-Quran? Kalau sekiranya al-Quran itu bukan dari sisi
Allah swt, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di
dalamnya.”[al-Nisaa’:82]
Benar, banyak hadits menuturkan tentang siksa kubur.
Beberapa ayat al-Quran juga mengisyaratkan adanya siksa kubur. Namun demikian,
ayat-ayat tersebut dilalahnya (penunjukkannya) tidak qath’iy. Kami akan
mengetengahkan sebagian ayat tersebut. Allah swt berfirman, artinya,
“Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang
(maksudnya menampakkan kepada mereka neraka pagi dan petang sebelum hari
berbangkit) dan pada hari terjadinya Kiamat. Dikatakan kepada
malaikat,”Masukkanlah Fir’aun dan kaummnya ke dalam adzab yang sangat keras.”
(al-Ghafir:46) “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan
yang teguh itu, dalam kehidupan dunia dan di akherat.” (Ibrahiim:27)
“Kalau kamu melihat ketika pada malaikat mencabut jiwa
orang-orang yang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka (dan
berkata),”Rasakanlah olehmu siksa neraka yang membakar,” (tentulah kamu akan
merasa negeri). (al-Anfaal:50) Ayat terakhir surat al-Anfaal ini dalalahnya
qath’iy, bahwa malaikat menyiksa orang kafir saat mencabut nyawa mereka. Ayat
seperti itu juga disebutkan dalam surat Mohammad, “Bagaimanakah keadaan mereka
apabila para malaikat (maut) mencabut nyawa mereka seraya memukul muka mereka
dan punggung mereka? (Mohammad:27).
Juga dalam surat al-An’am, “Alangkah dahsyatnya sekiranya
kamu melihat di waktu orang-orang yang dzalim (berada) dalam tekanan-tekanan
sakaratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, sambil berkata,
“Keluarkanlah nyawamu” (al-An’aam:93).
Ayat-ayat di atas tidak menunjukkan adanya siksa kubur,
namun menunjukkan adanya siksa menjelang kematian. Ayat-ayat semacam ini tidak
menunjukkan secara pasti (qath’iy) tentang adanya siksa kubur, akan tetapi
hanya menunjukkan adanya siksa menjelang kematian. Karena dilalahnya tidak
qath’iy, ayat-ayat ini tidak boleh dijadikan dalil untuk menyakini adanya siksa
kubur. Sebab, keyakinan harus didasarkan kepada nash-nash yang dilalahnya pasti
(qath’iy).
Penjelasan Mengenai Surat al-Ghafir : 46 & Ibrahim:27 dan
Jalan Komprominya Surat al-Ghafir ayat 46 dan surat Ibrahim ayat 27 adalah
surat Makkiyah. Dalam shahih Bukhari dan Muslim, Musnad Ahmad dituturkan dengan
sangat jelas, bahwa Rasulullah saw tidak mengetahui siksa kubur kecuali ketika
di Medinah. Itupun pada saat terakhir ketika terjadi gerhana matahari, dan
kematian puteranya Ibrahim. Disebutkan dalam shahih Bukhari, “Dari ‘Amrah binti
‘Abd al-Rahman dari ‘Aisyah isteri Nabi saw, bahwa orang-orang Yahudi bertanya
kepada ‘Aisyah. Kemudian ‘Aisyah bertanya kepada mereka, “Apakah kamu
berlindung kepada Allah dari siksa kubur? Kemudian ‘Aisyah bertanya kepada
Rasulullah saw, “Apakah manusia akan disiksa di dalam kuburnya? Rasulullah saw menjawab,
“Berlindunglah kepada Allah dari hal itu!” (Fath al-Baariy, juz.2, hal.431).
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan isnad atas syarat Bukhari dari Sa’id bin
‘Amru bin Sa’id al-Amwiy dari ‘Aisyah ra, “Orang-orang Yahudi ingin melayani
‘Aisyah, akan tetapi mereka tidak mendapat kebaikan apapun dari ‘Aisyah,
kecuali mereka bertanya kepada ‘Aisyah, “Apakah kamu berlindung kepada Allah
dari siksa kubur?” ‘Aisyah berkata, “Saya kemudian bertanya kepada Rasulullah
saw, “Wahai Rasulullah apakah di dalam kubur ada siksa? Rasul menjawab,
“Dustalah orang Yahudi!” Tidak ada siksa kecuali pada hari Kiamat. Kemudian
beliau diam. Setelah itu atas kehendak Allah tetap diam. Kemudian pada suatu
hari, yaitu ketika tengah hari, beliau menyeru dengan suara yang tinggi, “Wahai
manusia mohonlah kepada Allah dari siksa kubur. Sesungguhnya siksa kubur adalah
haq”. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari jalan Ibnu Syihaab dari ‘Urwah dari
‘Aisyah ra berkata, “Seorang wanita Yahudi mendatangiku (’Aisyah) dan bertanya,
“Apakah kamu merasa bahwa kamu akan disiksa di dalam kubur? Kemudian Aisyah
datang kepada Rasulullah saw dan berkata, “Sesungguhnya orang Yahudi disiksa
(di dalam kubur), kemudian ‘Aisyah berkata, “Kemudian Rasulullah diam selama
satu malam.kemudian berkata. “Apakah kamu merasa, bahwa telah diwahyukan
kepadaku bahwa kalian akan disiksa dalam kubur?” ‘Aisyah berkata, “Saya
mendengar Rasulullah saw berlindung dari siksa kubur.” Allah swt berfirman,
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu,
dalam kehidupan dunia dan di akherat.” (Ibrahiim:27).
Ini adalah surat Makiyyah
yang mengisyaratkan adanya siksa kubur. Imam Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat
ini berkata, “Bukhari berkata, hadatsana….dari Bara’ bin ‘Aazib ra, bahwa
Rasulullah saw bersabda, “Seorang Muslim bila ditanya di dalam kubur akan
bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Mohammad Utusan Allah.” Ini
senada dengan firman Allah, artinya, “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang
beriman dengan ucapan yang teguh itu, dalam kehidupan dunia dan di akherat.”
(Ibrahiim:27). Imam Muslim juga meriwayatkan hadits, dan sebagian Jama’ah. “
Walhasil, sebagian ‘ulama tafsir telah menyatakan, bahwa surat Ibrahim ayat 27
ini mengisyaratkan adanya siksa kubur. Namun, kesimpulan ini disandarkan dari
mafhum bukan manthuq ayat tersebut –Ibrahim ayat 27. Pada ayat lain, Allah swt
telah berfirman, artinya, “Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan
petang (maksudnya menampakkan kepada mereka neraka pagi dan petang sebelum hari
berbangkit) dan pada hari terjadinya Kiamat. Dikatakan kepada
malaikat,”Masukkanlah Fir’aun dan kaummnya ke dalam adzab yang sangat keras.”
(al-Ghafir:46) Imam Ibnu Katsir berkata, “Ayat ini adalah ayat paling asal,
yang digunakan istidlal oleh ahlu sunnah tentang adanya siksa barzakh di dalam
kubur.” Selanjutnya, Ibnu Kastir berkata,”Tidak ragu lagi bahwa ayat ini adalah
ayat Makiyyah”. Kita bisa mengajukan pertanyaan kritis atas tafsir kedua surat
di atas –surat Ibrahim;27 dan al-Ghafir:46. Bagaimana mungkin dua ayat ini bisa
digunakan dalil untuk menunjukkan adanya siksa kubur, padahal ayat-ayat ini
turun di Mekah sebelum hijrah? Sedangkan Rasulullah saw tidak mengetahui siksa
kubur kecuali setelah beliau berada di Medinah dan saat-saat akhir beliau? Ayat
itu tidak mungkin berbicara tentang siksa kubur, sebab Rasulullah saw tatkala
di Mekah belum mengetahui tentang adanya siksa kubur. Beliau mengetahui siksa
kubur setelah berada di Medinah. Lalu, bagaimana jalan komprominya? Para ‘ulama
berusaha memecahkan persoalan ini dengan berbagai macam pendekatan. Imam Ibnu
Katsir berupaya untuk menjawab persoalan ini, dengan menyatakan,”Jawabnya
adalah, surat al-Ghafir:46 ini, “Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan
petang (maksudnya menampakkan kepada mereka neraka pagi dan petang sebelum hari
berbangkit) dan pada hari terjadinya Kiamat.”, menunjukkan, bahwa siksa neraka
akan ditampakkan kepada arwah pada saat pagi dan petang di alam barzakh. Ayat
ini tidak menunjukkan siksa atas jasadnya di dalam kubur. Sebab yang demikian
itu dikhususkan untuk ruh. Adapun yang terjadi pada jasad di dalam barzakh dan
penyiksaannya, tidak ditunjukkan oleh ayat tersebut, namun ditunjukkan dalam
sunnah”. Kemudian beliau menyambung, “Ada yang menyatakan bahwa ayat ini
menunjukkan penyiksaan terhadap orang kafir di barzakh, akan tetapi, ayat itu
tidak berhubungan dengan siksa bagi kaum Muslimin atas dosa-dosanya di dalam
kuburnya.” Imam Ibnu Hajar juga berupaya memecahkan persoalan itu sebagai
berikut, “Sungguh hal ini sangat sulit, sebab surat Ibrahim :27 dan
al-Ghafir:46 adalah surat Makiyah. Pemecahannya adalah sebagai berikut,” Adanya
siksa kubur lebih tepat diambil dari jalan mafhum (kontekstual). Surat Makiyah
itu menunjukkan, bahwa siksa kubur adalah siksa kubur yang ditujukan bagi orang
yang tidak memiliki iman. Manthuq (tekstual) pada surat al-Ghafir:46,
menunjukkan bahwa siksa kubur tersebut akan ditujukan kepada Fir’aun dan
pengikutnya, serta bagi orang yang termasuk dalam golongan orang-orang kafir.
Sedangkan yang diingkari oleh Rasulullah saw –dalam hadits riwayat ‘Aisyah–
adalah terjadinya siksa kubur atas orang-orang yang mentauhidkan Allah.
Selanjutnya, Rasulullah saw mengetahui bahwa siksa kubur itu bisa terjadi pada
orang yang dikehendaki oleh Allah dari golongan orang mukmin. Kemudian
Rasulullah saw menetapkannya, mengingatkan akan adanya siksa kubur, dan
menyampaikan agar berlindung dari siksa kubur, sebagai pemberitahuan, dan
petunjuk bagi umatnya. Maka selesailah ta’arudl (pertentangan ayat tersebut)
dengan pujian kepada Allah swt”. Inilah pendapat Imam Ibnu Hajar
al-Asqalaniy.[lihat Fath al-Baariy, Juz. III, hal. 183] Walhasil, menurut Imam
Ibnu Katsir, surat al-Ghafir:46 dan Ibrahim:27 hanya menunjukkan tentang
dinampakkannya siksa neraka bagi para arwah di alam barzakh. Masih menurut
beliau, ayat tersebut sama sekali tidak menunjukkan adanya siksa atas jasad di
dalam kubur. Sebab, siksa yang terjadi di alam kubur hanya akan menimpa pada
ruh, bukan jasad. Beliau menambahkan, ayat ini tidak menunjukkan adanya siksa
atas jasad di alam barzakh. Al-Hafidz Ibnu Hajar mengkompromikan pertentangan
tersebut dengan penjelasan sebagai berikut; Surat al-Ghafir:46 dan Ibrahim:27
hanya menunjukkan adanya siksa bagi orang-orang kafir di dalam kuburnya.
Tatkala, Rasulullah saw masih di Mekah beliau telah mengetahui adanya siksa
kubur bagi orang kafir, namun beliau belum memahami, apakah orang mukmin juga
akan dikenai siksa kubur. Setelah beliau di Medinah, barulah beliau mengetahui
bahwa siksa kubur itu bisa mengenai kaum mukmin. Jadi, penolakan tentang adanya
siksa kubur pada hadits riwayat ‘Aisyah itu, hanya berhubungan dengan penolakan
beliau atas adanya siksa kubur bagi orang mukmin, bukan penolakan adanya siksa
kubur atas orang kafir. Beliau telah memahami sejak di Mekah, bahwa siksa kubur
itu akan ditimpakan kepada orang kafir. Namun beliau belum mengetahui, apakah
siksa kubur itu bisa juga dijatuhkan kepada orang mukmin. Setelah di Medinah,
barulah beliau mengetahui bahwa orang mukmin juga bisa terkena siksa kubur.
Bila dikaji secara mendalam, baik Ibnu Hajar maupun Ibnu Katsir belum
menyelesaikan secara tuntas persoalan ini. Keduanya hanya melihat dari satu
sisi belaka, dan mengesampingkan sisi yang paling penting; yaitu, apakah boleh
bagi Rasulullah saw menyampaikan sesuatu –yang berhubungan dengan masalah
agama– tanpa ilmu pengetahuan.
Apakah boleh bagi rasul salah dalam tablighnya,
dan berkali-kali melakukan kesalahan?” Permasalahan mengenai siksa kubur
berbeda dengan permasalahan penyerbukan kurma; sehingga bila Rasulullah saw
salah dalam masalah tersebut, beliau saw bisa berkata, “Kalian lebih mengerti
urusan kalian.” Persoalan adanya siksa kubur menyangkut persoalan kemurnian
agama Islam. Masalah ini juga berhubungan dengan masalah ghaib. Tak seorangpun
bisa memahami alam ghaib, kecuali ada keterangan dari Allah swt. Bila
Rasulullah saw ditanya perkara semacam ini, beliau tidak memberikan jawaban,
sampai datangnya wahyu dari Allah swt. Sebagian ‘ulama dan ahli ilmu
menyatakan, bahwa “pertentangan nash-nash ini sangat sulit untuk dikompromikan
”. Mereka mengambil kesimpulan, bahwa hadits ‘Aisyah dengan wanita Yahudi harus
ditolak dirayahnya (dari sisi matannya). Langkah ini mereka tempuh untuk
menghindari penakwilan-penakwilan yang justru telah menyimpang dan bertentangan
dengan nash-nash yang qath’iy tsubutnya. Walhasil, kami berpendapat bahwa
nash-nash yang berbicara tentang siksa kubur, dalalahnya tidak qath’iy, baik
siksa kubur yang berhubungan dengan ruh saja, atau ruh dan jasad. Ibnu Hajar
berkata,” Pengarang (Bukhari) tidak mengingkari penjelasan mengenai adzab kubur
yang menimpa atas ruh saja, atau atas ruh dan jasad. Dalam masalah ini terjadi
perbedaan pendapat yang sangat masyhur di kalangan para ‘ulama mutakalimin.
Masalah ini seakan-akan telah ditinggalkan. Sebab, dalalah yang ditunjukkan
tidak qath’iy (pasti). Tidak ada nash yang menunjukkan secara pasti, yang
mengarah pada salah satu dari dua penunjukkan itu (ruh saja, atau ruh dan
jasad). Walhasil, tidak satu hukum saja yang bisa diambil dalam masalah ini.
Dan cukuplah dengan adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini, yakni orang
(yang berpendapat) menafikan sama sekali ‘adzab kubur, sebagaimana orang-orang
Khawarij dan sebagian ‘ulama Mu’tazilah semisal, Dlarar bin ‘Amru, Basyar
al-Marisiy; dan orang yang menerima adanya siksa kubur”. [Fath al-Baariy,
juz.3, hal. 180]. Ibnu Hajar menyambung, “Ibnu Haram dan Ibnu Habirah
menyatakan bahwa persoalan ini terjadi pada ruh saja, tidak menimpa pada jasad.
Jumhur ‘ulama menolak pendapat ini dan berkata, “..terjadi pada ruh dan jasad.”
Kompromi dari dua pendapat ini adalah, siksa kubur itu hanya terjadi pada ruh
saja. Adapun mengenai mayit yang bersaksi dalam kuburnya, ini adalah masalah
yang berbeda, dan (juga) tidak berhubungan dengan diamnya mayit di kubur, atau
yang lain, atau sempit atau luasnya kubur mereka. “[hal.182]. Adapun firman
Allah swt, “Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang”
(al-Ghafir:46), dalalahnya tidak pasti (qath’iy). Ayat ini memberikan arah
pengertian bahwa penyiksaan itu ada yang terjadi sebelum hari kiamat. Namun ada
pula ayat yang memberikan arah pengertian yang bertentangan, yakni, siksa itu
hanya akan terjadi pada hari kiamat. Nash-nash seperti ini cukup banyak. Allah
swt berfirman dalam surat al-Kahfi, “..kemudian ditiup lagi sangkakala, lalu
Kami kumpulkan mereka itu semuanya. Dan kami nampakkan Jahannam pada hari itu
kepada orang-orang kafir dengan jelas.” (18:99-100). Penjelasan Tentang Surat
al-Ghafir:46, Beserta Jalan Komprominya Allah swt telah berfirman, artinya,
“Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang (maksudnya menampakkan
kepada mereka neraka pagi dan petang sebelum hari berbangkit) dan pada hari
terjadinya Kiamat. Dikatakan kepada malaikat,”Masukkanlah Fir’aun dan kaummnya
ke dalam adzab yang sangat keras.” (al-Ghafir:46) Sebagian orang berpendapat
bahwa kata “yaum taquumu al-saa’ah” (hari kiamat) yang disambungkan pada kata
“ghadwan wa ghasyiyyan” (pada pagi dan petang) adalah dua hal yang terjadi pada
dua keadaan yang berbeda. Mereka menyatakan, bahwa neraka yang ditampakkan pada
“pagi dan petang” itu terjadi sebelum hari kiamat, bukan terjadi pada hari
kiamat. Dengan penjelasan semacam ini, mereka ingin berdalil dengan ayat ini,
bahwa siksa itu bisa saja terjadi sebelum hari kiamat, yakni adanya siksa
kubur. Pendapat ini tidak tepat. Sebab ‘athaf tidak selalu menunjukkan dua
keadaan yang berbeda (terpisah). Misalnya, Allah swt berfirman, “Dan Dialah
Tuhan (Yang disembah) di langit dan Tuhan (Yang disembah) di bumi dan Dia-lah
Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (al-Zukhruf:84). Seandainya wawu
‘athaf selalu menetapkan bahwa ma’thuf (yang disambung) berbeda (terpisah) sama
sekali dengan ma’thuf ‘alaihi (yang menyambung), maka ayat tersebut
(al-Zukhruf) memiliki makna bahwa ilah (sesembahan) di langit berbeda (terpisah)
dengan ilah di bumi. Maha Suci Allah Tidak ada Tuhan selain Dia. Walhasil,
firman Allah swt, “Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang
(maksudnya menampakkan kepada mereka neraka pagi dan petang sebelum hari
berbangkit) dan pada hari terjadinya Kiamat. Dikatakan kepada
malaikat,”Masukkanlah Fir’aun dan kaummnya ke dalam adzab yang sangat keras.”
(al-Ghafir:46); harus dibawa kepada pengertian, bahwa neraka akan ditampakkan
kepada mereka setelah peniupan sangkakala pada awal terjadinya hari kiamat Pada
saat itulah, awal terjadinya ‘adzab (siksa). Selanjutnya, mereka dimasukkan ke
dalam siksa yang sangat pedih. Namun demikian, hadits shahih yang meriwayatkan
tentang adanya siksa kubur jumlahnya sangat banyak. Ibnu Hajar menyatakan, “Ada
hadits-hadits yang meriwayatkan tentang siksa kubur selain hadits-hadits ini
(kemudian ia menyebut enam buah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari pada bab
ini), sebagian diriwayatkan dari Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, Abu Ayyub, Said,
Zaid bin Arqam, Ummu Khalid dalam shahih Bukhari Muslim atau di salah satu dari
keduanya; juga dari Jabir, Abu Sa’id menurut Ibnu Mardawaih, dari ‘Umar, ‘Abd
al-Rahman bin Hasanah, dan ‘Abd al-Amru menurut Abu Dawud, dan dari Ibnu Mas’ud
menurut al-Thahawiy, dari Abu Bakrah, Asma’ bin Yazid menurut al-Nasaiy, dan
dari Ibnu Mubasysyir menurut Ibnu Abi Syaibah, dan dari selain mereka.” [Fath
al-Baariy; juz.III, hal.186] Sebagian ‘ulama menyatakan, bahwa hadits ini telah
mencapai derajat mutawatir. Seandainya tidak ada nash-nash yang saling
bertentangan, sungguh kami juga akan menyatakan bahwa hadits tentang siksa
kubur mutawatir. Akan tetapi nash-nash tersebut “bertentangan” sehingga
menurunkan derajat kemutawatirannya. Sebab, kemutawatiran sebuah khabar tidak
hanya disandarkan kepada jumlah yang banyak saja. Namun, ada persoalan lain
yang lebih penting, yakni menyelamatkan khabar dari pertentangan. Kemutawatiran
sebuah khabar bisa diragukan, jika maknanya saling bertentangan. Imam Al-Amidy
berkata, “Para ‘ulama berbeda pendapat dalam menetapkan jumlah minimal yang
dapat menghasilkan ‘ilmu (kepastian). Sebagian menyatakan, 5 orang. Sebab, ,
jika kurang dari lima orang, misalnya, empat orang saksi yang bersaksi dalam
masalah syari’ah, maka qadli boleh menetapkan hukum berdasarkan kesaksian empat
orang yang bersepakat pada suatu tujuan yang dzanniy. Seandainya ‘ilmu
(kepastian) dihasilkan dari pendapat empat orang, mengapa bisa terjadi seperti
itu (ada kesepakatan dalam hal yang dzanniy)? Qadli Abu Bakar memutuskan bahwa
empat adalah jumlah yang kurang. Beliau juga masih meragukan lima orang.
Sebagian ‘ulama menyatakan jumlah minimal perawi adalah 12 orang, ada pula yang
menyatakan paling sedikit 20. Ada pula yang menyatakan 40, 70, 313. Ada pula
yang menyatakan bahwa jumlah minimal yang mengantarkan ilmu hanya diketahui
oleh Allah, dan kita tidak mengetahui. Dan ini yang terpilih. “[al-Amidiy,
Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz.II/39] Beliau menambahkan, “Di samping
jumlah, jaminan kemutawatiran sebuah berita adalah ilmu yang dihasilkan oleh perkataan
para pembawa berita (rawi), bukan ilmu yang dihasilkan oleh jumlah tertentu.“
Kemudian beliau menyatakan lagi, “Oleh karena itu, kami berpendapat, bahwa
jaminan mutawatir adalah ilmu yang dihasilkan dari sebuah berita. Berita yang
tidak menghasilkan ilmu tidak boleh dijadikan sandaran untuk berdalil. Sebab,
dalilnya sendiri telah jatuh ke dalam wijdaan (persangkaan). Ini adalah
syarat-syarat yang telah diakui keabsahannya untuk menetapkan kemutawatiran
sebuah berita.” Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan Imam
Ahmad, dll dari ‘Aisyah ra, tentang perempuan Yahudi, menyatakan dengan jelas,
bahwa Rasulullah saw menafikan adanya siksa kubur bagi manusia di alam barzakh
sebelum hari kiamat. Kemudian, datang wahyu kepada beliau dan mengabarkan bahwa
siksa kubur adalah haq (benar). Hadits ini pun, maudlu’nya masih mengandung
perselisihan. Penjelasan Mengenai Ayat-Ayat Tentang Penangguhan Siksa Hingga
Hari Kiamat Al-Quran telah menyatakan,”Dan janganlah sekali-kali kamu
(Mohammad) mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang
yang dzalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang
pada waktu itu mata (mereka) terbelalak.” (14:42). Ayat ini ma’udlu’nya juga
masih mengandung perselisihan. Ayat ini menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa
Allah swt memberi tangguh siksa atas orang-orang yang dzalim hingga hari
kiamat. Sebab, yang dimaksud dengan “hari dimana mata mereka terbelalak” adalah
hari kiamat. Ayat-ayat yang senada dengan ayat tersebut, adalah, “Jikalah Allah
menghukum manusia karena kedzalimannya, niscaya tidak akan ditinggalkan-Nya di
muka bumi sesuatupun dari makhluk yang melata, tetapi Allah menangguhkan mereka
sampai kepada waktu yang ditentukan. Maka apabila telah tiba waktunya (yang
ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaatpun
dan tidak (pula) mendahulukannya.” (al-Nahl:61). “Dan kalau sekiranya Allah
menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di
atas permukaan bumi suatu makluk yang melatapun, akan tetapi Allah menangguhkan
(penyiksaan mereka) sampai waktu yang tertentu; maka apabila datang ajal
mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Melihat (keadaan) hamba-hambaNya.”
[35:45]. Al-Ajal al-Musammay (waktu yang ditentukan) adalah hari kiamat. Secara
qath’iy, ayat-ayat ini menunjukkan adanya penangguhan siksa hingga hari kiamat.
Sebab, dalalah yang ditunjukkan oleh ayat-ayat di atas adalah qath’iy. Akan
tetapi, ada hadits-hadits shahih yang mengkhususkan pengertian ayat tersebut.
Hadits-hadits tersebut menjelaskan, bahwa Allah swt telah mendahulukan beberapa
siksa, sebagian diwujudkan di dunia, sebagian lagi diwujudkan di akherat; dan
sebagian besar lagi kelak di hari akhir. Mengkhususkan pengertian yang ada di
dalam al-Quran dengan sunnah, adalah perkara yang telah disepakati. Walhasil,
seseorang tidak boleh mengatakan, bahwa ayat-ayat tersebut –yang berbicara
tentang penangguhan siksa– tidak mungkin dikompromikan dengan hadits-hadits
tentang siksa kubur. Selain itu, hadits-hadits yang berbicara tentang siksa
kubur tidak boleh ditolak dirayahnya, hanya karena “bertentangan dengan
ayat-ayat tersebut di atas”. Akan tetapi, harus dibawa kepada takhsiish
al-quran bi al-Sunnah. Penjelasan Tentang Surat Yasiin ; 51-52 Allah swt, “Dan ditiuplah
sangkakala, maka tiba-tiba mereka keluar dengan segera dari kuburnya (menuju)
kepada Tuhan mereka. Mereka berkata, “Aduhai celakalah kami! Siapakah yang
membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)? Inilah yang dijanjikan
(Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul-RasulNya.” (Yasiin:51-52).
Mau’dlu’ ayat ini pun masih mengandung keraguan. Ayat ini menggambarkan, bahwa
orang-orang yang ada di dalam kubur, berada dalam kondisi tertidur. Ayat ini
tidak menunjukkan, bahwa mereka terjaga (tidak tidur) di dalam kubur, atau
dalam kondisi terkena siksa. Walhasil, ayat ini telah menafikan adanya siksa di
dalam kubur. Mengkompromikan ayat ini dengan hadits-hadits yang berbicara
tentang siksa kubur –dengan jalan mentakhshih ayat ini dengan hadits-hadits
tentang siksa kubur yang telah kami sebutkan sebelumnya– adalah perkara yang
sangat sulit. Sebab, kami tidak mendapatkan hadits shahih yang menjelaskan
adanya masa jeda barzakh yang menceritakan tentang adanya siksa kubur dan
kondisi bahwa si mayat tidak tidur di dalam kuburnya. Sebagian shahabat dan
tabi’in berdiam diri terhadap ayat ini dan hadits-hadits tentang siksa kubur.
Imam Ibnu Katsir menyatakan, “Ubay bin Ka’ab, Mujahid, Hasan, dan Qatadah ra
berkata, “Mereka tidur sebelum hari kiamat.” Qatadah berkata, “Hal itu itu
terjadi diantara dua tiupan, sehingga mereka mengatakan, “Siapakah yang
membangkitkan kami dari tidur kami.” Kompromi semacam ini dianggap sebagai
jalan keluar. Walhasil, pendapat yang menyatakan, ” Pertentangan antara ayat
ini dengan hadits-hadits tentang siksa kubur, tidak mungkin dikompromikan
dengan berbagai bentuk kompromi”, adalah pendapat yang tidak tepat. Argumen
semacam ini tidak bisa diterima. Seseorang tidak boleh mengatakan, bahwa hadits
tentang siksa kubur harus ditolak dirayahnya karena bertentangan dengan ayat
ini. Penjelasan Tentang Surat al-Ruum:55 Ayat lain yang berbicara tentang
penangguhan siksa sebelum hari akhir, adalah surat al-Ruum:55. Al-Quran telah
menyatakan, “Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang
berdosa, “mereka tidak berdiam (dalam kubur) melainkan sesaat saja.”
(al-Ruum:55). Namun, maudlu’ ayat ini juga mengandung keraguan. Yang menjadi
pertanyaan adalah, dimanakah orang-orang yang berdosa itu tinggal pada waktu
yang sangat singkat itu – seperti yang telah disampaikan oleh para pendosa itu?
Sebagian ahli tafsir berkata, “Yang mereka maksud adalah tinggal di dalam
kubur. Sebagian ahli tafsir lain menyatakan, bahwa yang mereka[2] maksud adalah
tinggal di dalam kehidupan dunia. Ada sebagian ahli tafsir yang menyatakan
bahwa, yang mereka maksud adalah tidur, yakni mereka tidur diantara dua tiupan;
antara tiupan yang mematikan seluruh makhluk, dan tiupan pada saat hari
kebangkitan (qiyamah). Waktunya sekitar 40 tahun menurut sebagian atsar. Orang
yang mengambil penafsiran pertama akan menyatakan, bahwa ketika hari kiamat
orang-orang yang berdosa itu bersumpah, bahwa mereka tinggal di dalam kuburnya
dalam waktu yang sangat singkat, yakni sejak kematiannya sampai terjadinya hari
kebangkitan. Orang yang mengambil penafsiran ini akan mendapatkan kesulitan.
Jika mereka menafsirkan seperti itu, ia justru akan membawa ke arah pengertian,
bahwa orang-orang yang berdosa itu tidak mendapatkan siksa di dalam kuburnya.
Sebab orang yang dikenai siksa di dalam kuburnya, akan merasakan waktu yang
sangat panjang.[3] Pendapat semacam ini tidak berarti menerima qiyas yang ghaib
(tidak nampak) atas yang syahid (nampak); atau mengqiyaskan siksa kubur atas
siksa dunia, akan tetapi nash itu sendiri yang menunjukkan pengertian tersebut.
Jika kita mengambil penafsiran kedua atau ketiga, bahwa orang-orang yang
berdosa itu tinggal di dunia (penafsiran ke dua), atau mereka tinggal diantara
dua tiupan (penafsiran ke tiga), maka hal itu bukanlah perkara yang sulit. Akan
tetapi, qarinah di dalam ayat itu dengan jelas menunjukkan bahwa mereka berdiam
di dalam kubur mereka, sejak kematian mereka hingga hari kiamat, bukan tinggal
di dunia. Qarinah ini terdapat pada ayat sesudahnya. Allah berfirman, “Dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dan keimanan (kepada orang-orang yang
kafir):”Sesungguhnya kamu telah berdiam (dalam kubur) menurut ketetapan Allah,
sampai hari berbangkit; maka inilah hari berbangkit itu, akan tetapi kamu
selalu tidak menyakininya.” (30:56). Berdasarkan qarinah yang ditunjukkan oleh
ayat ini, kalangan ahli ‘ilmu dan iman menyatakan, bahwa orang-orang yang
berdosa itu tinggal di dalam kuburnya hingga hari kiamat, bukan berdiam di
kehidupan dunia. Orang yang menafsirkan, bahwa orang-orang yang berdosa itu
tinggal di kehidupan dunia telah mengambil penafsiran yang salah. Penafsiran
yang menyatakan, bahwa orang-orang yang berdosa itu tidur diantara dua tiupan,
adalah penafsiran yang tidak kuat. Bahkan, penafsiran semacam ini tidak bisa
dikompromikan. Sebab, ia tidak didasarkan pada nash-nash syara’. Namun,
demikian agar kita keluar dari kesulitan ini, maka kami mengambil jalan keluar,
bahwa orang-orang yang berdosa itu tidur diantara dua tiupan sangkakala, dan
mereka tidak tinggal di dalam kuburnya melainkan dalam waktu yang sangat
singkat –sesaat di dalam tidurnya saja. Hadits-hadits yang berbicara tentang
siksa kubur adalah shahih. Hadits-hadits itu masih mungkin untuk dikompromikan
dengan ayat-ayat Quran yang maknanya terlihat kontradiksi. Seorang Muslim tidak
boleh mengingkari hadits-hadits tersebut. Mengingkari hadits-hadits itu sama
artinya mengingkari hadits shahih. Ini adalah perbuatan dosa. Sebab,
mengingkari hadits shahih akan mengakibatkan tersia-sianya amal. Namun
demikian, dilalah yang ditunjukkan oleh hadits-hadits siksa kubur adalah
dzanniy. Keimanan seorang Muslim tidak boleh didasarkan kepada nash-nash yang
tsubut dan dilalahnya dzanniy. Sebab, iman menuntut adanya pembenaran yang
bersifat pasti. Pembenaran yang tidak sampai ke derajat pasti, tidak akan
mengantarkan kepada keyakinan, atau keimanan. Demikianlah, anda telah
dijelaskan dengan gamblang, bahwa hadits-hadits yang berbicara tentang siksa
kubur, dilalahnya tidaklah qath’iy. Seandainya hadits-hadits tentang siksa
kubur mutawatir dan tidak ada pertentangan makna dengan riwayat-riwayat
mutawatir lainnya, tentu kita harus mengimani keberadaannya tanpa ada keraguan
sedikitpun. Allahul Haadiy wal Muwaffiq ila Aqwaamith Thaariq
assalamu'alaikum,, maaf ustadz, saya mau nanya nih,tapi ada beberapa artikel lain yg sya baca itu bilang bahwa Ibnul Qoyyim –rahimahullah- mengatakan, “Bukan hanya satu orang salaf namun lebih dari itu, mereka berdalil dengan ayat ini (qs al mu'minun 45-46) tentang adanya siksa kubur.” (At Tafsir Al Qoyyim, hal. 358). http://rumaysho.com/belajar-islam/aqidah/2328-pembicaraan-siksa-kubur-dalam-al-quran.html gimana tuh ustad? soalny kan jaman sekarang orang sudah susah sekali untuk memahami ilmu islam tanpa berpegang kpd pndapat ulama*yg sdh terjamin* apalgi itu ulama seperti ibnu qoyyim di atas. gmn pnjlsnny utk smcm org awam kbnykn yg sulit memahami dn brpijak ats anlisis sendiri dgn ilmu yg kurang? td ustad jg blg bhw ahli tafisr spt ibnu katsir dan ibnu hajar sperti belum tuntas membahas hal tsb. saya setuju dg pnjlsn ustad ttg utk perkara aqidah memang membutuhkah dalil yg qath'i.baik penunjukan maupun maknanya. yg mw sya tnya, gmn crany mmbri pmhmn yg sdkit lbih simpel kpd org2 awam tdi, trmsuk sya jg msih awam. soalny msih bnyk yg brpegang kpd sbgian ulama yg mgtkn bhw dalil2 alquran yg td sdh dsbutkn, mmg bicara soal siksa kubur. trima kasih sblmny..
BalasHapuswasslmu'alaikum wr wb